Fenomena Cancel Culture: Ketika Empati Hilang di Dunia Maya
Lainnnya | 2025-11-07 23:05:10“Batal, coret, hapus!” Begitulah cara dunia digital bereaksi saat seseorang dianggap melakukan kesalahan. Satu unggahan, satu potongan video, bisa mengubah status seseorang dari seorang idola menjadi musuh publik. Fenomena yang kita kenal sebagai cancel culture kini menjelma menjadi “pengadilan di dunia maya” yang sering kali lebih cepat menghukum daripada mencari kebenaran.
Awalnya, budaya ini lahir dari niat baik, yaitu menegakkan keadilan dan meminta pertanggungjawaban atas perilaku yang dianggap tidak pantas. Namun, di tangan masyarakat yang haus sensasi, cancel culture berubah menjadi alat penghakiman massal. Di kolom komentar, siapapun bisa menjadi hakim. Tanpa konteks, tanpa sempat membela diri, seseorang bisa dijatuhi “vonis sosial” hanya karena satu kesalahan.
Menurut sejumlah kajian mengenai perilaku digital, pola penghukuman digital ini memunculkan efek psikologis yang mirip dengan public shaming di dunia nyata. Rasa cemas, kehilangan harga diri, bahkan depresi, bisa dialami oleh mereka yang menjadi korban cancel. Lebih ironis lagi, budaya ini sering kali tumbuh di masyarakat yang mengaku menjunjung tinggi nilai empati dan moral.
Padahal, dalam kehidupan, kesalahan adalah bagian dari proses belajar manusia. Setiap orang bisa keliru, dan justru dari kesalahan seseorang tumbuh dan memperbaiki diri. Sayangnya, ruang untuk memperbaiki diri di dunia maya semakin sempit. Media sosial seolah menuntut kesempurnaan, sementara realitas manusia jauh dari kata sempurna.
Kita lupa bahwa di balik setiap akun, ada manusia dengan kisah dan pergulatan batin masing-masing. Ada yang benar-benar menyesal, ada yang tidak sadar telah berbuat salah dan ada yang mungkin hanya terseret keadaan. Namun, ruang empati di dunia digital sering kali tertutupi oleh hiruk pikuk opini yang saling bertabrakan.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya, “Apakah tujuan kita menegur itu untuk memperbaiki, atau sekedar melampiaskan amarah?” kritik tetap penting, tapi seharusnya lahir dari niat yang membangun. Karena kritik yang disampaikan dengan kemarahan hanya akan melahirkan luka baru, bukan perubahan.
Budaya cancel culture seharusnya bergeser menjadi budaya tanggung jawab, culture of accountability. Menegur tanpa menghancurkan, mengingatkan tanpa mempermalukan. Dengan begitu, dunia digital bisa menjadi ruang yang sehat untuk tubuh, bukan medan untuk menjatuhkan.
Yang kita butuhkan bukan menjadi lebih banyak penghakiman, tapi lebih banyak empati. Sebab setiap orang bisa salah, tapi tidak semua diberi kesempatan untuk berubah. Dan mungkin, peradaban yang matang justru dimulai saat manusia belajar memahami sebelum menghakimi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
