Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image aliya farzana

Cancel Culture di Indonesia: Kesadaran Kolektif atau Amarah Kolektif?

Info Terkini | 2025-11-10 21:34:05
media.npr.org

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture secara umum dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk memutuskan dukungan dari seseorang , khususnya publik figur, yang dianggap telah melakukan kesalahan baik secara moral maupun sosial. Istilah ini mulai dikenal luas melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram. Ia tumbuh dalam konteks sosial yang khas. Dalam hal ini, cancel culture tidak hanya berfungsi sebagai wujud perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga seringkali dipengaruhi oleh budaya kolektif serta fenomena FOMO (fear of missing out), di mana individu merasa terdorong untuk “berpartisipasi” agar tidak dianggap apatis atau tidak peka terhadap isu yang ada.

Di platform seperti TikTok, budaya ini berkembang pesat melalui fitur seperti duet, stitch, atau spill account, di mana suatu kesalahan dikemas ulang berkali-kali dalam bentuk konten pendek yang masif. Ini membuat penyebaran info dan penghakiman sosial terjadi sangat cepat—kadang bahkan sebelum fakta utamanya terverifikasi.

Cancel Culture sebagai Kontrol Sosial

Dilihat dari sisi positifnya, cancel culture dapat dilihat sebagai sarana pengawasan sosial saat reaksi dari lembaga atau hukum tidak mencukupi. Contohnya, insiden-insiden penghinaan lisan oleh selebritas yang tidak mendapatkan perhatian hukum. Dengan adanya cancel culture, masyarakat merasakan adanya kekuatan untuk menuntut akuntabilitas. Mereka dapat mendesak tokoh masyarakat untuk meminta maaf, melakukan introspeksi, atau bahkan kehilangan pekerjaan.

Survei Edelman (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 60% konsumen global rela memboikot figur publik atau produk yang melanggar nilai moral mereka. Artinya, konsumen tidak hanya sekedar membeli produk atau konten, tetapi juga mendapatkan makna. Cancel culture disini berfungsi sebagai sarana untuk menjaga nilai-nilai etika secara bersama-sama.

Ketika Kritik Berubah jadi Penghakiman

Sayangnya, cancel culture tidak selalu berlangsung sebaik yang diharapkan. Ada banyak situasi dimana reaksi dari masyarakat justru berubah menjadi serangan yang berlebihan dan tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan. Bukannya menuntut penjelasan atau akuntabilitas yang konstruktif, cancel culture sering kali mengarah pada doxxing, ujaran kebencian, dan bahkan ancaman pribadi. Dalam beberapa kasus, bukan hanya individu yang bersalah yang terkena dampak, tetapi juga keluarga atau teman-teman dekatnya turut menderita akibatnya. Sebagai contoh, beberapa publik figur Indonesia pernah mengalami “pembatalan” massal setelah kesalahan bertahun-tahun lalu ditemukan kembali. Konteks pernyataan lama itu hilang, dan publik tidak memberi ruang untuk pertumbuhan atau perubahan. Konsep rehabilitasi sosial hampir tidak dikenal. Yang terjadi justru persekusi digital.

Budaya spill dan exposing di media sosial Indonesia juga menambah intensitas cancel culture ini. Di TikTok, akun-akun anonim sering membagikan “fakta” tentang seseorang tanpa verifikasi. Dalam hitungan jam, reputasi bisa runtuh begitu saja.

Calling Out vs Cancelling

Penting untuk membedakan antara calling out dan cancelling. Calling out adalah proses mengingatkan atau mengkritik seseorang atas kesalahannya dengan tujuan koreksi dan edukasi. Sedangkan cancelling adalah tindakan memutus hubungan sepenuhnya, menghapus eksistensi figur dari ruang sosial seolah mereka tidak layak untuk diberi kesempatan kedua.

Di banyak kasus, masyarakat kita cenderung segera menuju ke tahap cancelling tanpa melalui proses dialog atau klarifikasi. Kesalahan sekecil apapun, terutama jika viral, seolah layak untuk diperlakukan dengan cara ekstrem. Padahal, dalam beberapa konteks, yang lebih dibutuhkan bukanlah “pengusiran”, melainkan dialog terbuka dan kesempatan untuk memperbaiki diri.

Menuju Budaya Kritik yang Lebih Sehat

Cancel culture seharusnya menjadi pendorong untuk berdiskusi, bukan menjadikan penghalang. Kita perlu membangun suatu lingkungan yang memungkinkan seseorang bertanggung jawab sekaligus bertumbuh. Dalam bidang sosial, konsep restorative justice menekankan bahwa tanggung jawab moral tidak harus dibayar dengan penghapusan total, melainkan melalui pemulihan, introspeksi, dan rekonsiliasi.

Sebagai masyarakat, kita harus melakukan introspeksi: apakah tindakan kita sebenarnya meningkatkan kesadaran, atau hanya meluapkan kekecewaan atas hal-hal lain? Apakah kita benar-benar ingin perubahan, atau hanya ingin menang di debat tengah malam di kolom komentar?

Budaya berpikir kritis merupakan suatu yang positif. Namun, kritik yang disampaikan dengan amarah dan pengucilan hanya akan meninggalkan luka baru, baik bagi individu maupun bagi budaya diskusi itu sendiri.
Daftar Pustaka

Edelman Trust Barometer. (2021). 2021 Edelman Trust Barometer Global Report. Edelman

Nugroho, A. (2023). Fenomena Cancel Culture di Media Sosial Indonesia. Tirto.id.

Prasetyo, D. (2022). “Budaya Cancel Culture dan Etika Digital Masyarakat Indonesia.” Jurnal Komunikasi dan Media Sosial, 4(2), 115–128.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image