Anak Muda yang Takut Mengambil Kesempatan, Antara Rasa Gagal dan Kurangnya Keberanian
Humaniora | 2025-11-10 16:26:58Di era yang penuh peluang ini, ironisnya banyak anak muda justru ragu untuk melangkah. Kesempatan terbuka lebar, tapi bayangan gagal sering kali lebih besar dari keyakinan untuk mencoba. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena bayangan akan kegagalan sering kali lebih kuat daripada keyakinan untuk berhasil.
Fenomena rasa takut mengambil kesempatan di kalangan anak muda bukanlah hal baru. Banyak anak muda ragu untuk mencoba hal baru bukan karena kurang mampu, tetapi kebiasaan overthinking yang membuat langkah pertama terasa berat. Kondisi ini mencerminkan persoalan mental dan sosial yang dialami generasi muda, kekhawatiran akan kegagalan dan kurangnya keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
Fenomena ini semakin diperkuat oleh pengaruh media sosial atau yang kerap disebut "standar TikTok" ketika kesuksesan seringkali digambarkan mudah dicapai tanpa memperlihatkan proses panjang di baliknya. Banyak anak muda kemudian merasa minder ketika membandingkan dirinya dengan pencapaian orang lain. Akibatnya, muncul perasaan tidak cukup baik, yang berujung pada ketakutan melangkah untuk keluar dari zona nyaman.
Banyak generasi muda yang akhirnya terjebak dalam lingkaran self-doubt, yakni kondisi emosional di mana mengalami keraguan pada diri sendiri, seperti merasa "tidak cukup baik" atau tidak mampu. Jika dibiarkan, hal ini dapat menghambat kemajuan, menimbulkan kecemasan, dan membuat seseorang kehilangan motivasi untuk mencoba hal-hal baru.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hapsari dkk. (2024) menunjukkan, banyak anak muda terutama generasi Z merasa ragu untuk memulai langkah karena takut melakukan kesalahan atau terlihat gagal. Mereka mengalami rasa minder dan citra diri yang rendah, sehingga sering menunda kesempatan untuk berbicara, berinisiatif, atau mencoba hal baru.
Hal ini sejalan dengan survei global Deloitte mencatat bahwa 19% generasi Z menganggap kesehatan mental (rasa takut gagal dan tekanan untuk sukses) sebagai kekhawatiran utama dalam hidup mereka. Data-data ini menunjukkan bahwa rasa takut gagal bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan gejala sosial yang dipicu oleh ekspektasi tinggi, tekanan sosial, dan pola komunikasi yang menuntut kesempurnaan.
Akar dari self-doubt sendiri muncul dari bagaimana cara kebanyakan orang mendefinisikan kegagalan. Banyak orang yang seringkali memandang kegagalan sebagai label permanen, sebuah cap buruk yang membuktikan bahwa memang "tidak cukup baik". Namun, bagaimana jika ketakutan itu dilawan dengan mengubah cara pandang kita terhadap kegagalan itu sendiri?
Di sinilah konsep psikologi bernama growth mindset yang diperkenalkan oleh Carol Dweck, seorang psikolog dari Amerika menjadi sangat relevan. Alih-alih melihat kemampuan sebagai sesuatu yang tetap, growth mindset meyakini bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui dedikasi dan kerja keras. Dalam konsep ini, kegagalan tidak lagi dilihat sebagai akhir dari segalanya. Sebaliknya, kegagalan adalah feedback atau umpan balik dari usaha yang kita lakukan.
Gagal dalam meraih juara pertama dalam sebuah perlombaan bukanlah tanda bahwa seseorang tidak kompeten. Bisnis rintisan yang gagal di tahun pertama bukanlah bukti bahwa seseorang bukan seorang pebisnis. Sebaliknya, itu adalah sebuah pengalaman dan pembelajaran yang berharga. Dari situ akan terlihat di bagian mana kekurangan yang ada dan bagaimana cara memperbaikinya.
Ketakutan akan kegagalan justru seringkali membawa kegagalan yang jauh lebih besar, yakni penyesalan karena tidak pernah mencoba sama sekali. Perasaan bersalah dari hilangnya sebuah peluang karena terdiam di zona nyaman, jauh lebih mahal daripada rasa malu sementara akibat sebuah kegagalan. Kesalahan bisa diperbaiki dan kegagalan bisa ditebus, tetapi kesempatan yang hilang karena ragu seringkali tidak bisa kembali.
Generasi muda hari ini hidup di masa dengan peluang tak terbatas, tapi justru sering terjebak dalam kekhawatiran berlebih. Dalam dunia yang menuntut kecepatan dan hasil instan, keberanian untuk mencoba menjadi nilai yang semakin langka namun sangat berharga. Kita mungkin tak bisa menghapus rasa takut sepenuhnya, tetapi kita bisa belajar berdamai dengannya. Keberanian bukan berarti tidak merasa takut, melainkan tetap melangkah meski rasa takut itu ada. Setiap langkah kecil adalah bentuk perlawanan terhadap rasa gagal yang membatasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
