Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Marsa Rahadatul 'Aisyi

Salah Guna AI: Pria Singapura Menggunakan Chatbot untuk Bukti Sidang

Eduaksi | 2025-11-07 20:12:18

Kecerdasan buatan (AI) adalah bidang ilmu dan rekayasa yang berfokus pada penciptaan mesin atau program komputer cerdas yang meniru kemampuan manusia dalam bernalar, belajar, memecahkan masalah, dan beradaptasi. Tujuannya adalah menghasilkan sistem yang mampu mengambil keputusan paling efektif untuk mencapai suatu tujuan. (sumber: Monostori, Laszlo: Artificial Intelligence, S.C.O. Valadez: Languages with artificial intelligence applications).

Dunia semakin didominasi oleh maraknya penggunaan AI. Mulai dari segi hiburan, bidang kesenian, hingga pekerjaan sehari-hari yang juga banyak terbantu oleh penggunaan AI. Namun, meski teknologi kecerdasan buatan terbukti sangat mendukung kegiatan sehari-hari secara positif, AI juga berpotensi disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sumber: https://pixabay.com/

Pada 10 Oktober 2025, seorang pria Singapura tanpa pendamping hukum diduga menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam proses sidang untuk memperoleh Personal Protection Order (PPO) bagi dirinya dan dua putrinya terhadap sang istri yang berusaha menjauhkan mereka. Ia berupaya untuk membela diri sendiri demi mendapatkan perintah perlindungan atau Personal Protection Order (PPO) dengan mengutip 14 kasus serupa yang pernah terjadi. Namun, setelah kutipan kasus-kasus tersebut diverifikasi, hakim menemukan bahwa apa yang dikemukakan pria tersebut tidak ada rekam jejaknya.

Sebelumnya, apa itu PPO?

PPO atau Personal Protection Order adalah perintah hukum yang dapat dikeluarkan oleh Family Justice Courts Singapura yang dirancang untuk melindungi seseorang dari KDRT yang dilakukan oleh anggota keluarga. Fokus PPO adalah pada kekerasan di dalam konteks keluarga dan konsekuensi hukum yang lebih serius jika perintah perlindungan itu dilanggar.

Dalam kasus ini, sang pria membuat permohonan PPO akibat frustasi dengan apa yang ia anggap sebagai upaya sang mantan istri untuk menyangkal aksesnya ke anak-anak meskipun ada perintah pengadilan yang telah dibuat. Dalam catatan pengadilan, tertera bahwa sang ibu merasa tindakannya dapat dibenarkan dengan alasan bahwa dirinya serta anak-anaknya merasa terancam oleh bagaimana sang ayah berperilaku selama masa aksesnya yang dimana dalam hal ini, ia juga mengajukan permohonan PPO.

Pria tersebut berusaha untuk membela diri sendiri tanpa bantuan pengacara dengan memanfaatkan ChatGPT dengan mengutip beberapa kasus serupa melalui fitur AI Chatbot. Namun, yang menjadi masalah di sini adalah ia tidak melakukan cross-check atas akurasi/keaslian dari kasus yang ia berikan kepada pihak pengadilan. Sang pria menerima informasi dari ChatBot AI tersebut secara mentah dan langsung menyerahkannya secara tertulis kepada pihak pengadilan.

Hal ini tentu dengan mudah terdeteksi oleh para ahli. Soh Kian Peng, selaku hakim dari kasus ini, mengatakan bahwa beberapa kasus itu "jelas-jelas fiktif" meskipun sisanya tampak seperti rekam jejak kasus yang sah, namun keasliannya tetap tidak dapat dibuktikan.

“Sudah jelas sekali bahwa itu khayalan,” ucap Hakim Soh.

Pengadilan akhirnya menolak seluruh permohonan Personal Protection Order (PPO) oleh kedua pelapor. Ditambah lagi, hakim menjatuhkan denda kepada mantan suami sebesar 1.000 dolar Singapura atau setara dengan 13 juta rupiah. Hakim Soh menegaskan pengutipan kasus dalam pengadilan mempunyai peran yang penting dalam sistem hukum umum di Singapura.

"Pengutipan kasus palsu atau karangan AI ke pengadilan dengan demikian memiliki efek sangat merusak pada sistem hukum. Jika ada kecurigaan bahwa kasus, atau paragraf dari kasus yang dikutip tidak asli, maka waktu dan upaya harus dihabiskan untuk memeriksa asal-usul dan keaslian materi yang telah dikutip." ujarnya.

Hakim Soh juga mengklarifikasi bahwa pernyataannya tidak melarang pria tersebut menggunakan AI generatif. Namun, fakta bahwa pria itu membela diri sendiri tidak membebaskannya dari tanggung jawab untuk memastikan informasi yang ia ajukan ke pengadilan adalah akurat.

Penggunaan kecerdasan buatan untuk hal penting seperti bahan pengadilan sebenarnya boleh saja, tetapi data yang kita ambil dari AI tersebut perlu diolah lebih lanjut lagi. Hal tersebut bertujuan untuk memverifikasi kebenaran dari data yang diberikan serta, memastikan relevansi terhadap apa yang dibutuhkan.

Penggunaan AI demi mencari jawaban ataupun solusi atas permasalahan yang dimiliki untuk kemudian digunakan secara mentah-mentah tanpa verifikasi ulang merupakan tindakan yang salah dalam pemanfaatan teknologi modern.

Kasus tersebut memberikan pelajaran tentang pentingnya memverifikasi segala data dan sumber sebelum digunakan, apalagi untuk keperluan tingkat hukum. Penggunaan teknologi modern seperti AI generatif secara ugal-ugalan berdampak buruk, baik diri sendiri maupun orang lain dalam jangka pendek hingga jangka panjang. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap individu untuk belajar tentang etika penggunaan kecerdasan buatan yang baik dan benar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image