Bukan Malas, Hanya Lelah: Memahami Burnout Akademik pada Generasi Muda
Curhat | 2025-11-14 20:34:24
Burnout, atau kelelahan emosional akibat tekanan akademik kini sering dialami oleh generasi muda seperti pelajar dan mahasiswa. Banyak dari mereka merasa lelah secara emosional, seperti bingung dan bahkan tidak tahu cara menghadapi tekanan yang datang terus-menerus. Penulis juga pernah merasakan perasaan itu. Keinginan untuk selalu sempurna dalam menyelesaikan tugas membuat hidup terasa sangat berat. Jadwal yang padat, waktu yang terasa makin sedikit, dan tekanan dari diri sendiri yang sangat besar, membuat segalanya semakin sulit. Bagi yang tinggal jauh dari rumah, kondisi ini justru semakin berat, karena lingkungan baru yang belum pasti ramah, sehingga beban emosional semakin bertambah.
Fenomena burnout akademik muncul dari berbagai hal kecil yang sering diabaikan setiap hari. Mulai dari keinginan untuk selalu memberikan hasil terbaik, seseorang bisa secara tidak sadar memaksa diri melebihi batas kemampuan. Kesibukan yang terus-menerus membuat waktu istirahat semakin terbatas. Lama-kelamaan, tubuh merasa lelah, pikiran penuh, dan semangat mulai terkikis. Banyak mahasiswa akhirnya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak berkesudahan. Ketika hal ini terus dijalani terlalu lama, rasa lelah yang dirasakan tidak hanya fisik, tetapi juga emosional.
Tidak hanya tekanan dari luar, tekanan dari dalam diri juga sangat berpengaruh. Ada mahasiswa yang merasa harus selalu kuat, selalu bisa, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Mereka berpikir kegagalan adalah hal yang memalukan, sehingga terus memaksakan diri menyelesaikan segala tugas tanpa henti. Ada juga yang selalu membandingkan diri dengan orang lain, keluarga, teman, atau pencapaian yang terlihat di media sosial. Perbandingan seperti ini secara perlahan merusak rasa percaya diri, membuat seseorang merasa belum cukup baik. Semua tekanan ini akhirnya terkumpul jadi satu, menumbuhkan rasa lelah yang dalam dan susah dijelaskan.
Meskipun begitu, burnout bukanlah kondisi yang tidak bisa diatasi. Prosesnya memang memakan waktu, tetapi langkah kecil bisa memberikan perubahan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah belajar mengenali batas diri. Tidak semua tugas harus dikerjakan sekaligus, tidak semua harus sempurna. Memberi ruang untuk beristirahat bukanlah tanda lemah, justru itu cara tubuh dan pikiran memulihkan energi. Kadang, hanya mengambil jeda sejenak seperti menarik napas, jalan-jalan ke luar, atau mendengarkan musik sudah cukup membuat pikiran terasa lebih ringan.
Selain itu, membuat jadwal yang lebih manusiawi, bisa membantu mengurangi beban. Mengatur waktu dengan lebih rapi, tidur sesuai jadwal, serta merasakan hal-hal yang menyenangkan bisa jadi cara untuk menjaga kesehatan mental. Mengurangi tekanan dari lingkungan juga sangat penting. Misalnya, tidak terlalu lama menggunakan media sosial atau membatasi pengaruh hal-hal yang membuat kita selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain bisa membuat pikiran lebih tenang. Berbagi cerita dengan orang yang dipercaya juga sering kali menjadi langkah awal yang sangat berguna. Hanya mendengar kalimat seperti "kamu tidak sendiri" terkadang sudah cukup memberi kekuatan untuk menghadapi hari esok.
Burnout akademik memang bukan hal yang mudah untuk dihadapi, tetapi bukan berarti tidak bisa dilewati. Pada akhirnya, kita hanya perlu mengingat bahwa diri kita sendiri adalah manusia yang membutuhkan waktu istirahat dan jeda. Semoga melalui tulisan ini, setiap pembaca menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan ini. Selalu ada jalan untuk kembali bangkit, perlahan namun pasti.
Penulis: Salsabila Febby Dwi Harwindi. Mahasiswa Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
