Kemandirian Alumni Magister Pendidikan Islam: Jalur Edupreneurship Pesantren
Eduaksi | 2025-11-14 14:07:47
Di tengah perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, alumni Magister Pendidikan Islam menghadapi tantangan baru. Lapangan kerja formal di sektor pendidikan tidak lagi mampu menyerap lulusan secara optimal. Data Kementerian Ketenagakerjaan 2024 menunjukkan bahwa pengangguran terdidik dari jenjang sarjana dan magister masih berada pada kisaran 6,5 persen. Angka ini menjadi alarm bagi perguruan tinggi Islam untuk lebih serius menyiapkan lulusan yang mandiri, adaptif, dan mampu menciptakan peluang.
Selama bertahun-tahun, ukuran kesuksesan lulusan pendidikan Islam sering kali ditentukan oleh seberapa cepat mereka diterima di sekolah atau institusi formal. Padahal, di era ekonomi kreatif dan digital, ruang kontribusi alumni jauh lebih luas. Alumni dituntut tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga inovator sosial, pengembang lembaga pendidikan, dan pelaku usaha berbasis nilai-nilai Islam.
Spirit Kemandirian dalam Tradisi Pesantren
Kemandirian sejatinya bukan gagasan baru dalam dunia pendidikan Islam. Sejak lama, pesantren mengajarkan kemandirian sebagai nilai dasar pembinaan karakter. KH Zaini Mun’im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid (PPNJ) Paiton-Probolinggo, menegaskan bahwa santri harus “mandiri, berilmu, dan bermanfaat bagi masyarakat.” Nilai itulah yang kini relevan untuk diterjemahkan di tengah tantangan modern.
Di Pondok Pesantren Nurul Jadid, nilai tersebut tidak hanya menjadi ajaran moral, ia diwujudkan melalui berbagai unit usaha yang dikelola bersama antara pesantren dan alumni. Sebuah penelitian akademik mencatat bahwa dari puluhan unit usaha pesantren, beberapa melibatkan alumni sebagai pengelola inti, mulai dari eNJe Mart, produk air minum “Nurja Water”, hingga layanan logistik “Mandiri Logistik”. Keterlibatan alumni ini menunjukkan bahwa pesantren menghasilkan bukan hanya tenaga pendidik, tetapi juga kader yang mampu menjalankan manajemen usaha secara profesional.
Kemandirian ini juga disokong oleh jaringan alumni di luar pesantren. Komunitas alumni di Lumajang, misalnya, mendirikan NJ Minimart, sebuah retail koperasi yang membuka ruang investasi bagi para alumni untuk memperkuat ekonomi alumni dan menciptakan model usaha bersama yang inklusif.
Edupreneurship sebagai Jalan Baru
Universitas Nurul Jadid (UNUJA) sebagai perguruan tinggi berbasis pesantren turut memperkuat ekosistem kewirausahaan. Program-program seperti Business Showcase, Kuliah Kewirausahaan bersama Kemenpora, dan pembentukan Club Kewirausahaan UNUJA hingga Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Perguruan Tinggi (HIPMI PT) menjadi bukti bahwa kampus tidak ingin meluluskan akademisi yang hanya kuat secara teoretis, tetapi juga kreatif dan visioner.
Pemberdayaan ini menghasilkan praktik nyata. Salah satu alumni Nurul Jadid dari Situbondo, Mochammad Mustofa Mahfudh, misalnya, mampu mengubah cangkang kerang menjadi produk kerajinan tangan yang kini menembus pasar ekspor ke Jerman dan Italia. Kisah seperti ini menunjukkan bahwa kreativitas, ketika dipadukan dengan nilai-nilai pesantren, mampu membuka peluang ekonomi baru tanpa harus meninggalkan identitas keislaman.
Bagi alumni Magister Pendidikan Islam, jalur edupreneurship menjadi pilihan yang semakin relevan. Mereka dapat mendirikan lembaga bimbingan belajar berbasis nilai Islam, rumah tahfiz, platform dakwah digital, konsultan kurikulum, hingga usaha mikro yang memanfaatkan kekuatan komunitas Muslim khususnya perempuan dan golongan rentan lainnya. Peluang terbentang luas, menunggu keberanian untuk dimulai.
Tantangan dan Agenda Pembaruan
Meski demikian, terdapat sejumlah tantangan penting. Pertama, mindset ketergantungan pada pekerjaan formal masih kuat di kalangan sebagian alumni. Padahal, dinamika ekonomi hari ini menuntut keberanian menciptakan peluang, bukan menunggu peluang. Kedua, akses permodalan dan pendampingan usaha masih terbatas. Banyak alumni memiliki ide, tetapi tidak tahu bagaimana memulai atau mengembangkan usaha.
Di sinilah peran pesantren dan perguruan tinggi menjadi sangat strategis. Keduanya dapat menyediakan business incubator, pendampingan intensif, hingga skema pembiayaan berbasis wakaf produktif atau koperasi syariah. Dengan membangun ekosistem yang suportif, kemandirian alumni bukan lagi slogan, tetapi kenyataan yang terukur.
Program studi Magister Pendidikan Islam juga perlu memperbarui kurikulum dengan memasukkan kompetensi manajerial, digital marketing, inovasi pembelajaran, hingga leadership berbasis nilai Islam. Kurikulum yang menggabungkan ilmu, nilai, dan keterampilan praktis merupakan kunci untuk mencetak lulusan yang adaptif.
Menjadi Pencipta Nilai, Bukan Sekadar Pencari Kerja
Pada akhirnya, kemandirian alumni Magister Pendidikan Islam adalah bagian dari ikhtiar besar untuk memperkuat peran pendidikan Islam dalam membangun bangsa. Alumni harus memposisikan diri sebagai pencipta nilai, bukan sekadar pencari kerja. Mereka membawa amanah keilmuan dan spiritualitas untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Dalam perspektif Islam, kemandirian bukan hanya tentang ekonomi, tetapi tentang kemanfaatan, kemampuan menghadirkan nilai, solusi, dan perubahan. Rasulullah ﷺ menegaskan, “Khairunnas anfa‘uhum linnas”, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.
Jika alumni pesantren mampu mengolah cangkang kerang menjadi produk ekspor dan membangun minimarket berbasis koperasi, maka alumni Magister Pendidikan Islam pun memiliki peluang yang sama. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk memulai, dukungan ekosistem yang memadai, dan komitmen untuk terus berkarya demi kemanfaatan yang lebih luas.
oleh Mujiburrohman
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Islam (MMPI)
Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo, Jawa Timur
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
