Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syifa

Menelaah Ulang Makna Produktivitas

Gaya Hidup | 2025-11-15 10:58:39

Sebenarnya, apa yang membuat kesibukan menjadi hal yang membuat kita puas atau bangga dengan diri kita sendiri? Apakah alasannya karena kita produktif? Atau jangan-jangan karena kita berpikir bahwa kita sedang produktif? Bagaimana jika konsep “produktivitas” ternyata merupakan warisan kapitalisme?

Kapitalisme adalah sebuah konsep ekonomi dan politik yang mendorong kepemilikan pribadi dalam aktivitas ekonomi seperti produksi, serta berorientasi pada keuntungan. Hal ini mungkin terdengar sepele, tetapi orientasi pada keuntungan menjadi motivasi para pemilik faktor modal dalam memaksimalkan segala upaya untuk meningkatkan produktivitas. Kapitalisme dimulai di Inggris pada era Revolusi Industri—sekitar abad ke-18. Masyarakat terdorong untuk terus memproduksi dan menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis.

Awalnya, tentu hal ini menggerakkan roda perekonomian. Berbagai inovasi pun menjamur ke seluruh dunia. Teknologi berkembang pesat dan kapasitas produksi pun meningkat. Namun, muncul sebuah pertanyaan: apakah kita sudah mencapai titik optimal produksi? Bagaimana jika kini adalah saat yang tepat untuk menginjak pedal rem dan berjalan santai sejenak?

Sebuah survei oleh Pew Research Center menemukan bahwa 46% pekerja di Amerika Serikat tidak mengambil cuti sebanyak yang sebenarnya ditawarkan oleh perusahaan. Artinya, mereka memilih untuk lebih banyak bekerja. Meski demikian, waktu yang didedikasikan untuk bekerja bukan berarti kita menjadi pekerja yang produktif. Maksudnya adalah bekerja selama delapan jam tidak selalu berarti kita produktif selama delapan jam. Beberapa studi menemukan bahwa manusia rata-rata hanya mampu mengerjakan sesuatu secara efektif dan produktif selama 3-5 jam setiap harinya. Budaya dan sistem kerja yang menormalisasikan delapan jam kerja membuat kebanyakan dari kita berpikir bahwa kita masih belum produktif dan masih banyak hal yang dapat dan seharusnya kita lakukan.

Hal ini membawa kita ke sebuah istilah yang mungkin cukup familiar bagi beberapa orang, yaitu toxic productivity. Bayangkan jika kamu terus-menerus menatap laptop selama delapan jam di sebuah kafe atau perpustakaan dan kamu mengerjakan sesuatu selama 2-3 jam, selebihnya kamu hanya terdiam, bermain ponsel, atau bahkan tertidur. Padahal, tidak ada salahnya kamu hanya bekerja selama sesaat secara efektif dan menghabiskan sisa waktumu yang berharga untuk istirahat atau melakukan aktivitas lainnya. Hal ini dapat memberikan dampak negatif bagi diri kita, baik secara fisik maupun mental.

Lantas, kembali ke pertanyaan di awal. Bukankah ini saat yang tepat untuk mendefinisikan ulang apa itu produktivitas? Produktivitas seharusnya tidak diukur dari seberapa banyak luaran yang kita hasilkan, seberapa lama kita mengerjakan sesuatu, seberapa banyak hal yang kita capai dalam jangka waktu tertentu, atau seberapa banyak yang kita jual. Itu adalah satuan ukuran yang terlalu sempit. Akan lebih baik jika kita mengubah cara berpikir kita mengenai produktivitas yang diukur dari pertanyaan seperti, “Apakah kegiatan ini membuatku lebih semangat?”, atau, “Apakah kegiatan ini membuatku berkembang dan menjadikanku lebih baik dari kemarin?”, “Apakah hal ini mengasah ketangguhanku dalam menghadapi masalah?”, “Apakah hal yang kulakukan berdampak positif bagiku, orang lain, dan lingkungan sekitar?”

Dengan menata ulang cara berpikir dan persepsi kita tentang produktivitas, kita dapat menjalani pekerjaan dengan lebih efektif, efisien, dan tetap bermakna bagi diri kita tanpa perlu membuang-buang waktu dan meninggalkan kita dengan perasaan kurang puas ataupun kelelahan secara berlebihan. Secara tidak langsung, produktivitas ‘seadanya’ ini juga merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang menuntut kita untuk terus bekerja, terus produktif, dan terus menghasilkan sesuatu sebanyak-banyaknya. Pada akhirnya, kita adalah manusia yang membutuhkan keseimbangan dalam kehidupan kita. Apabila kita bekerja, maka kita juga perlu beristirahat. Apabila kita kelelahan, maka itu merupakan tanda dari tubuh kita untuk berhenti sejenak. Hidup ini bukanlah lari cepat, tetapi maraton—perjalanan panjang yang sesekali butuh istirahat untuk mengisi ulang energi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image