Komunikasi Sosial dan Edukasi
Sejarah | 2025-11-07 17:54:32A. Mendidik Bangsa Sendiri
1. Pendidikan Perempuan
Menjelang awal abad ke-20 terjadilah perubahan-perubahan masyarakat di Indonesia, yang terutama disebabkan oleh terbukanya negeri ini bagi perekonomian uang. Pada awalnya, terjadilah suatu perubahan pandangan penduduk bumiputra. Bersamaan dengan itu, gagasan tentang kemajuan mulai tumbuh: "Dan apabila gagasan tentang kemajuan itu menjadi hal yang utama, semangat masyarakat tentulah akan berubah, ekonomi tradisional dan etika sosial menjadi retak dan ukuran-ukuran baru mesti diciptakan. Kemudian terciptalah dorongan-dorongan untuk berusaha, terbangunlah rasa tanggung jawab dan keinginan untuk mengabdikan diri kepada sesuatu...." demikian seorang ahli sosiologi menulis tentang keadaan Indo-nesia pada awal abad ke-20.¹
Dengan gagasan tentang kemajuan itu terutama menjadi pemikiran pokok R.A. Kartini (1879-1904), seperti dicerminkan di dalam surat-surat pribadinya, yang diterbitkan pada tahun 1912 atas usaha dan diedit oleh J.H. Abendanon dengan judul Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Penerbitan itu menimbulkan gelombang kegairahan dan simpati mengenai gerakan emansipasi perempuan di Indonesia dan negeri-negeri lain. Bagaimana kedudukan gadis-gadis semasa Kartini menulis suratnya tertanggal 25 Mei 1899 kepada Stella Zeehandelaar, seorang gadis Belanda,dikisahkan sebagai berikut: "Kami, gadis-gadis masih terikat oleh adat istiadat lama dan sedikit sekali memperoleh kebahagiaan dari kemajuan pengajaran. Untuk keluar rumah sehari-hari dan mendapat pelajaran di sekolah saja sudah dianggap melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya berusia dua belas tahun, saya dikurung di dalam rumah, saya mesti masuk "kurungan". Saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar dunia itu lagi bila tidak disertai oleh seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi saya, dipilih oleh orang tua saya untuk saya, dikawinkan dengan saya tanpa sepengetahuan saya sendiri".
Perkembangan ke arah politik menjadi makin kentara pada gerakan perempuan setelah kaum perempuan ikut ambil bagian dalam kegiatan SI, PKI, PNI, dan PERMI. Perempuan Indonesia telah mengikuti jejak Pergerakan Nasional. Kongresnya yang pertama pada tanggal 22 Desember 1928, melahirkan Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Tanggal itu, yang kemudian dirayakan sebagai "Hari Ibu" dapat dilihat sebagai hari lahirnya kesadaran yang mendalam perempuan Indonesia tentang nasibnya, kewajibannya, kedudukannya, dan keanggotaannya dalam masyarakat. 13 Gerak kegiatannya tidak semata-mata politik dan terutama ditujukan untuk kerja kemasyarakatan dan kesejahteraan umum. Majalah Istri, yang terbit mingguan, melarang penggunaan bahasa Belanda dalam karangan-karangan yang akan dimuat, suatu bukti Istri melaksanakan salah satu keputusan Sumpah Pemuda tahun 1928.
Berbeda dengan PPII, Istri Sedar yang didirikan di Bandung pada tanggal 22 Maret 1930 semata-mata merupakan organisasi politik. Pada tahun 1932, setelah kongresnya yang kedua, salah satu programnya ialah "menyokong suatu pendidikan nasional yang berdasarkan kebutuhan kaum melarat dan atas dasar-dasar kemerdekaan dan percaya kepada diri-sendiri". Tahun itu adalah tahun perlawanan umum terhadap undang-undang "sekolah liar" yang kemudian dijadikan tema sebuah novel Suwarsih Djojopuspito berjudul Buiten het gareel (Di luar kekangan).14 Suwarsih adalah istri Sugondo Djojopuspito, yang waktu itu menjadi pemimpin sekolah Taman Siswa Bandung. Sebagai guru ia ikut mengalami hidup di "sekolah liar" selama bertahun-tahun sebelum perang. Terpancar dengan jelas dari dalam buku yang "simpatik sekali, diliputi oleh suasana melankolik dari cerita idealisme yang tidak luntur-lunturnya oleh penderitaan ...."15 Kecuali itu, bukunya menggambarkan dengan jelas betapa eratnya Taman Siswa dengan gerakan nasional serta pandangan penulisnya sebagai penganut feminisme dan nasionalisme yang terkandung dalam Istri Sedar.
2. Taman Siswa
Sejarah Taman Siswa adalah sejarah kebangsaan Indonesia. Kelahirannya pada tanggal 3 Juli 1922 dinilai oleh seorang penulis sejarah Indonesia sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia. Karena, kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat dengan semboyan-semboyan asing dan ajaran-ajaran Marxis terpaksa memberikan tempat untuk gerakan baru, yang benar-benar berasas kebangsaan dan bersikap nonkooperatif dengan pemerintah jajahan.
Bapak gerakan ini ialah R.M. Suwardi Surjaningrat atau yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Karena keanggotaannya dalam Indische Partij dan aktivitasnya menentang usaha-usaha perayaan 100 tahunkemerdekaan Belanda atas jajahan Prancis Napoleon, ia dibuang ke negeri Belanda bersama dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker 20 (Danudirdjo Setyabudhi), 1913 September 1919. Dalam masa pembuangan itu ia memakai kesempatan untuk mempelajari masalah-masalah pendidikan dan berhasil merumuskan pernyataan asas pengajaran nasional.
Pasal 3 menyinggung kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan kebarat-baratan menimbulkan pelbagai kekacauan. Sistem pengajaran yang timbul dianggap terlampau mementingkan kecerdasan pikiran, yang melanggar dasar-dasar kodrati yang terdapat dalam kebudayaan sendiri, sehingga tidak menjamin keserasian dan dapat memberi kepuasan. Inilah yang disebut dasar budaya.
Pasal 4 mengandung dasar kerakyatan. "Tidak ada pengajaran, bagaimanapun tingginya, dapat berguna, apabila hanya diberikan kepada sebagian kecil orang dalam pergaulan hidup. Daerah pengajaran harus diperluas". Pasal 5 merupakan asas yang sangat penting bagi semua orang yang ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya. Pokok asas ini ialah percaya kepada kekuatan sendiri. Pasal 6 berisi persyaratan dalam mengejar kemerdekaan diri dengan jalan keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha. Itulah yang disebut Zelfbedruipings-systeem. Pasal 7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir batin bagi guru-guru untuk men-dekati anak didiknya.
Taman Siswa hendak memperbaiki bangunan budaya yang sudah retak dengan mengganti genteng bocor, menambal dinding yang pecah, dan memperbarui salah satu tiang pendopo, tetapi bentuk bangunan tetap itu itu juga. Sebaliknya, Pudjangga Baru akan bertindak: hancurkan bangunan itu seluruhnya kalau perlu, bangunkan yang baru menurut gaya-pengertian baru, sehingga cahaya dan udara dapat memasuki gedung itu. Taman Siswa berpijak dengan kedua kakinya pada masa lampau, sebaliknya Pujangga Baru berpijak pada masa sekarang dengan memandang ke masa depan. 34
Ketajaman kritik yang sedemikian pada waktu itu, sekarang telah ke-hilangan ketajamannya. Meskipun kadang-kadang masih dikemukakan teori tentang pembinaan budaya Indonesia Baru, beberapa orang menganggap cita-cita Pujangga Baru kurang penting lagi. 35
3. Sekolah-Sekolah Sarekat Islam
Pada akhir Februari 1921 Tan Malaka datang di Batavia setelah ia bekerja sebagai guru di sekolah yang diadakan oleh Deli & Svembah Maatschappij (1920-1921). Cita-cita untuk mendirikan sekolah sendiri telah ada padanya, tetapi ia masih memerlukan kebebasan untuk dapat bekerja, mendapatkan murid sendiri, ruangan kelas, dan alat-alat. Kecuali itu, ia menganggap perlu mendapatkan lingkungan masyarakat yang akan membantu usahanya. Di Batavia ia membicarakan maksudnya itu dengan bekas gurunya di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah guru untuk guru-guru bumiputra) di Fort de Kock, yaitu kota Bukittinggi sekarang ini. Bekas gurunya itu menyatakan persetujuannya dan memberikan dorongan.
Kemudian ia pergi ke Yogyakarta dan bertemu dengan R. Sutopo, redaktur kepala surat kabar Boedi Oetomo. Sutopo menghendaki agar Tan Malaka dapat memimpin suatu sekolah yang akan didirikan di kota itu. Selain bertemu dengan Sutopo ia juga berjumpa dengan para pemimpin SI yang sedang berkongres di kota itu, antara lain dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono. Semaun juga menawarkan kepada Tan Malaka untuk memimpin sekolah yang akan didirikan di Semarang. Ia menerima tawaran Semaun itu dan menetap serumah dengan Semaun di Semarang.
Mengenai tujuan yang kedua dikatakannya bahwa semangat pergaulan anak-anak di sekolah masa sekarang tidak sesuai dengan umur anak-anak itu. Pekerjaan murid-murid seperti mesin di pabrik gula, siang-malam tidak berhenti kerja. Pada waktu bermain, anak-anak kurang mendapat kesem-patan bergaul dan berkumpul sehingga mendapat kesempatan mengatur hidup berkelompok. Untuk mengembangkan hidup berkelompok dengan aturan-aturan yang dibuat oleh anak-anak sendiri perlu didirikan "komite perpustakaan", "komite kebersihan", "komite sepak bola", dan sebagainya. Juga perlu diadakan rapat-rapat para murid, untuk memupuk keberanian berbicara dan rasa kemerdekaan.
Dalam mengorganisasi semua kegiatan itu, guru-guru tidak ikut serta, karena tujuannya tidak untuk mendidik anak-anak menjadi gramofon. Mereka harus sanggup berpikir merdeka dan mencari jalan sendiri. Di samping komite anak-anak tersebut, Tan Malaka menginginkan terbentuk-nya kelompok seni wayang dan nyanyian, demikian juga kesempatan bagi murid untuk mengendalikan surat kabar. 48
Di sekolah diceritakan nasibnya kaum melarat di tanah air dan dunia lain serta dijelaskan sebab-sebab kemelaratan itu. Lain daripada itu dibangunkan rasa belas kasihan pada kaum terhina serta ditunjukkan kepada kewajiban, bahwa kelak bila telah dewasa, ia akan membela berjuta-juta kaum proletar.
Dalam rapat-rapat SI dan buruh, murid-murid yang sudah cukup matang, diajak menyaksikan sendiri suaranya kaum Kromo dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan, yang sesuai dengan umur mereka.
Kelak setelah dewasa, hubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar membela rakyat tidak merupakan isi buku dan kenang-kenangan belaka, tetapi sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing."
Dengan demikian, maka sekolah SI tidak melaksanakan suatu sekolah. semata-mata, tetapi menginginkan suatu "haluan pendidikan", yang sesuai dengan haluan SI Semarang. Maksudnya ialah mencari suatu bentuk pendidikan yang dapat mendatangkan faedah bagi rakyat, sedapat-dapatnya di seluruh Indonesia. Dalam hubungan ini pendidikan calon-calon guru sekolah SI mendapat perhatian khusus dari pengurus sekolah.
Setelah ia dibuang ke Nederland, Tan Malaka menulis satu seri karangan tentang sekolah-sekolah SI dan tindakan-tindakan pemerintah kolonial. Sesuai dengan keadaannya sebagai orang buangan politik, maka karangannya itu lebih tajam perumusan serta penyajiannya dibandingkan dengan karangan SI Semarang dan Onderwijs yang terbit di Indonesia.
Pendiri dan pemimpin sekolah ini ialah E.F.E. Douwes Dekker, di kemudian hari lebih dikenal sebagai Dr. Danudirdjo Setyabuddhi, bekas pemimpin Indische Partij. Sekembalinya dari pembuangan di Nederland, ia berusaha bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah rendah partikelir di Jalan Kebon Kelapa 17 Bandung, yang dipimpin oleh Ny. H.E. Mayer-Elenbaas. Maksudnya itu diberitahukan kepada Residen Priangan, yang dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal memberitahukan serta meminta pertimbangan kepada pemerintah kolonial itu. Antara lain disebutkan keberatan residen, karena suami Ny. Mayer tercatat sebagai orang komunis.
Namun, Gubernur Jenderal berpendapat, "lebih baik kepada orang-orang yang sedang gelisah seperti Douwes Dekker diberi kesempatan kerja tetap bagi penghidupannya daripada ia, karena dihalangi kesempatannya, akan lebih condong untuk rakyat". Sejak September 1922 Douwes Dekker diperkenankan sebagai guru pada sekolah Ny. Mayer itu. Pada tahun 1923 dari bekas sekolah Ny. Mayer itu muncul "Institut Pengajaran Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat di Bandung" dalam bahasa Belanda Preanger Instituut van de Vereeniging Volksonderwijs, di mana Douwes Dekker berkedudukan sebagai kepala MULO.
Tujuan sekolah itu ialah untuk memberi kesempatan belajar yang lebih baik dan luas kepada anak-anak bumiputra. Rencana pelajaran sekolah itu disesuaikan dengan ELS, dan tidak dengan HIS. Douwes Dekker sendiri sebenarnya tidak setuju dengan rencana pelajaran kedua sekolah pemerintah itu, karena dianggap tidak berdiri di atas dasar nasional. Akan tetapi, karena orang tua murid mendesak agar bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pengantar, serta pengakuan mereka bahwa di dalam keadaan kolonial waktu itu bahasa Belanda masih tetap penting dilihat dari sudut pertimbangan ekonomis, Douwes Dekker terpaksa menyetujuinya.
Itulah maksud pendidikan sekolah guru, yang akan mulai dibuka pada tanggal 1 Agustus 1935. Dengan sekolah guru itu ingin dapat dicapai:
1. pengajar-pengajar yang baik dan spesialisasi;
2. terbentuknya dengan segera bala tentara guru-guru;
3. pendidikan yang murah, yang berarti keuntungan bagi negeri, gaji rendah, tempo yang lebih cepat untuk perluasan sekolah rakyat, dan dengan demikian membuat basis yang lebih luas bagi perkembangan bangsa.
5. Ruang Pendidikan INS Kayutanam
Pendidik dan pendiri Ruang Pendidikan INS itu ialah Mohammad Sjafei (1897-1969), seorang kelahiran Kalimantan Barat. Ia adalah anak angkat Marah Sutan, yang kemudian dikenal sebagai guru yang terkemuka dan ulet. la pernah menjadi murid sekolah Raja di Bukittinggi (1908-1914) dan merantau ke Jakarta, kemudian tercatat sebagai guru yang pertama mengajar pada Sekolah Kartini di situ. Bersama Marah Sutan ia ikut aktif dalam Budi Utomo dan Insulinde. Selain itu, ia juga membantu perkumpulan perempuan Putri Merdika.
Di Sekolah Kartini itu ia diberi kebebasan untuk mengadakan percobaan, yang tanpa diketahuinya sejalan dengan apa yang telah dipraktikkan di Amerika melalui sistem Dalton dan teori kerja tangan. Direktur sekolah Kartini, Ny. Evenhuis, dipujinya dalam pidato pembukaan sekolah di Kayutanam pada tanggal 31 Oktober 1926 untuk kesempatan yang telah diberikan kepadanya. Juga dikenang jasa guru gambar HBS Jakarta, de Graaf, yang telah memberikan pelajaran melukis padanya.
Pada tahun 1920, bertepatan dengan kongres NIOG, diadakan pameran pendidikan, dan Sjafei mendapat kesempatan pula untuk ikut memamerkan hasil-hasil percobaannya dan mendapat pujian dari beberapa kalangan pendidikan.69
Pada tahun 1922 ia menuju Nederland dengan biaya sendiri, hasil kegiatannya menulis dan menerjemahkan buku. Dalam pidato pembukaan tersebut di atas ia mengisahkan bagaimana ia mempelajari sistem pendidikan di Nederland dan terutama pendidikan rendah. Semua provinsi Nederland dijelajahi, dan dipelajarinya pendidikan sekolah rendah di pelosok-pelos Ia melihat juga betapa peran pendidikan di Nederland dipegang lembaga-lembaga partikelir. Di sanalah ia mulai yakin bahwa bagi kem. negeri dan rakyat pendidikanlah yang harus memegang peran.
Mata pelajaran pokok ialah bahasa Indonesia, tidak kurang dari 7½ jam dipergunakan di kelas rendah dan 6 jam di kelas tiga. Apabila dalam pelajaran bahasa asing, yang dipentingkan pada mulanya hanya pengamatan si murid, pada pelajaran bahasa itu sejak semula murid dibiasakan untuk merumuskan secara tajam pikirannya dan dengan itu ingin dicapai berpikir secara teratur. Sebagai bahan pelajaran harus dipakai kisah dan kejadian di sekitarnya.
Bahasa Belanda hanya diberikan satu jam di kelas satu, yang berupa latihan ucapan, kemudian di kelas dua 6 jam dan di kelas tiga 7½ jam. Maksud pengajaran ialah penguasaan pasif. Rencana pelajaran sekolah itu berada di tengah-tengah rencana pelajaran pemerintah dan rencana pelajaran Taman Siswa.
Ilmu hayat diajarkan sejalan dan dikaitkan dengan pelajaran meng-gambar dan kerja tangan, dan terutama untuk membangkitkan perhatian, mengenal, dan meneliti sendiri. Orang mulai dengan menerangkan tumbuh-tumbuhan dan binatang di sekitarnya. Corak agama menjadi ciri pengajaran, yang untuk Sumatra Barat berarti agama Islam. Namun, titik berat ialah agar anak-anak lebih menghayati agama, tidak untuk pengetahuan maupun menjalankan ibadah. Cinta kepada kebenaran didengung-dengungkan kepada murid sebagai suatu kebajikan yang besar.
6. Perguruan Rakyat
Perguruan itu didirikan pada tanggal 11 Desember 1928% dan merupa-kan gabungan dari dua perkumpulan yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu Pustaka Kita dan Perhimpunan untuk Belajar. Yang pertama adalah perkumpulan yang dipimpin oleh Mr. Sunario dan A. Mononutu Wilson (didirikan pada bulan Agustus 1928) dan bertujuan membangun perpustakaan serta mengadakan seri ceramah yang penting bagi pengetahuan dan kemajuan bagi anggota-anggotanya. Yang kedua didirikan oleh sembilan belas orang, diketuai oleh Sudarmoatmojo dan Sarah Thaib." Tujuan perkumpulan itu ialah untuk membuka kursus bahasa-bahasa asing, Jerman, Inggris, dan Prancis serta ilmu jurnalistik. Mula-mula Drs. Sosrokartono akan memberi pelajaran, karena sesuatu hal, sebagai penggantinya ialah Mr. Sunario dari Pustaka Kita.
Kemudian timbul cita-cita untuk mempersatukan kedua perkumpulan itu dan terwujudlah Perguruan Rakyat. Berhubung dengan peristiwa itu sebuah penerbitan resmi pemerintah mencatat bahwa penggabungan itu merupakan hasil dorongan para pemimpin PNI di Jakarta. Pengurus baru yang dipilih terdiri dari: Mr. Dr. Muhammad Nazif (ketua), A. Mononutu Wilson (penulis I), Sudarmoatmojo (penulis II), B. Tomowardoyo (bendahari I), S. Martadisastra (bendahari II) dan anggotanya terdiri dari Dr. W.K.R.D. Asikin, Mr. Muhammad Yamin, Njonoprawoto, dan Sunarko. Saeroen di-serahi tugas untuk memimpin perpustakaan. Di samping pengurus terdapat juga badan pengawas, yang terdiri dari R.A.A. Kusumo Utojo (ketua), D. Kusuma Subrata (penulis), dan para anggota yang terdiri dari Mr. Hadi, Dahlan Abdullah, Mr. Sartono, Dr. Kajadu, dan Muh. Husni Thamrin.
Deretan nama itu adalah tokoh-tokoh pergerakan nasional yang tidak asing lagi. Beberapa di antaranya hingga tercapainya Kemerdekaan dan dalam masa pembinaan Republik Indonesia tetap memegang peran yang penting dan terhormat. Selain itu, juga merupakan sebuah contoh di antara banyak kegiatan di Jakarta - betapa kota itu memberikan lingkungan, iklim sosial dan politik yang memungkinkan usaha-usaha bersama. Usaha bersan dalam jangkauan serta rencananya jelas-jelas mengatasi asal usul mereka, secara keturunan maupun kesukuan.
7. Pesantren
Pesantren berasal dari kata "santri" yang mempunyai arti, tempat para santri mengaji. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional umat Islam untuk mempelajari, mendalami, dan melaksanakan ajaran Islam yang memberi tekanan pada keseimbangan antara aspek ilmu dan perilaku. Sebuah pesantren dipimpin oleh seorang kiai yang bertanggung jawab penuh atas seluruh proses kegiatan pendidikan di lembaga tersebut. Dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar, kiai dibantu oleh beberapa ustadz (guru).
Lembaga pendidikan tradisional ini telah berusia tua, tersebar di beberapa tempat di Indonesia. Telah tuanya kegiatan pendidikan pesantren ini dapat ditunjukkan dengan adanya tempat di lereng Gunung Karang, Banten, sejak awal abad ke-16 kegiatan pendidikan pesantren tersebut terbuka bagi masyarakat umum.
Tentang waktu kapan mulai ada pesantren di Indonesia, ada perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan. Perbedaan pendapat itu disebabkan adanya perbedaan sudut pandang, sebagian melihat isi kegiatan dan sebagian lain melihat nama lembaganya. Menurut Pigeaud dan de Graaf, dengan melihat isi kegiatan, pesantren sudah ada sejak abad ke-16. Menurut Marten van Bruinessen, dengan melihat nama lembaga, pesantren baru ada pada pertengahan abad ke-18, tepatnya tahun 1742, yaitu merujuk pada waktu berdirinya pesantren di Tegalrejo, Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana III.
Setelah itu, sekitar tahun 1775, berdiri pesantren Jamsaren di Surakarta yang didirikan oleh Kiai Jamsari atas dukungan Sunan Paku Buwana IV.52 Ia mengasuh pondok pesantren itu hingga meninggal dunia pada sekitar tahun 1800 dan jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan pondok. Pengelolaan pondok kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Kyai Jamsari II.63
Kemasyhuran suatu pesantren dan daya tariknya sangat tergantung pada reputasi kiainya. Daya tarik seseorang untuk belajar di suatu pesantren bukan karena nama atau jauh dekatnya suatu pesantren, melainkan karena kepribadian atau karisma kiai yang memimpin pesantren itu. Karisma seorang kiai dapat diperoleh karena kekuatan spiritual dan kemampuan memberikan "berkah" kepada orang lain. Akibat besarnya daya tarik sed kiai, jika seorang kiai dari suatu pesantren meninggal dunia, pesantren dapat merosot karena banyak santrinya yang pindah ke pesantren lain. 55 Demikian merosotnya suatu pesantren akibat kiainya meninggal dunia, dapat terjadi anak kiai tersebut mendirikan pesantren sendiri, tidak meneruskan pesantren yang ditinggalkan ayahnya.
Di antara para santri itu ada yang ingin melanjutkan pelajaran. Mereka yang ingin memperdalam pengetahuan agama sering pergi merantau mengunjungi pesantren terkenal. Di tempat itu, mereka biasanya mulai mempelajari bahasa Arab, usul dan fiqh yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab. Fiqh mempelajari bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan ibadah haji. Pada tingkat yang lebih tinggi dipelajari peraturan nikah, talak, dan rujuk, serta hukum warisan (faraidh).99
Materi yang dipelajari di pesantren berupa buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab, teks tertulis, tetapi penyampaian secara lisan oleh para kiai, sangat penting. Proses belajar-mengajarnya adalah beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah bimbingan kiai. Ia biasanya membaca teks buku baris demi baris dan menerjemahkannya ke dalam bahasa pengantar (tergantung pada daerahnya, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda) disertai syarah (komentar seperlunya). Buku-buku yang dipelajari biasanya dicetak di Mekah, Kairo, dan Istambul. Setelah santri menamatkan kitab tertentu, mereka memperoleh ijazah, setelah itu mereka dapat berpindah ke pesantren lain untuk mempelajari kitab lain. Banyak kiai terkenal menjadi ahli sejumlah kitab tertentu, kebanyakan kiai hanya mengajarkan kitab kuning."
B. Indonesia dan Bahasa Indonesia sebagai Identifikasi Bangsa
1. Perkembangan Bahasa Indonesia
Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang sekarang ini merupakan bahasa nasional Republik Indonesia, sejak lama telah menjadi bahan pembicaraan luas." Bahasa Melayu yang aslinya merupakan bahasa kelompok suku bangsa di kepulauan Indonesia, telah lama menjadi bahasa perdagangan di daerah pelabuhan di Indonesia. Di samping itu, dipergunakan pula dalam penyebaran agama Islam dan Kristen.
Pertentangan-pertentangan setempat yang timbul berhubungan dengan kedatangan pedagang-pedagang Belanda dan berakhir dengan perjanjian-perjanjian dagang maupun politik juga menggunakan bahasa Melayu di samping bahasa Belanda.
Sekolah-sekolah Bumiputra yang kemudian didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda direncanakan untuk memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Akan tetapi, sejak awal abad ke-20 kepentingan daerah jajahan, yang memerlukan tenaga-tenaga rendahan yang mengerti bahasa Belanda menggeser bahasa Melayu. Sekolah di kota-kota lebih banyak mengajarkan bahasa Belanda.98
Sebaliknya, perkembangan sosial di kota-kota menumbuhkan kelompok elite baru yang amat peka terhadap perubahan. Tanda-tanda pertama kepekaan terhadap perubahan itu dapat dilihat dengan lahirnya organisasi bercorak politik, yang mencita-citakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, 100 dan Indische Partij.
Seorang wakil pelajar Indonesia di Nederland, yang telah aktif dalam gerakan nasional, dalam kongres Indonesisch Verbond van Studeerenden (Perserikatan Pelajar Indonesia) pada tahun 1918 di Wageningen telah mengusulkan agar bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Indonesia. Majalah pelajar-pelajar di Nederland berjudul Hindia Poetra (!) 103
Di Indonesia sendiri perkembangan pers berbahasa Melayu dinilai sangat penting perannya, karena pers itu langsung dapat mencapai penduduk bumiputra, golongan penduduk yang terbanyak jumlahnya di samping golongan Belanda dan Cina. Pada mulanya pers berbahasa Melayu itu adalah milik modal Belanda maupun Cina, tetapi tidak jarang redaksinya merupakan campuran. Umumnya ada guru bahasa Melayu yang duduk dalam dewan redaksi. Peran pers berbahasa Melayu itu diperhatikan oleh pengarang terutama tentang pers Indonesia, seperti karangan E.F.E. Douwes Dekker dan seorang sarjana Prancis Antoine Cabaton, kedua-duanya menulis pada tahun 1909,104
Medan Prijaji, mingguan dan kemudian harian, adalah yang terpenting dalam rangkaian perkembangan awal pers Indonesia. Bukan saja karena modal dan penerbitnya adalah orang Indonesia, melainkan nada isinya yang jelas menunjukkan kesadaran penggunaan bahasa Melayu sebagai media untuk membentuk pendapat umum mengenai berbagai persoalan masya-rakat dewasa itu. Pemimpinnya R.M. Tirtohadisuryo, kemudian diserahi tugas untuk memimpin surat kabar Sarekat Islam pertama, yaitu Sarotama,Pada bulan Oktober 1928 pemuda-pemuda Indonesia mengadakan kongres kedua, keputusan-keputusannya kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda Indo-nesia Raya. Dalam hubungan karangan ini, keputusannya bahwa "Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" merupakan perumusan yang tepat sekali dari kesadaran yang secara lambat berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. 109
Semenjak itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan sejalan dengan kesadaran identitas Indonesia. Latar belakang budaya dan sosial pemakai bahasa Indonesia tercermin dalam karangan-karangan mereka. Karya Sastra Indonesia sebagai hasil "arsitek-arsitek bahasa Indonesia", baik sebagai terbitan Balai Pustaka maupun di luarnya menuju ke arah kesempurnaan bahasa Indonesia. Pujangga Baru yang terbit sejak 1933 merupakan cermin kegiatan intelektual elite baru yang dengan sadar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi modern di tengah-tengah perkembangan ilmu dan teknologi.
Gerakan pendidikan Taman Siswa, yang oleh banyak orang disebut "mulai perjalanan hidupnya yang aneh itu dengan aksi untuk melindungi budaya Jawa", antara tahun 1930-1940 para pemimpinnya "telah meninggalkan cita-citanya dan menerima prioritas kepentingan bahasa Indonesia"
Sebuah kongres bahasa diadakan di Surakarta pada tahun 1938,112 Keputusan-keputusannya yang penting ialah gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga dan sebuah fakultas untuk mempelajari bahasa Indonesia. Di samping itu, membuat tata bahasa baru sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur bahasa. Bahasa Indonesia hendaklah dipakai sebagai bahasa hukum dan sebagai alat pertukaran pikiran di dalam dewan-dewan perwakilan waktu itu. Akan tetapi, keputusan-keputusan itu hanya di atas kertas dan tidak satu lembaga pun yang didirikan untuk melak-sanakan keputusan kongres itu.
Dalam pada itu, pers dan majalah yang mewakili ideologi agama, politik, maupun budaya terbit terus dengan bahasa Indonesia yang makin sempurna. Ikutilah umpamanya rangkaian polemik tentang budaya Indonesia antara tahun 1935-1939, di mana seorang sarjana hukum dan sastrawan, Sutan Takdir Alisjahbana, dua orang dokter atau politikus, Dr. Sutomo dan Dr. M. Amir, dua orang wartawan, Adinegoro dan Tjindarbumi, seorang guru dan sastrawan, Sanusi Pane, seorang politikus, pendidik, dan budayawan, Ki Hadjar Dewantara, dan akhirnya seorang sarjana sejarah dan budaya kuno, Dr. Purbatjaraka, menggunakan bahasa Indonesia dengan gaya masing-masing.
2. Indonesia: Identitas Bangsa
Sejalan dengan perkembangan bahasa Indonesia, satu aspek yang penting pula ialah perjuangan pemakaian kata istilah Indonesia untuk menunjukkan identitas nasion (bangsa) yang dicita-citakan oleh cendekiawan Indonesia. Semula berasal dari pelbagai suku bangsa, tetapi tatkala berada di Nederland mereka bersama memerlukan satu penanaman asal bangsa.
Majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia di Nederland, mencatat di dalam kata pengantarnya: "Kita memasuki tahun baru dengan pakaian baru dan nama baru. Pergantian nama itu bukanlah merupakan hasil khayalan secara tiba-tiba, melainkan itu hanya merupakan penarikan sebuah garis, yang dimulai dengan perubahan Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging"
Indische Vereeniging adalah perkumpulan para mahasiswa Indonesia di Nederland, didirikan pada tanggal 15 November 1908, yang berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (1922) dan kemudian Perhimpunan Indonesia (1924). Majalahnya yang semula bernama Hindia Poetra berubah menjadi In-donesia Merdeka.
Dalam nomor pertama itu pula dicatat, bahwa: Indonesia Merdeka merupakan suara Indonesia Muda yang sedang belajar, suara yang pada waktu ini mungkin tidak terdengar oleh penguasa, tetapi yang pada suatu saat pasti akan didengar.... Adalah suatu kesalahan untuk menganggap remeh suara itu, sebab di belakang suara itu berdiri kemauan pasti untuk tetap merebut kembali hak-hak lambat atau cepat untuk menetapkan kedudukan atau keyakinan di tengah-tengah dunia, yaitu Indonesia Merdeka.
Peristiwa pergantian nama itu dan perjuangan untuk mengganti nama Nederlandsch-Indie menjadi Indonesia dicatat oleh penyusun pertama Sejarah Pergerakan Nasional, J.Th. Petrus Blumberger (1931). Ia mencatat bahwa sekitar tahun 1925 banyak organisasi yang berorientasi nasional memakai nama Indonesia dan ingin memberi isi ketatanegaraan ke dalam kata itu. 117
Pemakaian nama Indonesia sejak itu secara luas terdapat pada surat kabar, organisasi-organisasi, judul-judul karangan dan sebagainya. Judul-judul seperti "Indonesia in de Wereldgemeenschap" (Indonesia di Tengah-tengah Pergaulan Dunia), "Indonesia di tengah-tengah Revolusi Asia", dan "De Vakvereeniging in Indonesie" (Serikat Sekerja di Indonesia) termuat di dalam nomor lustrum 15 tahun berdirinya Indonesische Vereeniging (1908 1923).
Sejak awal pergerakan nasional terasa keperluan memakai suatu kata untuk menunjukkan tujuan pokok pergerakan. Perkumpulan-perkumpulan yang bercorak kedaerahan pada mulanya tidak merasa perlu untuk mencari kata pemersatu itu. Akan tetapi, sekali perkumpulan itu mengatasi batas-batas kedaerahan, menjadi masalah untuk mencari nama organisasinya.
Demikianlah dapat dicatat, tatkala para mahasiswa di Nederland pada tahun 1908 akan mendirikan perkumpulan, R.M. Notosuroto mengusulkan nama Budi Utomo cabang Nederland. Nama itu ditolak oleh dokter Apituley dari Maluku, karena para mahasiswa tidak semua berasal dari Jawa. 123 Ditetapkanlah kemudian nama Indische Vereeniging. Orang-orang Indo di In-donesia, menamakan organisasinya Insulinde, yang telah dipakai oleh Multatuli dalam abad ke-19. Tatkala mereka mendirikan partai bersama dengan penduduk pribumi, partainya bernama De Indische Partij, sedangkan konsep kewarganegaraannya ialah Indiers atau kaum Hindia.
Sebagai istilah pengetahuan, nama Indonesia makin populer dipakai, di samping istilah Nusantara. Sebuah biro pers didirikan di Nederland oleh Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) pada tahun 1913, bernama Indonesisch Persbureau, 124 Dr. Ratulangi diberitakan mendirikan kantor asuransi di Bandung pada tahun dua puluhan dengan nama Assurantie Indonesia. 125 Nusantara juga banyak dipakai, antara lain oleh Ki Hadjar Dewantara dan Sanusi Pane.
Dari semua itu, Perhimpunan Indonesialah yang melantingkan kata Indo-nesia di dalam pengertian politik ketatanegaraan. Perumusannya tertuang dalam artikel pengarang tidak bernama tersebut di atas dengan singkat dan jelas: "Indonesia sama artinya dengan Nederlandsch-Indie, sebagai pengertian ketatanegaraan bagi negara Indonesia yang akan datang. Indonesia tidak hanya berarti telah tercapainya tujuan, tetapi kesatuan, kekuasaan untuk mewujudkan diri sendiri!"
C. Perkembangan Pers Indonesia
1. Perkembangan Awal: Pers Daerah dan Bahasa Melayu
Dalam sebuah uraian awal tentang pers di Indonesia pada tahun 1909, E.F.E Douwes Dekker (di kemudian hari lebih dikenal sebagai Dr. Danu-dirdja Setyabuddhi yang waktu itu menjadi editor pembantu surat kabar Bataaviaasch Niewsblad di Jakarta), telah menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers Belanda, karena pers itu langsung dapat menarik pembaca-pembaca pribumi.
Dalam waktu yang singkat pers itu dapat meluas ke segala arah, sungguhpun kecepatan perkembangan dipengaruhi oleh pers Belanda dan Melayu-Tionghoa di Indonesia. Pers Belanda itu sendiri telah pula mengalami perjuangan yang pan-jang untuk tercapainya kebebasan pers.
Perkembangan pers bumiputra atau yang ber-bahasa Melayu menimbulkan pemikiran di kalangan pemerintah kolonial untuk menerbitkan sendiri surat kabar berbahasa Melayu yang cukup besar dan dengan sumber-sumber pemberitaan yang baik. Ciri-ciri pers berbahasa Melayu ialah lingkungan pembacanya yang dituju atau yang menjadi langganan.
Gambar 4.8 Koran Batavia sche Nouvelles (1744-1746), satu-satunya koran di masa VOC (foto KITLV)
Pertama, surat kabar yang berisi berita atau karangan yang jelas hanya golongan keturunan Cina, seperti terjadi dengan surat kabar yang terbit di Jakarta, Surabaya, dan beberapa yang terbit di Semarang.
Kedua, surat kabar berbahasa Melayu, yang dibiayai dan dikerjakan oleh orang-orang Cina, tetapi lingkungan pembacanya terutama ialah penduduk bumiputra.
Ketiga, surat kabar yang terutama dibaca oleh kedua golongan itu.
Menurut Douwes Dekker, secara kronologis surat kabar berbahasa Melayu yang tertua yaitu Bintang Soerabaja (1861). Isinya selalu menentang pemerintah dan berpengaruh di kalangan orang-orang Cina dari partai modern di Jawa Timur. Surat kabar di Surabaya yang senada yaitu Pewarta Soerabaja (1902), pembacanya terbanyak ialah golongan Cina. Pemimpin redaksi kedua surat kabar itu masing-masing ialah Courant dan H. Hommer.
Pelopor pers nasional ialah Medan Prijaji (waktu itu terbit ming-guan), yang sesuai dengan namanya merupakan suara golongan priyayi. Pemimpin redaksinya ialah R.M. Tirtoadisuryo. Terbit pada tahun 1907 dan sejak tahun 1910 sebagai harian.
Surat kabar yang penting di Semarang ialah Warna Warta di bawah pimpinan J.P.H. Pangemanan. Karena seringnya menyerang peme-rintah, redakturnya beberapa kali diadili karena tulisan-tulisannya.
MEDAN-PRIJAJI.
Di Sumatra Barat surat kabar-surat kabar yang terkemuka ialah Sinar Soematra di bawah redaksi Lim Soen Hin, Tjahaja Soematra (1897) dengan redaksi R. Datoek Soetan Maharadja, Pemberita Aceh di bawah pimpinan Dja Endar Moeda. Yang keempat ialah surat kabar Pertja Barat, yang dipimpin oleh Soetan Negeri. Keempat surat kabar itu dikenal sebagai progresif, sungguhpun masih banyak lagi surat kabar lainnya dalam bahasa Melayu. Akan tetapi, yang terakhir itu tidak dianggap mengganggu penguasa. Di Aceh, antara lain, terbit Sinar Atjeh pada tahun 1907 yang hanya bertahan satu tahun karena pelanggannya kurang.
Di Jakarta menjelang abad ke-20 terbit Taman Sari (1898) di bawah F. Wiggers, Pemberita Betawi (1874) dipimpin oleh J. Hendriks. Di Bandung Raden Ngabehi Tjitro Idiwinoto sejak tahun 1894 memimpin Pewarta Hindia, sedang-kan di Semarang Bintang Pagi (1907) dan Sinar Djawa (1899) masing-masing dipimpin oleh The Mo Hoat dan Sie Hiang Ling. Bintang Pagi ter-utama populer di kalangan Cina modern karena oposisinya yang keras terhadap pemerintahan Manchu.
Di Bogor sejak tahun 1905 terbit mingguan Tiong Hoa Wie Sin Ho di bawah pimpinan Tan Soei Bing. Di Surakarta terbit Taman Pewarta (1901) dengan Thjie Sian Ling dan mingguan Cina-Melayu Ik Po (1904) di bawah redaksi Tan Soe Djwan. Surat kabar berbahasa Djawa-Melayu Djawi-Hisworo (1905) dipimpin oleh Dirdjoatmodjo. Semarang memiliki surat kabar Slompret Melayoe dipimpin oleh A. Appel, dan Taman Pengajar yang dipimpin oleh seorang guru, Mas Boediardjo. Raden Djojosoediro memimpin Tjahaja Timoer (1907) di Malang. Sutan Raja Nan Gadang memimpin Warta Brita di Padang, sedangkan di Sibolga Lim Boen Sian memimpin Bintang Pasir (1907). Di Manado J.A. Worotikan memimpin Pewarta Menado, sedangkan di Banjarmasin muncul Pewarta Borneo dengan seorang Indo-Belanda M. Neys sebagai redaktur.
pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat Gambar 4.16 R.M. Tirto Adhi Soerjo (1875-1918), perintis pers nasional tentang diri Tirtohadisoeryo sebagai berikut: di Jawa (Foto: Perpustakaan Nasi-"Kira-kira pada tahun berdirinya Budi Utomo onal Republik Indonesia)
ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang, yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisuryo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik".
Tokoh Tirtohadisoeryo ternyata mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes.
Ini disebabkan, kemudian Tirtohadisoerjo memegang peran pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang memancar di seluruh Indonesia. Anggaran Dasar SI yang pertama mendapat persetujuan Tirtohadisoerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur-redaktur surat kabar Medan Prijaji di Bandung.
Hanya lima tahun Medan Prijaji dapat terbit dan dalam masa jayanya antara tahun 1910-1912 dapat mencapai oplah hingga 2.000, suatu jumlah yang untuk surat kabar Belanda sendiri tatkala itu sudah termasuk besar. Karena karangan-karangannya yang tajam terhadap penguasa, Tirtohadi-soerjo pernah dibuang ke Lampung. Akan tetapi, dari tempat pembuangan itu pun ia masih terus menulis karangan-karangan yang bercorak membela nasib rakyat kecil serta melawan praktik yang buruk dari pemerintah setempat.
2. Pers Pembawa Suara Organisasi PolitikPerkembangan pers berbahasa daerah atau Melayu, yang dinilai oleh Douwes Dekker dalam awal karangan ini menduduki tempat yang lebih penting daripada pers Eropa, dan terutama setelah berdirinya organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij menimbulkan pemikiran di kalangan pemerintah Hindia Belanda untuk menetralisasi pengaruh pers bumiputra itu. Jalan yang ditunjukkan Dr. Rinkes ialah dengan mendirikan surat kabar berbahasa Melayu oleh pemerintah sendiri serta memberikan bantuan kepada surat kabar yang dinilai lunak dalam pemberitaannya.
Berdirinya Budi Utomo di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908 dan persiapan-persiapan kongresnya yang pertama, yang akan diadakan pada awal Oktober tahun itu juga mendapat tempat dalam pers Belanda dan Melayu. Surat edarannya pun dimuat dalam surat kabar De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad, demikian juga dalam majalah Jong Indie.
Berdirinya Budi Utomo di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908 dan persiapan-persiapan kongresnya yang pertama, yang akan diadakan pada awal Oktober tahun itu juga mendapat tempat dalam pers Belanda dan Melayu. Surat edarannya pun dimuat dalam surat kabar De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad, demikian juga dalam majalah Jong Indie. Memang sejak kelahirannya, organisasi pertama ini memerhatikan pentingnya penerbitan dan surat kabar sebagai penyambung suara organisasi. Sesuai dengan sikap Budi Utomo pada awal pertumbuhannya sejak golongan tua menjadi pemimpin-pemimpinnya, surat kabarnya pun bercorak lunak, tetapi satu segi yang menarik ialah kesadaran redakturnya menulis dan memberitakan yang penting bagi kemajuan dan kesejahteraan. Pentingnya surat kabar berbahasa Melayu terbukti juga dari ikhtisar-ikhtisar yang muncul dalam majalah dan surat kabar Belanda, seperti Tropisch Nederland, Koloniaal Tijdschrift, dan Java Bode.
Semenjak berdirinya Sarekat Islam, tampak adanya penerbitan baru surat kabar, di antaranya ada yang menonjol dan ada pula yang kurang berarti. Juga beberapa terbit di luar Pulau Jawa. Mula-mula Darmo Kondo merupakan surat kabar yang utama di Jawa, tetapi setelah berdirinya SI, di Surabaya terbit Oetoesan Hindia yang isinya lebih hidup dan kuat condong "ke kiri". Darmo Kondo sendiri tetap tenang dan kurang menunjukkan kepekaannya mengenai tanda-tanda zaman, meskipun lingkungan pembacanya cukup besar. Darmo Kondo sebelum tahun 1910 dimiliki dan dicetak oleh seorang keturunan Cina, Tan Tjoe Kwan dan redaksi ada di tangan Tjhie Siang Ling, yang diketahui mahir di dalam soal sastra Jawa. Sejak itu dibeli oleh Budi utomo cabang Surakarta dengan modal fl50.000,00
Kelemahan surat kabar bumiputra ialah kurangnya pemasang iklan sehingga dengan uang langganan saja tidak cukup untuk dapat bertahan. Ditambah lagi banyak perkara SI mengurangi ketekunan pengurusnya untuk tetap memikirkan kelangsungan surat kabarnya, dan setelah Tjokroaminoto terkena perkara politik sehingga ia dijatuhi hukuman dan perpecahan di dalam tubuh SI sendiri tidak terhindarkan lagi, maka Oetoesan Hindia tutup usia pada triwulan pertama tahun 1923.
Surat kabar SI lainnya ialah Sinar Djawa di Semarang, Pantjaran Warta di Betawi, dan Saroetomo di Surakarta. Yang terakhir itu adalah surat kabar "asli" Sarekat Islam sejak kelahiran organisasi itu pada bulan Agustus 1912. Mula-mula Saroetomo merupakan surat kabar yang kurang berarti, tetapi berangsur-angsur tampak pengaruh Oetoesan Hindia, sehingga makin bermutu.
Suatu usaha untuk mengimbangi keadaan itu ialah usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mengedarkan buku-buku netral (Golsdienstloos) sebanyak satu juta buku setahunnya, yang disebar di 1.700 perpustakaan cuma-cuma di seluruh Hindia Belanda, dan 608 judul tertera dalam katalogus di Balai Pustaka, yang dengan secara cermat menghindari kepustakaan Kristen.
Bulanan Sri Poestaka yang diterbitkan Balai Pustaka berisi karangan-karangan tentang pendidikan, kesehatan, dan pengetahuan populer. Bulanan itu mempunyai 3.500 langganan. Bulanan golongan Kristen Mardi mengedar-kan 45.000 buah.
Adanya penerbitan itu menunjukkan bahwa di Indonesia sedang terjadi suatu evolusi yang bergerak cepat. Surat kabar itu telah menyatakan dengan nada yang cukup jelas. Proses-proses yang di Eropa terjadi berabad-abad, terjadi di situ dalam beberapa puluh tahun. Generasi yang satu dipisahkan dengan generasi lain oleh gelombang mental dan spiritual.
Dalam perjuangan mendatang untuk lebih banyak "cahaya" lebih banyak kebebasan, untuk hidup lebih makmur, pers berada di muka sebagai pusat perhatian dan sebagai pelopor. Media pers yang membawakan suara nasionalisme Indonesia ialah majalahnya para mahasiswa di Nederland, yang melantingkan kata Indonesia dalam kata pengantar nomor pertama Indonesia Merdeka (IM) pada tahun 1924.
Corak IM dengan karangan-karangannya merupakan aksi untuk men-capai tujuan PI, terutama untuk memperkuat cita-cita kesatuan bangsa Indonesia. Majalah itu terbit dalam dua bahasa, bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Terbitan bahasa Indonesia hanya lima nomor, kemudian terhenti. Redaksi dipegang oleh pimpinan PI dan nama para pengarangnya tidak dicantumkan karena setelah dirundingkan dengan anggota pimpinan, maka karangan yang dimuat itu merupakan pendapat PI.
3. Sebuah Pandangan Profesional
Dari sudut profesional, M. Tabrani yang menulis dalam tahun 1929, telah memberikan gambaran tentang keadaan pers Indonesia. Dilihat dari penilaian mengenai mutu, tingkat pers Indonesia masih dianggap rendah. Tidak saja dilihat dari sudut redaksi, tetapi juga dari sudut teknis perdagangan. Tidak satu pun surat kabar yang terbit ditunjang dengan kelengkapan tiga unsur penting, yaitu redaksi yang berwenang, administrasi yang baik, dan tenaga-tenaga percetakan yang terdidik. Kekurangan itu tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat di luarnya, sehingga banyak langganan lari ke pers Belanda karena beranggapan dapat memenuhi kebutuhan membaca berita-berita bermutu. Rubrik-rubrik dalam surat kabar mengenai seni dan sastra, perdagangan dan pertanian, untuk perempuan, ilmu dan teknik tidak dijumpai di situ.
Untuk mengatasi kekurangan itu, Tabrani mengajukan seruan kepada kaum intelektual Indonesia untuk mengisi surat kabar Indonesia karena hanya dunia intelektual Indonesia yang bertanggung jawab atas tinggi rendah-nya mutu surat kabar Indonesia. Masalah pers harus mendapat perhatian khusus, tanpa ada perbedaan aliran politik, keyakinan, maupun agama.
Kaum dokter, ahli hukum, insinyur, seniman, ahli pertanian dan kehewanan, dan para pendidik diharapkan kesadarannya, bahwa dengan menulis di dalam pers Indonesia berarti ikut serta dalam pendidikan nasional bagi penduduk. Baru sedikit di antara mereka yang berhubungan dengan dunia pers, masih terbatas pada tokoh pemimpin Pergerakan Nasional.
Selain itu, belum adanya golongan menengah yang sadar, tidak sedikit pula menghambat perkembangan pers. Advertensi dan reklame, yang dapat merupakan tulang punggung sebuah surat kabar, kurang sekali terdapat. Para pelanggan banyak pula yang tidak setia membayar uang langganan. Lingkungan pembacanya pun terbatas karena banyak yang telah bersekolah Belanda lebih suka membaca dalam bahasa itu.
Dilihat dari penilaian kuantitatif, jumlah surat kabar Indonesia sesungguhnya sedikit sekali bila dibandingkan dengan surat kabar Cina dan Belanda. Tampak sekali perbedaan itu di Surabaya dan Bandung, dua kota yang merupakan pusat Pergerakan Nasional waktu itu.
4. Masa Akhir Hindia Belanda
Hubungan pers dan Pergerakan Nasional pada akhir pemerintahan Hindia Belanda dapat lebih jelas kita pahami dengan pengungkapan keadaan kehidupan pemikiran dan perasaan masyarakat itu.
Seorang ahli hukum Indonesia dalam analisis tentang aliran-aliran dan gagasan di kalangan politik Indonesia, yang dibuatnya pada tahun 1940, menyatakan bahwa memang benar kehidupan politik pemikiran dan perasaan orang Indonesia tatkala itu dapat dikatakan telah "penuh". Apa yang terjadi di sekitarnya, baik masalah kecil maupun besar, diamati secara cermat. Kemudian dibicarakan bersama dengan penuh kerahasiaan dan kesan-kesan yang diperolehnya disimpan sebagai kekayaan pengetahuan yang berharga.
Keadaan perang disambut oleh pergerakan dengan aksi-aksi kesetiaan. maupun ketidaksetiaan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Waktu itu pada golongan yang selama zaman penjajahan mendapat perlakuan istimewa sedikit sekali memiliki cendekiawan. Sebaliknya, pada golongan yang tidak mendapat perlakuan istimewa terdapat banyak cendekiawan Indonesia.
Golongan terakhir ini dapat dibedakan dalam golongan yang ber-orientasi politik dan mereka yang tidak berorientasi politik. Mereka yang berorientasi politik terutama terdapat dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). Dengan semboyan-semboyan. politik dan sosial, mereka mengutarakan tujuannya agar dapat pengikut lebih banyak di antara rakyat. Sungguhpun cara dan gayanya berbeda-beda, tujuan akhir semboyan golongan itu ialah Indonesia Merdeka. Di dalam GAPI yang berpengaruh ialah Parindra dan Gerindo, sedangkan di dalam MIAI ialah Muhammadiyah dan PSII. Pemimpin-pemimpin Parindra menunjukkan minatnya yang luar biasa kepada apa yang sedang terjadi di India dan Asia Tenggara.
Kedatangan delegasi Jepang pada tanggal 12 September 1940 di bawah pimpinan I. Kobayasyi di Jakarta memberikan kesempatan kepada beberapa pimpinan nasionalis Indonesia untuk membicarakan berbagai soal politik dan ekonomi. Tersiar desas-desus bahwa telah terjadi pertukaran rencana antara delegasi itu dengan para pemimpin nasionalis mengenai bentuk pemerintahan Hindia Belanda di dalam kerangka "susunan baru" Jepang. Kedatangan mereka juga disertai tindakan bantuan konkret berupa keuangan kepada pers Indonesia dalam bentuk pemasangan iklan di surat kabar Indonesia.
Anggota Indonesia di dalam Volksraad menunjukkan sikapnya yang "keras" di dalam pidato mereka. Ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai situasi politik dan kesejajaran pikiran mereka dengan kaum nasionalis di luar Volksraad melatari sikap para anggota itu. Suatu spekulasi bahkan disebut-sebut, bahwa dapat terjadi pengumuman berdirinya suatu pemerintahan Indonesia di luar negeri sebagai akibat perang Jepang -Amerika.
Organisasi Indonesia sendiri menunjukkan aktivitasnya. Mereka juga masih melihat adanya perbedaan perlakuan pemerintah Hindia Belanda terhadap umat Kristen dan Islam. Mereka mengetahui juga bantuan pemerintah British India yang lebih baik kepada umat Islam India, dibandingkan dengan perlakuan pemerintah Hindia Belanda kepada kaum muslim di Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
