Pentingnya Kepekaan Orang Tua terhadap Perubahan Sifat Anak
Parenting | 2025-11-11 19:21:03Dibuat oleh Shovie Zakira Mumtazah Mahasiswa Universitas Airlangga
Perubahan sifat anak adalah fenomena yang wajar dan alami terjadi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan mereka. Namun, sebagai orang tua, kita sering kali tidak menyadari perubahan tersebut dan tidak siap untuk menghadapinya. Sifat peka bisa membuat anak merasa dimengerti, seperti peka saat anak sedang sedih ataupun marah, hal itu sangat penting terhadap cara ia melampiaskan emosinya.
Peka terhadap perubahan sifat anak berarti kita harus dapat mengenali dan memahami perubahan tersebut. Kita perlu memperhatikan perubahan perilaku, emosi, dan minat anak, serta mencari tahu apa yang menyebabkan perubahan tersebut. Dengan demikian, kita dapat memberikan dukungan dan bimbingan yang tepat untuk membantu anak mengatasi perubahan tersebut.
Anak-anak, terutama pada masa remaja, tidak selalu mampu mengekspresikan perasaannya secara langsung. Ketika mereka sedih, marah, kecewa, atau tertekan, ekspresi yang muncul bisa berupa perubahan sikap maupun sifat, seperti menjadi lebih pendiam, mudah marah, kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai, atau menunjukkan penurunan prestasi belajar. Tanpa kepekaan, orang tua mungkin menganggap perubahan itu sebagai “fase normal” atau bahkan menyalahkan anak karena dianggap malas. Akibatnya, kebutuhan emosional anak terabaikan dan anak cenderung tertutup kepada orang tuanya sendiri.
Seorang anak tidak tiba-tiba berubah tanpa alasan. Ada proses di balik setiap perubahanitu: bisa karena masalah di sekolah, konflik dengan teman, rasa tidak percaya diri, atau bahkan tekanan dari lingkungan digital. Di era media sosial, misalnya, anak-anak sering terjebak dalam perbandingan tak sehat. Mereka melihat kehidupan “sempurna” teman-temannya di dunia maya sehingga anak menjadi kurang percaya diri dan dari situ mulai munculnya standar sosial yang harus terpenuhi untuk diterima di kalangan tertentu. Jika orang tua tidak peka terhadap perubahan halus dalam perilaku anak, perasaan rendah diri itu bisa berkembang menjadi stres atau depresi yang tidak disadari.
Sayangnya, masih banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, ekonomi, atau bahkan gawai mereka sendiri, sehingga gagal menangkap sinyal perubahan pada anak. Beberapa orang tua justru baru menyadari adanya masalah ketika anak sudah menunjukkan perilaku ekstrem, seperti kasus yang baru beredar yaitu kasus pengeboman di SMAN 72, karena kurangnya kepekaan terhadap perubahan tingkah laku pada anak mengakibatkan salah satu siswa SMAN 72 menjadi pelaku pengeboman dan melibatkan banyak korban luka.Kepekaan bukan berarti harus menjadi orang tua yang seperti “kamera pengawas” atau “palu di pengadilan”, melainkan, kepekaan justru berakar dari empati dan perhatian yang tulus.
Orang tua yang peka tidak hanya menilai berdasarkan prasangka, tetapi juga berusaha memahami konteks dan perasaan anak. Misalnya, ketika anak mengalami penurunan nilai, orang tua yang peka tidak langsung memarahi, melainkan bertanya dengan nada lembut: “Kamu lagi capek atau ada yang mengganggu pikiranmu?” Kalimat sederhana seperti ini bisa membuka ruang komunikasi yang jujur dan aman (Goleman, 2000) serta anak tidak merasa terhakimi.
Dari perspektif psikologi perkembangan, masa kanak-kanak dan remaja adalah periode krusial dalam pembentukan konsep diri. Pada fase ini, anak belajar mengenal identitasnya, mengelola emosi, serta memahami dunia sosial di sekitarnya. Kepekaan orang tua membantu memastikan bahwa proses ini berjalan sehat. Anak yang tumbuh di lingkungan yang responsif terhadap kebutuhannya cenderung memiliki regulasi emosi yang lebih baik, tingkat stres yang lebih rendah, dan rasa percaya diri yang kuat (Berk, 2018).
Sebaliknya, anak yang merasa diabaikan secara emosional bisa mengembangkan pola hubungan yang tidak aman (insecure attachment) di masa dewasa (Bowlby, 1988).Untuk menumbuhkan kepekaan, orang tua perlu melatih kemampuan mendengarkan secara aktif. Artinya, bukan hanya mendengar kata-kata anak, tetapi juga memperhatikan bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara mereka. Selain itu, penting juga bagi orang tua untuk tidak langsung menilai atau menyela saat anak bercerita. Mendengarkan dengan sabar membuat anak merasa dihargai, dan ini akan memperkuat ikatan emosional. Tetapi nyatanya masih banyak orang tua yang menyepelekan hal ini bahkan mengabaikannya.Kepekaan juga dapat diasah melalui refleksi diri, orang tua perlu bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya benar-benar hadir untuk anak saya?” karena hadir secara fisik belum tentu sama dengan hadir secara emosional.
Banyak anak yang hidup di rumah lengkap secara materi, tetapi merasa kesepian karena tidak ada tempat yang aman untuk menumpahkan perasaan mereka. Oleh karena itu, menjadi orang tua yang peka berarti juga berani mengakui keterbatasan diri dan terus belajar untuk memahami perkembangan emosional anak.
Ketika anak merasa dipahami, mereka akan lebih terbuka dalam berkomunikasi. Mereka tidak takut untuk jujur, bahkan saat sedang melakukan kesalahan. Orang tua yang peka menciptakan suasana rumah yang aman, tempat anak bisa pulang bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Anak yang tumbuh di lingkungan penuh kepekaan akan belajar mengenali emosinya sendiri. Mereka akan tahu bahwa perasaan negatif bukan sesuatu yang harus disembunyikan, melainkan bisa dikelola dengan cara yang sehat. Hal ini membentuk fondasi bagi kesehatan mental dan ketangguhan emosional di masa depan.
Pada akhirnya, kepekaan orang tua terhadap perubahan sifat anak bukanlah hal sepele. Ia merupakan bentuk cinta yang dewasa, cinta yang tidak hanya memberi, tetapi juga memahami. Dalam dunia yang semakin cepat dan menuntut, anak membutuhkan seseorang yang mampu menangkap perubahan kecil dalam diri mereka sebelum berubah menjadi luka besar. Ketika orang tua mampu membaca perubahan itu dan menanggapinya dengan empati, mereka bukan hanya membantu anak melewati masa sulit, tetapi juga membangun generasi yang lebih sehat secara emosional dan lebih siap menghadapi kehidupan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
