Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wisnu Alfatpratama

Konsepsi Kepribadian Kemuhammadyahan

Agama | 2025-11-15 11:12:42

Konsepsi kepribadian kemuhammadyahan merupakan pedoman moral dan identitas gerakan yang membentuk perilaku setiap anggota muhammdyah nilai niai ini berkembang dari gagagsan pembaruan KH.Ahmad Dahlan yang menekankan kepentingannya penyucian ajaran agama islam sekaligus mendorong pemikiran yang maju .dalam ranah keislaman modern konsep kepribadian ini berfungsi sebagai pegangan agar umat mampu menjalankan agamasecara murni,rasional,dan relavan dengan kebutuhan masyarakat melalui pembinaan pendidikan , kesehatan ,dan aktivitas sosial muhammadyah berupaya menciptakan karakter manusia yang religius , intelektual dan berorientasi pada kemaslahatan

Secara historis, kepribadian Kemuhammadiyahan berakar pada pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah pada tahun 1912. Gagasan fundamental beliau terletak pada upaya memurnikan ajaran Islam dan mengaktualisasikannya dalam realitas sosial yang sedang mengalami perubahan besar akibat kolonialisme, modernisasi, dan ketimpangan sosial. Karena itu, kepribadian Kemuhammadiyahan tidak dibangun secara abstrak, melainkan melalui pengalaman empiris umat Islam yang membutuhkan pembaruan pemikiran, penguatan pendidikan, serta pemberdayaan masyarakat. Nilai historis ini menunjukkan bahwa kepribadian Muhammadiyah sejak awal memiliki watak revolusioner, pragmatis, dan berorientasi pada pemecahan masalah.

Konsepsi kepribadian Kemuhammadiyahan setidaknya memuat tiga dimensi utama, yaitu dimensi akidah, dimensi akhlak, dan dimensi amal sosial. Dimensi akidah menegaskan bahwa setiap muslim harus menjadikan tauhid sebagai pusat orientasi tindakan. Tauhid dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya pengakuan teologis, tetapi juga prinsip yang menuntut manusia untuk menjauhi kemusyrikan intelektual, budaya, maupun struktural. Dengan demikian, akidah melahirkan pribadi yang mempunyai integritas, tidak bergantung pada sesuatu selain Allah, dan siap mempertanggungjawabkan tindakan secara moral.

Dimensi kedua adalah akhlak. Kepribadian Kemuhammadiyahan memandang akhlak sebagai manifestasi dari iman. Akhlak tidak hanya dipahami sebagai sopan santun atau etika individual, melainkan sebagai pola perilaku yang bersumber dari ajaran Al-Qur’an dan teladan Nabi. Kualitas akhlak seseorang tercermin dari ketulusan, kejujuran, kedisiplinan, serta komitmen untuk menjauhi perbuatan zalim dan merusak. Akhlak dalam perspektif ini menjadi pilar untuk membentuk pribadi yang matang secara spiritual sekaligus dewasa secara sosial.

Dimensi ketiga adalah amal sosial (amal saleh). Amal sosial merupakan ciri pembeda antara konsep kepribadian Muhammadiyah dengan konsep kepribadian keagamaan pada umumnya. Muhammadiyah menekankan bahwa agama harus hadir dalam bentuk kerja nyata yang memberi manfaat bagi masyarakat luas. Maka dari itu, pendirian sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga pemberdayaan masyarakat menjadi bagian integral dari kepribadian Muhammadiyah. Dengan kata lain, seseorang belum dapat disebut berkepribadian Muhammadiyah jika belum menjadikan kerja sosial sebagai bentuk ibadah.

Selain tiga dimensi tersebut, kepribadian Kemuhammadiyahan juga menekankan pentingnya berpikir rasional, terbuka, dan dinamis. Artinya, seorang kader harus mampu menggunakan akal secara kritis sesuai prinsip tajdid (pembaruan). Tajdid tidak berarti meninggalkan tradisi keagamaan, tetapi mampu menyaring mana yang relevan dengan perkembangan zaman dan mana yang harus dipahami kembali agar tidak menimbulkan stagnasi berpikir. Sikap terbuka ini membuat kepribadian Muhammadiyah tidak kaku; sebaliknya, ia adaptif terhadap perubahan tanpa kehilangan identitas.

Di lingkungan mahasiswa, nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui perilaku akademis, etika organisasi, serta komitmen terhadap kegiatan sosial. Mahasiswa Muhammadiyah dituntut untuk mengembangkan kemampuan intelektual secara serius, karena tradisi ilmu adalah bagian dari ibadah. Mereka juga harus memiliki karakter yang bersih dari praktik plagiasi, manipulasi data, atau perilaku akademik yang tidak jujur, sebab integritas merupakan ciri utama akhlak dalam kepribadian ini. Selain itu, prinsip amal sosial ditunjukkan melalui keterlibatan dalam kegiatan pengabdian masyarakat, advokasi sosial, serta aktivitas kemahasiswaan yang membawa manfaat luas.

Konsepsi kepribadian ini juga mengembangkan sikap fastabiqul khairat, yaitu kesadaran untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Spirit ini menghindarkan mahasiswa dari sikap pasif atau hanya menunggu instruksi. Sebaliknya, seorang kader harus berinisiatif, kreatif, dan proaktif dalam menciptakan peluang kebaikan. Dengan demikian, kepribadian Kemuhammadiyahan mengarahkan mahasiswa menjadi pemimpin masa depan yang memiliki moralitas tinggi, wawasan global, dan keberpihakan pada kemanusiaan.

Pada tingkat praksis, kepribadian Kemuhammadiyahan juga menuntut sikap moderat (wasathiyah). Moderasi bukan berarti kompromi terhadap prinsip, tetapi keseimbangan antara keyakinan, nalar, dan konteks sosial. Sikap moderat ini penting untuk membangun kehidupan beragama yang damai dan toleran, terutama dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Dengan memegang prinsip wasathiyah, seorang mahasiswa mampu berdialog, bekerja sama, dan menghargai perbedaan tanpa kehilangan identitas keislamannya.

Secara keseluruhan, konsepsi kepribadian Kemuhammadiyahan adalah konstruksi nilai yang membentuk pribadi muslim yang berilmu, berakhlak, dan berkemajuan. Kepribadian ini memadukan kekuatan spiritual, rasionalitas modern, dan orientasi sosial sehingga relevan bagi mahasiswa yang hidup di tengah tantangan global yang kompleks. Dengan menanamkan kepribadian ini, mahasiswa tidak hanya menjadi insan akademis yang kompeten, tetapi juga agen perubahan yang mampu menghadirkan pencerahan bagi umat dan bangsa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image