Perkembangan Ekonomi
Sejarah | 2025-11-07 17:30:00A. Sistem Sewa Tanah
1. Pendahuluan
Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia, Jawa diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Zaman pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara tahun 1811 dan 1816. Akan tetapi, selama waktu itu telah diletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi yang sangat memengaruhi sifat dan arah kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris.
Asas-asas pemerintah sementara Inggris itu ditentukan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakikatnya, Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh Kompeni Belanda (VOC) dalam rangka kerja sama dengan raja-raja dan para bupati. Secara konkret Raffles ingin menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu dibebankan kepada rakyat, khususnya para petani. Kepada para petani ini Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha.
Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung konsekuensi-konsekuensi yang jauh sekali atas hubungan antara pemerintah kolonial di satu pihak dan rakyat Indonesia dengan penguasa-penguasanya di lain pihak. Perubahan yang dipertimbangkan itu malahan dapat dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan asasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan digantikan dengan suatu sistem di mana hubungan ekonomi antara pemerintah di satu pihak dan rakyat di lain pihak didasarkan atas kontrak yang diadakan secara sukarela oleh kedua belah pihak. Jadi, perubahan ini pada dasarnya bukan merupakan perubahan ekonomi semata-mata, melainkan lebih penting lagi, yaitu merupakan suatu perubahan sosial-budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal sebelumnya. Dengan demikian, dasar kehidupan masyarakat Jawa yang tradisional hendak digantikan dengan dasar kehidupan masyarakat seperti yang dikenal di negara-negara Barat. Demikian pula ekonomi masyarakat Jawa yang tradisional dan feodal itu hendak digantikan dengan sistem ekonomi yang didasarkan atas lalu lintas pertukaran yang bebas.
2. Pelaksanaan
Sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh Pulau Jawa. Di daerah sekitar Jakarta, yang pada waktu itu disebut Batavia, maupun di daerah Priangan, sistem sewa tanah tidak diadakan karena di wilayah sekitar Jakarta, umumnya tanah-tanah dimiliki oleh swasta dengan status tanah partikelir, sedangkan di wilayah Priangan, pemerintah kolonial berkeberatan menghapus sistem tanah paksa kopi (preanger stelsel) yang memberikan keuntungan besar. Jelas kiranya bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia menerapkan asas-asas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian material yang besar. Oleh karena itu, daerah Priangan tidak pernah mengenal suatu fase menengah yang agak bebas di antara dua masa yang dicirikan oleh unsur paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti telah dikenal oleh daerah-daerah lain di Jawa, melainkan terus-menerus hanya mengenal sistem tradisional dan feodal sampai pada tahun 1870.
Mengingat Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun, dan mengingat terbatasnya pegawai-pegawai yang cakap serta dana yang terbatas pula, tidak mengherankan Raffles pada akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian dengan sistem sewa tanah itu. Meskipun demikian, gagasan-gagasannya mengenai kebijakan ekonomi kolonial yang baru, terutama yang bertalian dengan sewa tanah, sangat memengaruhi pandangan pejabat-pejabat pemerintah Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan politik atas Pulau Jawa dari pemerintah Inggris.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kebijakan Raffles pada umumnya diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama-tama di bawah Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan van der Capellen (1816-1819), kemudian di bawah Gubernur Jenderal van der Capellen (1819-1826), dan Komisaris Jenderal du Bus de Gisignies (1826-1830). Sistem sewa tanah dihapuskan dengan kedatangan seorang gubernur jenderal yang baru, van den Bosch, dalam tahun 1830, yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien daripada di bawah VOC. Masalah itu baru dibahas pada bagian berikutnya.
Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar modern (baca: Barat), pelaksaan pemungutan sistem sewa, dan penanaman tanaman dagangan untuk diekspor.
Dalam menilai keberhasilan perubahan yang dilakukan dalam kedudukan para bupati, dapat dikatakan bahwa secara marginal memang terjadi pembatasan dalam kekuasaan para bupati. Hal ini misalnya jelas dari beberapa pengaduan yang telah dilakukan oleh rakyat terhadap kepala-kepala mereka jika mereka mengalami apa yang mereka rasakan sebagai tindakan sewenang-wenang. Akan tetapi, pada umumnya kebiasaan-kebiasaan yang tradisional maupun penghormatan yang tradisional dari rakyat terhadap kepala-kepala mereka tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan keputusan-keputusan orang-orang asing, meskipun orang-orang yang terakhir ini mempunyai kekuasan politik yang efektif. Hal ini misalnya terlihat dalam kewajiban rakyat untuk melakukan pekerjaan paksa atau rodi untuk kepala-kepala mereka. Meskipun pemerintah kolonial secara resmi telah menghapus kebiasaan ini, kebiasaan ini tetap diteruskan.
Selanjutnya adalah mengenai aspek kedua, yaitu pelaksanaan pemungutan sewa tanah. Selama zaman VOC, "pajak" berupa beras yang harus dibayar oleh rakyat Jawa kepada VOC ditetapkan secara kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pungutan wajib ini para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh tiap-tiap petani. Sudah barang tentu kebiasaan ini mengakibatkan tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat. Sebagai seorang liberal, Raffles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinannya bahwa penduduk Jawa harus dapat menikmati kepastian hukum, ia mempertimbangkan penetapan pajak secara perseorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak tanah yang harus dibayaroleh perseorangan dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan dikeluarkan pada tahun 1814. Daerah pertama yang terkena peraturan ini adalah Banten.
Aspek ketiga sistem tanah adalah promosi penanaman tanaman-tanaman perdagangan untuk ekspor. Sampai seberapa jauh pelaksanaan sistem sewa tanah berhasil memajukan penanaman tanaman-tanaman dagangan untuk ekspor ke luar negeri? Pengalaman menunjukkan bahwa pada umumnya eksperimen ini telah mengalami kegagalan. Penanaman kopi misalnya, yang pada awal abad ke-19 merupakan tanaman perdagangan terpenting di Jawa, di bawah sistem sewa tanah mengalami kemunduran yang berarti. Perkembangan yang sama juga terlihat pada tanaman dagang lainnya, seperti gula dan lain-lain. Salah satu sebab kegagalan ini adalah kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas sehingga sering penjualan ini diserahkan kepada kepala-kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan kepala-kepala desa sering menipu petani itu sendiri atau si pembeli sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan lagi penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan.
3. Penilaian
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama masa sistem sewa tanah berlaku, baik selama pemerintah sementara Inggris di bawah Raffles maupun selama pemerintah Belanda di bawah para komisaris jenderal dan Gubernur Jenderal van der Capellen, menunjukkan bahwa usaha untuk mengesampingkan para bupati dan kepala-kepala desa tidak berhasil. Mau tidak mau struktur feodal yang berlaku di masyarakat tradisional Jawa, khususnya gengsi sosial yang dimiliki para bupati dan kepala-kepala desa, perlu dimobilisasi lagi oleh pemerintah kolonial jika mereka mau mencapai tujuan mereka untuk mendorong penduduk menanam tanaman perdagangan yang diinginkan. Oleh karena itu, gambaran yang diperoleh mengenai pelaksaan sistem tanah ini tidak merata (uneven). Kadang-kadang di beberapa tempat memang terdapat penanaman secara bebas, tetapi sering penanaman bebas ini formalitas belaka.
Ditinjau dari tujuan untuk meningkatkan kemakmuran penduduk di Jawa dan merangsang produksi tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah menemui kegagalan. Usaha-usaha untuk menghapus struktur masyarakat yang tradisional (feodal) dan memberikan kepastian hukum yang lebih besar kepada penduduk pun tidak berhasil.
Dalam menyelidiki sebab-sebab kegagalan ini, kita perlu mengamati lebih jauh pertimbangan-pertimbangan atau motif-motif Raffles dalam memperkenalkan sistem sewa tanah di Jawa. Dalam halaman sebelumnya sudah disinggung bahwa dalam menggariskan kebijakan, Raffles sangat dipengaruhi oleh asas-asas kolonial Inggris yang telah ditempuh di India. Kesalahan-kesalahan Raffles adalah bahwa ia mungkin telah melebih-lebihkan persamaan-persamaan yang menurutnya terdapat antara India dan Jawa, sedangkan sebenarnya terdapat perbedaan-perbedaan yang besar dalam susunan masyarakat maupun dalam tingkat perkembangan ekonomi. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tingkat perkembangan ekonomi India adalah lebih tinggi daripada di Jawa. India misalnya, sudah mengenal ekonomi uang (money economy) sejak abad ke-16. Demikian pula antara berbagai daerah di India terdapat lalu lintas perdagangan yang ramai, yang menunjukkan bahwa desa-desa di India bukan merupakan desa-desa yang hanya mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Bahkan India juga mengenal perdagangan ekspor yang cukup ramai.
Dibanding dengan India, gambaran ekonomi Jawa pada awal abad ke-19 masih menunjukkan gambaran ekonomi yang menyeluruh. Bahkan sebaliknya hanya berdasarkan yang terlihat, yaitu desa-desa yang pada umumnya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri tanpa banyak mengadakan perdagangan apalagi perdagangan ekspor.
Selain kopi, yang diperoleh dari penanaman paksa, Jawa pada awal abad ke-19 hanya mengekspor beras dalam jumlah yang terbatas dan beberapa barang lainnya yang tidak begitu berarti, yang pada umumnya diekspor ke kepulauan Maluku.
Uraian di atas telah memperlihatkan mengapa kebijakan Raffles, yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1830, mengalami kegagalan. Berlainan dengan rakyat India, penduduk di Jawa tidak dapat menghasilkan tanaman-tanaman untuk diekspor atas usaha dan praktik mereka sendiri. Jika mereka tidak mendapat perintah dari atasan mereka, mereka tidak akan menanam tanaman dagangan yang menguntung-kan sekalipun, tetapi hanya tanaman makanan. Hal ini sesuai dengan sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat memenuhi kebutuhan sendiri (self sufficient).
B. Sistem Tanam Paksa
1. Pendahuluan
Dalam bagian pertama kita telah melihat bahwa sistem pajak tanah, yang telah diintroduksi oleh Raffles dan kemudian diteruskan oleh para Komisaris Jenderal van der Capellen dan Du Bus de Gisignies, telah mengalami kegagalan, antara lain dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman-tanaman perdagangan untuk ekspor.
Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat gubernur jenderal yang baru untuk Indonesia, yaitu Johannes van den Bosch, yang diserahi tugas utama meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung. Dalam membebankan van den Bosch dengan tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan parah keuangan negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani utang-utang yang besar. Oleh karena masalah yang berat ini tidak dapat ditanggulangi oleh Belanda sendiri, pemikiran timbul untuk mencari pemecahan-pemecahannya di koloni-koloninya di Asia, yaitu di Indonesia. Hasil pertimbangan-pertimbangan ini menjadi gagasan Sistem Tanam Paksa yang diintroduksi oleh van den Bosch sendiri.
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman-tanaman dagangan untuk diekspor ke pasar dunia. Walaupun antara sistem eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih mengguncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih dua abad.
Ciri utama sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka. Van den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan-pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan dapat dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual di sana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda.
Selama sistem pajak tanah masih berlaku antara tahun 1810 dan 1830, penanaman dan penyerahan wajib telah dihapus kecuali untuk daerah Parahyangan dan Jawa Barat. Di daerah ini rakyat Parahyangan diwajibkan menanam kopi, khususnya di daerah-daerah pegunungan yang masih kosong. Pajak yang wajib mereka bayar kepada pemerintah kolonial adalah dalam bentuk kopi yang mereka hasilkan, sedangkan segala macam bentuk pajak lainnya dibebaskan, kecuali yang harus mereka bayarkan secara. tradisional kepada para bupati. Dalam Sistem Tanam Paksa, asas yang diterapkan di daerah Parahyangan ini direncanakan untuk diterapkan di seluruh Pulau Jawa. Sistem penanaman paksa ini diharapkan dapat meningkatkan produksi tanaman dagangan di seluruh Pulau Jawa sampai tingkat yang dicapai di daerah Parahyangan, yaitu yang rata-rata dapat menghasilkan f5 satu rumah tangga.
2. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa yang tertera dalam Stadsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22 beberapa tahun setelah tanam paksa mulai dijalankan di Pulau Jawa, berbunyi sebagai berikut.2
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa.
1. J.S.Furnivall, Netherlands India, Cambridge University Press, 1961, Bab 5, "The Culture System; 1830-1850", hlm. 115
2. Suatu pembahasan yang lengkap mengenai ketentuan-ketentuan pokok dari Sistem Tanam Paksa dan penerapannya dalam praktik dapat dibaca dalam buku: G. Gonggrijp, Schets ener economische geschiedenis van Naderlands Indie, cetakan ketiga, Haarlem, 1949, Bab 4, hlm. 107-125
2. Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Di atas kertas, ketentuan-ketentuan di atas memang kelihatan tidak terlampau menekan rakyat, walaupun orang pada prinsipnya dapat mengajukan keberatan-keberatan mengenai unsur paksaan yang terdapat dalam Sistem Tanam Paksa itu. Dalam praktik ternyata pelaksanaan Sistem Tanam Paksa sering kali menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok sehingga rakyat banyak dirugikan, kecuali mungkin ketentuan-ketentuan nomor 4 dan nomor 7 tersebut di atas.
Menurut ketentuan dalam Lembaran Negara tahun 1834 Nomor 22, setiap persetujuan yang diadakan pemerintah Hindia Belanda dengan rakyat mengenai pemakaian sebagian tanah pertanian mereka untuk penanaman tanaman dagangan harus didasarkan atas kerelaan dari pihak rakyat tanpa didorong oleh unsur paksaan atau unsur ketakutan. Akan tetapi, dalam kenyataan ternyata seluruh pelaksanaan Sistem Tanam Paksa didasarkan atas unsur paksaan. Jelaslah kiranya bahwa dalam hal ini pemerintah kolonial menggunakan, atau lebih tepat menyalahgunakan kekuasaan tradisional dari para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar mereka menyerahkan sebagian tanah mereka untuk tujuan Sistem Tanam Paksa.
Dibanding dengan penyerahan wajib (contingengenteringen) yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka Sistem Tanam Paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika selama zaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada para kepala rakyat sendiri, selama Sistem Tanam Paksa para pegawai Eropa dari pemerintahan kolonial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut. Hal ini sering berarti peningkatan "efisiensi" dari Sistem Tanam Paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak, peningkatan "efisiensi" ini tentu berarti penambahan bahan yang harus dipikul rakyat.
Untuk menjamin bahwa para pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa menunaikan "tugas" dengan baik, pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada mereka dengan nama cultuurprocenten, selain pendapatan biasa mereka. Cultuurprocenten ini merupakan persentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada pegawai Belanda dan para bupati dan kepala-kepala desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada tiap-tiap desa. Cara-cara ini tentu saja banyak menimbulkan penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa mempunyai vested interest dalam usaha meningkatkan produksi tanaman-tanaman perdagangan untuk ekspor.
Angka-angka di atas kelihatan tinggi. Namun, untuk memperoleh pengertian yang lebih dalam mengenai Sistem Tanam Paksa, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya Sistem Tanam Paksa bukan merupakan sistem dalam arti yang lazim, melainkan terdiri atas berbagai peraturan lokal (lokal arrangements) yang diadakan oleh pegawai-pegawai pemerintah kolonial untuk mengusahakan produksi tanaman dagangan. Peraturan-peraturan ini berbeda dari tempat ke tempat, atau dari desa ke desa.
Waktu van den Bosch kembali ke negeri Belanda untuk menerima jabatan Menteri Kolonial, ia memang berusaha untuk tetap memusatkan kekuasaan eksekutif mengenai penanaman paksa dalam tangannya sendiri, akan tetapi usahanya ini tidak berhasil. Apa yang kemudian terjadi adalah suatu perkembangan di mana para pegawai setempat dari pemerintah kolonial memperoleh makin banyak kekuasaan untuk mengatur sebangsa Sistem Tanam Paksa di desa-desa di bawah wewenang mereka. Keadaan ini mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dari pegawai-pegawai setempat, yang dengan bantuan kepala-kepala rakyat berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan hasil produksi tanaman dagangan untuk kepentingan mereka sendiri.
Penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh van Niel menunjukkan bahwa selama Sistem Tanam Paksa berlaku, tanah-tanah yang dikenakan Sistem Tanam Paksa rata-rata meliput hanya 5 persen dari seluruh tanah pertanian di Jawa. Angka ini tidak jauh dari taksiran Gonggrijp. Malahan van Niel berpendapat bahwa 5% ini merupakan taksiran yang terlampau tinggi. Di lain pihak persentase keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam Sistem Tanam Paksa tinggi sekali. Selama Sistem Tanam Paksa berlaku, persentase keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam Sistem Tanam Paksa mencapai jumlah yang melebihi 70% dari seluruh jumlah keluarga-keluarga petani di Jawa. Angka-angka di atas ini memberi kesan bahwa banyak tenaga kerja dikerahkan untuk penanaman paksa di bidang-bidang tanah yang relatif terbatas.
Misalnya, ketentuan untuk melakukan pekerjaan tanam paksa yang seharusnya tidak boleh melebihi pekerjaan penanaman padi dalam banyak hal tidak ditaati. Para petani biasanya dipaksa untuk bekerja jauh lebih lama untuk penanaman paksa daripada untuk tanaman bahan makanan mereka sendiri. Tekanan atas rakyat memang berbeda dari tempat ke tempat dan dari tanaman ke tanaman lain. Namun, pada umumnya rakyat memang dipaksa untuk bekerja jauh lebih lama untuk penanaman paksa daripada.
Tekanan yang paling berat untuk rakyat terdapat di daerah-daerah tanaman indigo, terutama di daerah Parahyangan. Misalnya, setelah indigo diperkenalkan di sana, orang laki-laki dari beberapa desa di distrik Simpur dipaksakan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan indigo selama waktu 7 bulan terus-menerus, jauh dari tempat kediaman mereka. Jika akhirnya mereka kembali ke kampung halaman, mereka mendapati sawah-sawah mereka tidak terurus sama sekali. Hal ini tidak dapat dihindarkan karena tenaga-tenaga di perkebunan indigo dilarang keras untuk meninggalkan pekerjaan mereka.
Selanjutnya adalah mengenai pembebasan pajak tanah. Menurut ketentuan resmi, tanah yang disediakan untuk tanaman paksa dibebaskan dari pajak tanah. Dalam praktik ternyata bahwa pelaksanaan penanaman paksa tidak begitu banyak menyimpang dari ketentuan semula, berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang disebut lebih dahulu.
Meskipun demikian, petani-petani harus menanggung dua macam beban, yaitu pekerjaan paksa untuk menanam tanaman-tanaman ekspor dan pembayaran pajak tanah. Malahan, penerimaan pemerintah kolonial yang diperoleh dari pajak tanah terus meningkat, seperti dari angka-angka berikut.Ketentuan lain Sistem Tanam Paksa menentukan bahwa selisih positif antara nilai yang ditaksir dari tanaman dagangan yang dihasilkan dari penanaman paksa dan jumlah pajak tanah yang harus dibayar oleh rakyat. akan digunakan untuk kepentingan rakyat. Ketentuan ini kedengarannya bagus, tetapi dalam kenyataan rakyat sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari ketentuan ini. Kelemahan ketentuan ini terletak dalam perumusan kata-kata "nilai yang ditaksir" dari tanaman dagangan.
Dalam praktik, hal ini berarti bahwa taksiran mengenai nilai tanaman dagangan yang dihasilkan oleh rakyat di bawah paksaan dilakukan oleh pegawai-pegawai pemerintah kolonial sendiri. Sudah barang tentu taksiran ini tidak sesuai dengan nilai tukar yang dapat diperoleh di pasar bebas, malah jauh di bawah nilai tukar ini. Dengan demikian, rakyat tidak memperoleh keuntungan apa pun dari ketentuan yang kelihatan bagus di atas kertas. Seperti juga halnya dengan ketentuan-ketentuan lain, peraturan yang mengatakan bahwa kerugian-kerugian yang diderita akibat kegagalan panen akan ditanggung pemerintah ternyata tidak pernah ditepati, artinya segala kerugian yang diderita akibat kegagalan panen dibebankan kepada rakyat.
Di samping segala pekerjaan yang harus dilakukan rakyat untuk penanaman paksa, mereka juga masih harus melakukan segala macam pekerjaan rodi baik untuk pemerintah kolonial maupun untuk kepala-kepala mereka sendiri. Kebiasaan pekerjaaan rodi ini memang sudah berasal dari zaman sebelum Sistem Tanam Paksa, tetapi ditambah dengan pekerjaan yang wajib dilakukan untuk penanaman paksa sehingga beban yang diletakkan di atas pundak rakyat menjadi makin berat.
Sementara itu, apabila ditinjau dari segi luas tanah, tanah yang disediakan untuk penanaman paksa diambil sebagai persentase dari seluruh luas tanah pertanian di Jawa tidak begitu besar.
Dalam tahun 1833, luas seluruh tanah pertanian rakyat berjumlah lebih kurang 964.000 bahu. Dari 964.000 bahu ini kira-kira 56.000 bahu digunakan untuk penanaman wajib, sedangkan dalam tahun 1861. Jadi, sewaktu penanaman paksa sudah mulai ditinggalkan, angka ini berjumlah kira-kira 53.000 bahu. Dalam tahun 1833 hanya satu seperdelapan dari seluruh tanah pertanian di Jawa diperuntukkan penanaman wajib, sedangkan dalam tahun 1861 persentase ini lebih kecil lagi.
Di daerah-daerah penanaman gula di Jawa, luas tanah sawah seluruhnya berjumlah sekitar 483.000 bahu, di mana kurang lebih 40.500 bahu dipergunakan untuk penanaman gula. Jadi, tanah sawah yang disediakan untuk penanaman gula dalam tahun 1833 hanya merupakan 1/12 dari seluruh tanah rakyat di daerah-daerah gula di Jawa.
Tanaman dagangan terpenting yang ditanam selama Sistem Tanam Paksa berlaku adalah kopi, tebu (gula), dan nila (indigo). Pentingnya ketiga tanaman ini tidak hanya dari luas tanah yang disediakan untuk ketiga tanaman ini, tetapi juga dari jumlah orang yang terlibat dalam penanamannya. Misalnya, dalam tahun 1858 tidak kurang dari 450.000 orang terlibat dalam penanaman kopi, dan kurang lebih 300.000 orang dalam penanaman tebu, dan kira-kira 110.000 orang dalam penanaman nila.
3. Pengaruh Sistem Tanam Paksa
Dalam menganalisis dampak penanaman tanaman dagangan secara paksa, Geertz mengadakan perbedaan antara tanaman musiman dan tanaman tahunan. 10 Tanaman musiman, seperti gula, nila, dan tembakau, dapat ditanam di tanah-tanah sawah berseling (rotasi) dengan padi dalam jangka waktu satu tahun. Tanaman musiman yang memerlukan waktu bertumbuh kurang dari satu tahun. Tanaman tahunan meliputi tanam-tanaman seperti lada, kopi, teh, dan karet. Berbeda dengan tanaman musiman, tanaman tahunan tidak dapat bertumbuh berseling waktu padi.
Karena ciri-ciri pertumbuhan yang berbeda, dampak tanaman musiman atas masyarakat sekelilingnya berbeda dengan dampak tanaman tahunan. Dalam hal tanaman musiman, sistem yang mengusahakan tanaman-tanaman ini mengembangkan suatu hubungan dengan masyarakat petani sekelilingnya yang oleh Greertz disebut hubungan timbal balik (mutualistic relationship). Di lain pihak, ciri-ciri pertumbuhan tanaman tahunan yang khas tidak mengizinkan perkembangan ke arah hubungan timbal balik, tetapi justru menghendaki suatu hubungan terpisah atau terlepas (insular relationship) dari sistem penanaman padi di sawah-sawah. Tanaman-tanaman tahunan di daerah-daerah yang masih kosong dan yang tidak ditanam di daerah-daerah yang merupakan pertanian rakyat, seperti kopi, teh, dan lainnya di daerah-daerah pegunungan atau daerah kehutanan yang belum digarap sering menjadi semacam enclave dalam sistem pertanian Indonesia pada umumnya.
Di atas telah kita lihat bahwa kedua tanaman dagangan utama selama Sistem Tanaman Paksa adalah kopi dan gula; yaitu, jika dilihat dari luas tanah yang diperlukan untuk penanaman kedua tanaman ini, jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, laba yang diperoleh dari penjualan kedua tanaman ini di pasaran ekspor, dan dampak atas masyarakat petani di Pulau Jawa. Karena gula merupakan tanaman musiman dan kopi merupakan tanaman tahunan, kedua tanaman ini merupakan contoh yang baik untuk meneliti seberapa jauh terdapat perbedaan antara dampak tanaman musiman dan sistem tanaman tahunan atas masyarakat petani.
Seperti juga halnya dengan padi, gula memerlukan tanah yang diirigasi. Dengan demikian, dapat dimengerti jika kemudian tanah sawah diharuskan dipergunakan untuk penanaman tebu. Para pemilik sawah diharuskan menyerahkan sebagian dari sawah-sawahnya untuk penanaman tebu menurut suatu skema rotasi tertentu dengan penanaman padi. Untuk tiap desa ditentukan bagian dari luas tanah yang harus diserahkan untuk penanaman tebu. Selain itu, penduduk desa juga diharuskan melakukan pekerjaan wajib, seperti menanam, memotong, mengangkut tebu ke pabrik-pabrik gula, dan bekerja di pabrik-pabrik gula itu sendiri.
Pekerjaan-pekerjaan wajib ini merupakan beban berat bagi penduduk desa. Kadang-kadang seluruh penduduk desa dikerahkan bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial maupun untuk kepentingan pejabat-pejabat dan kepala-kepala sendiri. Hal yang terakhir ini terutama dilakukan dalam bentuk pekerjaan rodi, baik untuk pemerintah kolonial maupun untuk kepala-kepala melakukan pekerjaan wajib, seperti menanam, memotong, mengangkut tebu ke pabrik-pabrik gula, dan bekerja di pabrik-pabrik itu sendiri.
Perkembangan yang tampak dalam masa ini adalah kenaikan produksi hasil-hasil tanaman perdagangan yang pesat yang diakibatkan oleh penanaman paksa sejak tahun 1830, antara lain nyata dari angka-angka ekspor hasil-hasil pertanian. Misalnya, selama tahun 1830 sewaktu penanaman paksa baru dimulai ekspor kopi berjumlah 288 ribu pikul, ekspor gula berjumlah 108 ribu pikul, dan ekspor nila berjumlah 42 ribu pound dalam tahun 1831.12
Sepuluh tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1840, ekspor kopi dari Jawa sudah meningkat sampai 132 ribu pikul dan ekspor gula telah meningkat sampai 1.032 ribu pikul, sedang ekspor nila telah meningkat dengan lebih pesat lagi, yaitu 2.123 ribu pon.
Kenaikan dalam volume ekspor ketiga tanaman perdagangan yang terpenting selama Sistem Tanam Paksa berlangsung dibarengi dengan kenaikan nilai ekspor ketiga barang dagangan ini. Jika dalam tahun 1830 ekspor kopi dari Jawa berjumlah f4.577.000, dalam tahun 1840 nilai ini sudah mencapai jumlah f37.368.000, ekspor gula dalam tahun 1830 berjumlah 1.558.000, dalam tahun 1840 berjumlah f13.782.000, dan dalam tahun 1830 telah meningkat sampai f6.371.000.13
Selain ketiga tanaman utama ini, pemerintah kolonial mengadakan pula penanaman paksa tembakau dan teh, tetapi tidak begitu berhasil dibanding dengan keberhasilan yang dicapai penanaman kopi, gula, dan nila. Meskipun demikian, kenaikan ekspor teh dan tembakau dari Jawa cukup mengesankan jika kita perhitungkan pula ekspor teh dan tembakau hasil pertanian rakyat, artinya yang tidak diusahakan dalam rangka Sistem Tanam Paksa. Misalnya, ekspor tembakau dalam tahun 1830 berjumlah f180.000, tetapi dalam tahun 1840 telah meningkat menjadi f1,2 juta dan dalam tahun 1845 mencapai jumlah f2,3 juta. Demikian pula produksi teh meningkat secara mantap sehingga mencapai volume 1,95 juta pon dalam tahun 1861.
Bahkan, keadaan ekonomi tidak begitu baik seperti disangka orang, mula-mula terlihat di daerah Cirebon dalam tahun 1843 sewaktu pemerintah kolonial berusaha pula untuk mengekspor beras yang dihasilkan para petani. Suatu perusahaan yang ditunjuk pemerintah kolonial ditugaskan untuk memungut pajak dari para petani yang harus dibayar dalam bentuk beras. Karena penanaman padi di daerah Cirebon memang relatif sedikit dibanding dengan penanaman tanaman dagangan, seperti kopi, nila, dan teh, pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras merupakan beban yang sangat memberatkan penduduk daerah Cirebon. Keadaan menjadi parah sekali sewaktu dalam tahun 1843 panen padi di beberapa daerah pantai utara Jawa gagal. Kegagalan panen ini dan beban pajak beras yang sangat berat mengakibatkan bahaya kelaparan di daerah Cirebon sehingga ribuan keluarga terpaksa mengungsi dari daerah tersebut. Banyak orang yang fisiknya terlalu lemah untuk mengungsi, mati di pinggir jalan.
Kejadian-kejadian di atas merupakan titik balik dalam sejarah Sistem Tanam Paksa. Jelaslah kiranya bahwa batas-batas kemampuan Sistem Tanam Paksa untuk mengeksploitasi para petani Jawa telah tercapai sekitartahun 1840. Antara tahun 1845 dan tahun 1851 di bawah Gubernur Jenderal Rochussen, penanaman nila maupun penanaman-penanaman paksa lainnya mulai dikurangi sehingga beban-beban berat yang diletakkan di atas pundak rakyat agak diringankan.
Sebagai suatu mekanisme untuk mengeksploitasi penduduk di Jawa demi kemakmuran negeri Belanda, Sistem Tanam Paksa memperlihatkan keunggulannya selama jangka waktu 1830 dan 1840. Namun, kejadian-kejadian setelah tahun 1840 jelas memperlihatkan bahwa rakyat di Jawa tidak dapat diperas terus-menerus tanpa akibat-akibat fatal bagi kesejahteraan rakyat. Menurut penilaian Furnivall, Sistem Tanam Paksa setelah tahun 1840 sebenarnya sudah menjadi usang karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan-perkembangan politik dan ekonomi yang terjadi tahun 1840.15
Sementara itu, umumnya rakyat Belanda tidak tahu-menahu mengenai kemelaratan dan penderitaan yang dipikul rakyat Jawa yang diakibatkan oleh Sistem Tanam Paksa, yang justru telah berhasil menaikkan kemakmuran rakyat Belanda. Mengingat bahwa jaringan pengangkutan dan komunikasi di Jawa pada waktu itu jauh dari memadai dibandingkan dengan waktu sekarang, kekurangan pengetahuan pada pihak rakyat Belanda mengenai sosial-ekonomi penduduk di kolonial-kolonial mereka yang lain, tidaklah begitu mengherankan. Lagi pula pada waktu itu media massa seperti surat kabar juga belum begitu berkembang.
Keadaan ini mulai berubah setelah tahun 1850, sewaktu rakyat Belanda lambat laun memperoleh berita-berita mengenai keadaan sebenarnya yang terdapat di Pulau Jawa di bawah Sistem Tanam Paksa, khususnya berita-berita tentang tindakan-tindakan sewenang-wenang dari pegawai-pegawai pemerintah kolonial dan beban-beban berat yang harus dipikul oleh penduduk. Berita-berita mengenai malapetaka seperti yang terjadi di Cirebon, Demak, dan Grobogan juga lambat laun mengalir ke negeri Belanda dan mulai mengguncangkan hati nurani rakyat Belanda.
Sudah barang tentu para penganut paham liberal tidak dapat menyetujui Sistem Tanam Paksa sebagai suatu sistem ekonomi yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Usaha swasta di negeri Belanda, yang merupakan pendukung utama dari paham liberalisme, setelah tahun 1850 makin berkembang di negeri Belanda sendiri dan siap sedia untuk mengembangkan sayapnya ke koloni-koloni Belanda, khususnya Indonesia. Sambil menunjuk kepada keuntungan-keuntungan yang makin merosot dari Sistem Tanam Paksa, usaha swasta Belanda dan pendukung-pendukung politiknya mengemukakan bahwa sebaiknya Indonesia dibuka saja untuk swasta yang pasti lebih mampu untuk mengembangkan ekonomi Indonesia.
Pada hakikatnya, apa yang dikehendaki golongan yang menjadi semakin kuat ini adalah untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari eksploitasi sumber-sumber kekayaan Indonesia yang sebegitu jauh hanya jatuh ke tangan pemerintah Belanda. Sementara itu, usaha swasta Belanda tidak saja menginginkan laba yang hingga kini diperoleh pemerintah Belanda, tetapi mereka yakin pula bahwa berkat keunggulan efisiensi, mereka dapat memperbesar laba yang bakal diperoleh dari eksploitasi sumber-sumber kekayaan Indonesia.
Kedua tulisan di atas merupakan senjata ampuh yang digunakan secara efektif oleh pengikut aliran liberal yang semakin kuat di negeri Belanda di bawah topeng rasa humanisme dan perhatian yang mendalam terhadap nasib bangsa Indonesia, aliran liberal semakin mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk membuka Indonesia bagi modal swasta Belanda. Setelah perjuangan yang cukup lama, akhirnya dalam tahun 1872 aliran liberal telah mencapai kemenangan politik yang menentukan di negeri Belanda.
Dalam pada itu, di Jawa, penanaman paksa untuk berbagai tanaman
dagangan setelah tahun 1860 lambat laun mulai dihapuskan. Penanaman
paksa untuk lada dihapuskan tahun 1860 dan penanaman paksa untuk teh
dan nila dihapuskan dalam tahun 1865. Seperti telah dikemukakan di atas,
penghapusan penanaman-penanaman paksa ini akhirnya memang tidak terelakkan karena setelah tahun 1840 terbukti tidak begitu menguntungkan. Selain itu, gerakan liberalisme di negeri Belanda yang makin kuat juga memegang peran pokok dalam usaha penghapusan Sistem Tanam Paksa sekitar tahun 1870. Namun, untuk beberapa tanaman dagangan khususnya kopi, penanaman paksa masih tetap diperhatikan sampai akhir abad ke-19, bahkan di beberapa daerah sampai awal abad ke-20. Misalnya, penanaman kopi secara paksa di daerah Parahyangan yang sebenarnya telah berlangsung sejak zaman VOC baru dihapuskan secara resmi dalam tahun 1917. Menjelang tahun 1920, sisa-sisa penanaman paksa lainnya sama sekali terhapus dari bumi Indonesia.
4. Penilaian
Ciri pokok Sistem Tanam Paksa adalah pemungutan pajak dari rakyat Indonesia dalam bentuk hasil-hasil pertanian rakyat. Dalam pada itu, pos terpenting dalam anggaran belanja pemerintah kolonial Hindia Belanda adalah pos penutup, yaitu pos yang menutupi jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran pemerintah kolonial. Jika sebelum tahun 1830, yaitu tahun dimulainya Sistem Tanam Paksa, pemerintah kolonial terus-menerus mengalami defisit, terhitung mulai dari tahun 1831 defisit anggaran pemerintah mengalami surplus sebagai akibat berhasilnya Sistem Tanam Paksa untuk memperoleh penerimaan pemerintah yang melebihi pengeluaran pemerintah kolonial. Pos penutupan yang positif ini dijadikan patokan dan tujuan bagi keberhasilan Sistem Tanam Paksa sebagai suatu.
pengaturan kehidupan ekonomi di Hindia Belanda yang diselenggarakan untuk menunjang dan meningkatkan tingkat kemakmuran negeri Belanda. Pos atau saldo positif (batig slot) Belanda di Hindia Belanda ini, khususnya kebijakan pemerintah kolonial selama Sistem Tanam Paksa berlangsung antara tahun 1830 dan 1870.
Bahwa Sistem Tanam Paksa pada umumnya amat berhasil dalam memperoleh batig slot (saldo untung) yang besar terbukti dari angka-angka berikut. Misalnya, antara tahun-tahun 1832 dan 1867 saldo untung ini mencapai jumlah total f967 juta, dan untuk 10 tahun berikutnya, artinya antara tahun-tahun 1877, mencapai jumlah total f287 juta. Dengan demikian, jumlah total batig slot yang diperoleh negeri Belanda dari Sistem Tanam Paksa selama kurang lebih empat dasawarsa mencapai angka f784 juta, suatu angka yang tinggi sekali untuk masa itu. 17
Walaupun kebanyakan tanaman paksa sebenarnya sudah dihapuskan pada tahun 1867, sisa-sisa penanaman paksa yang masih berlaku untuk beberapa tanaman perdagangan seperti kopi di beberapa daerah, antara lain Parahyangan, menyebabkan selama masa 10 tahun setelah tahun 1867 pemerintah kolonial masih memperoleh saldo untung yang begitu tinggi.
Saldo untung yang begitu tinggi bukan saja disebabkan oleh jumlah penerimaan yang tinggi yang diperoleh pemerintah kolonial, melainkan juga oleh usaha pemerintah kolonial untuk berhemat dalam mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang memberatkan anggaran belanjanya. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengerahkan rakyat untuk membangun prasarana seperti pembangunan jalan-jalan raya dan jembatan-jembatan. Organisasi pekerjaan rodi ini merupakan sebab mengapa misalnya dalam anggaran belanja pemerintah kolonial untuk masa itu tidak terdapat pos pengeluaran untuk pembangunan prasarana.
Sistem Tanam Paksa pada dasarnya merupakan suatu sistem eksploitasi yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh VOC sebelumnya. Dalam sistem eksploitasi ini, baik VOC maupun pemerintah kolonial, memanfaatkan ikatan-ikatan feodal dan tradisional yang terdapat di Jawa antara rakyat dan penguasa-penguasanya untuk kepentingan sendiri. Seperti telah diterangkan dalam bab pertama, eksperimen dengan penanaman bebas oleh para petani yang dilakukan di bawah Sistem Pajak Tanah mengalami kegagalan sehingga dalam tahun 1830 pemerintah kolonial merasa terpaksa kembali lagi pada sistem eksploitasi yang pernah dipraktikkan oleh VOC.
Meskipun demikian, antara sistem-sistem eksploitasi dari Sistem Tanam Paksa dan VOC terdapat juga beberapa perbedaan. Misalnya, dalam melaksanakan sistem eksploitasinya VOC berhubungan dengan raja-raja dan bupati-bupati, sedangkan dalam Sistem Tanam Paksa pemerintah kolonial terutama berhubungan dengan kepala-kepala desa untuk melakukan penanaman paksa oleh penduduk. Dengan demikian, pengaruh pemerintah kolonial atas kehidupan sehari-hari dari penduduk Jawa jauh lebih mendalam daripada selama zaman VOC.18
Karena pengaruh yang mendalam ini, Sistem Tanam Paksa menimbul-kan berbagai perubahan dalam perikehidupan masyarakat Jawa dengan beberapa akibat yang tidak diinginkan, khususnya disintegrasi struktur sosial masyarakat Jawa. Disintegrasi ini terutama disebabkan oleh makin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang yang sebelumnya tidak dikenal dalam masyarakat Jawa. Perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang ini terutama disebabkan oleh meluasnya pekerjaan upah dan penyewaan tanah para petani kepada pengusaha-pengusaha Belanda yang dibayar dalam bentuk uang.
Selama tahun-tahun pertama, Sistem Tanam Paksa membuktikan diri sebagai suatu sistem eksploitasi yang efisien yang berhasil meningkatkan penerimaan pemerintah kolonial dan melalui batig slot dalam anggarannya berhasil menutupi defisit yang diderita pemerintah Belanda dan jugameningkatkan tingkat kemakmuran bangsa Belanda. Di lain pihak, Sistem Tanam Paksa pada umumnya tidak menguntungkan rakyat Indonesia, malah sebaliknya sering menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang besar.
Kemajuan-kemajuan tertentu yang terlibat selama Sistem Tanam Paksa berlangsung, misalnya perluasan jaringan jalan raya yang sebetulnya tidak disebabkan oleh keinginan pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, tetapi kepentingan pemerintah kolonial itu sendiri. Dalam tahun-tahun terakhir makin jelas bahwa Sistem Tanam Paksa sebagai suatu sistem eksploitasi kolonial tidak begitu efisien. Oleh sebab itu, dan juga oleh adanya keinginan pihak swasta Belanda untuk memegang peran utama dalam eksploitasi sumber-sumber alam Hindia Belanda, akhirnya sekitar tahun 1870 Sistem Tanam Paksa dihentikan. Dengan demikian, terbukalah peluang bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Hindia Belanda.
C. Sistem Liberal
1. Pendahuluan
Sistem ekonomi kolonial antara tahun-tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Maksudnya, bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun daerah-daerah di luar Jawa.
Selama masa ini pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Agraria (Agrarissche Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak undang-undang ini melindungi hak milik petani-petani Indonesia atas tanah mereka. Di lain pihak, UU Agraria membuka peluang bagi orang asing, orang-orang bukan pribumi Indonesia, untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Zaman liberal menyaksikan penetrasi ekonomi uang yang lebih mendalam lagi ke dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini terutama disebabkan oleh penyewaan tanah penduduk oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan-perkebunan besar tersebut. Tanah yang disewakan tidak saja terbatas pada tanah-tanah kosong, tetapi meliputi juga areal persawahan. Seperti telah diterangkan dalam bagian terdahulu, tebu gula ditanam silih musim.ini juga disebabkan oleh kesempatan yang diberikan kepada para petani di Jawa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan besar sebagai buruh harian atau buruh musiman.
Meluasnya pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal tidak saja terbatas pada penanaman tanaman-tanaman perdagangan di perkebunan-perkebunan besar, tetapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda. Impor barang-barang jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang konsumsi ringan, mempunyai akibat yang buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat Indonesia, karena pada umumnya hasil-hasil produksi mereka, baik dalam harga maupun mutu tidak dapat bersaing dengan barang jadi hasil industri-industri Barat itu. Misalnya, impor barang-barang tekstil dari Twente di negeri Belanda mengakibatkan matinya usaha-usaha penenunan dari penduduk di Pulau Jawa.19
Akibat perkembangan yang menyedihkan ini, penduduk Pulau Jawa makin didorong ke dalam ekonomi uang, karena hilangnya mata pencaharian yang tradisional memaksa mencari pekerjaan-pekerjaan di perkebunan-perkebunan besar yang dimiliki oleh Belanda dan lain-lain orang Eropa. Namun, pada umumnya respons penduduk di Jawa terhadap meluasnya ekonomi uang adalah pasif; artinya, sebagian besar mereka tetap bergantung dari mata pencaharian di bidang pertanian, dan menjadi buruh pertanian hanya untuk melengkapi pendapatan yang diperolehnya dari hasil-hasil pertanian jika pendapatan ini tidak mencukupi. Jika para petani ini terpaksa mencari pekerjaan di perkebunan besar untuk melengkapi pendapatan, mereka senantiasa berusaha untuk meninggalkan pekerjaan tambahan itu jika tidak dirasakan perlu lagi.
Kesempatan-kesempatan ekonomi yang baru terbuka itu pada umumnya tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang termasuk golongan Timur Asing, khususnya orang-orang Cina. Seperti telah dikatakan oleh Wertheim, sebagai orang-orang yang berasal dari negara lain atau keturunan orang pendatang, golongan ini tidak terlalu terikat pada tradisi-tradisi dan norma-norma agraris yang masih dianut oleh penduduk di Jawa sehingga mereka berada dalam kedudukan yang lebih baik untuk memenuhi fungsi perdagangan antara. Seperti telah dikemukakan di atas, para petani di Jawa juga mulai mencari pekerjaan di luar bidang pertanian, tetapi hal ini hanya mereka lakukan jika diperlukan, misalnya untuk membayar pajak tanah atau untuk membeli barang-barang konsumsi impor. Akan tetapi, pada umumnya sikap para petani tersebut terhadap meluasnya ekonomi uang adalah pasif; artinya, mereka tidak secara aktif memanfaatkan kesempatan-ekonomi yang baru untuk kepentingan material mereka sendiri dan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Akan tetapi, mereka hanya menyesuaikan diri secara pasif dengan keadaan yang baru dan berusaha untuk memperoleh sekadar tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang minimal.
Salah satu akibat lain yang penting dari penetrasi Barat yang makin mendalam di Jawa adalah pertumbuhan penduduk yang makin pesat. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini disebabkan menurunnya angka kematian, sedangkan angka kelahiran tetap tinggi. Faktor-faktor yang turut mengakibatkan menurunnya angka kematian adalah tindakan-tindakan dalam bidang kesehatan rakyat yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti vaksinasi terhadap penyakit menular, perbaikan dalam sistem distribusi makanan kepada rakyat, antara lain melalui perbaikan jaringan jalan raya. Pertumbuhan penduduk di Jawa jelas kelihatan dari angka-angka yang berikut:21
1781
2,029,915
(taksiran Radermacher)
1795
3,500,000
(taksiran Nederburg)
1815
4,499,250
(penghitungan pertama)
1846
9,542,045
(perkiraan Bleeker)
1880
19,794,505
(perhitungan administratif)
1905
30,360,667
(sensus penduduk)
2. Asas-Asas Liberalisme
Sama halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para pengikut aliran liberal berpendapat bahwa negara (baca: pemerintah) sepatutnya tidak ikut campur tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan-kekuatan pasar. Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran liberal berpendapat bahwa satu-satunya tugas negara adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum agar kehidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini dapat diwujudkan, para pengikut aliran liberal menghendaki agar segala rintangan yang sebelumnya telah dibuat oleh negara dihapuskan. Rintangan-rintangan ini menghambat kelancaran kehidupan ekonomi dan oleh karena itu perlu disingkirkan.
Ketika orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda (setelah tahun 1850), mereka mencoba menerapkan asas-asas liberalisme di koloni-koloni Belanda, khususnya di Indonesia, sedikitnya di wilayah-wilayah yang berada di wilayah kekuasaan mereka. Mereka berpendapat ekonomi Hindia Belanda akan berkembang dengan sendirinya jika diberi peluang sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar untuk bekerja sebagaimana mestinya. Dalam praktik hal ini berarti kebebasan berusaha, yang dalam konteks Hindia Belanda khususnya berarti kebebasan sepenuhnya bagi usaha dan modal swasta Belanda untuk mengembangkan sayapnya di Hindia Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi.
Usaha kegiatan ekonomi yang mengalami perkembangan yang paling pesat selama zaman liberalisme di Hindia Belanda adalah industri-industri ekspor, yang terdiri atas perkebunan-perkebunan besar dan tambang-tambang. Industri-industri ekspor merupakan motor penggerak utama bagi kehidupan ekonomi liberal di Hindia Belanda sangat memengaruhi pola perkembangan sektor-sektor lainnya. Perkembangan pesat industri-industri ekspor dicetuskan oleh permintaan yang meningkat di pasaran dunia akan hasil-hasil perkembangan dari Hindia Belanda, seperti gula, kopi, dan tembakau. Perkembangan makin pesat lagi dengan munculnya kapal-kapal uap yang sangat menurunkan biaya pengangkutan antara daerah-daerah produksi dan pasaran dunia. Selain itu, pembukaan Terusan Suez tahun 1869 amat mempersingkat jarak antara negara-negara penghasil bahan mentah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan negara-negara konsumen di Eropa, suatu hal yang menurunkan biaya pengangkutan.
Walaupun demikian, di antara orang-orang liberal sendiri ada perbedaan pendapat mengenai adanya saldo surplus yang besar itu. Misalnya, para pengusaha Belanda yang tinggal di Indonesia menghendaki agar pemerintah Hindia Belanda melaksanakan pelbagai pekerjaan umum yang dapat menunjang perkembangan industri ekspor mereka, seperti jalan-jalan raya, fasilitas-fasilitas irigasi, dan jembatan-jembatan. Selain itu, mereka juga menginginkan sekolah-sekolah bagi anak-anak mereka, seperti penyediaan fasilitas-fasilitas kesehatan bagi keluarga maupun buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan mereka. Sudah barang tentu pembangunan prasarana ini memerlukan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Dapat dimengerti bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang meningkat akan sangat mengurangi jumlah saldo surplus yang harus ditransfer ke negeri Belanda. Dapat dimengerti bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang meningkat akan sangat mengurangi jumlah saldo surplus yang harus ditransfer ke negeri Belanda. Perlu dikemukakan di sini bahwa pembangunan sarana oleh negara tidak berlawanan dengan asas-asas liberalisme yang memang membenarkan pembangunan prasarana yang dapat memperlancar kegiatan-kegiatan
ekonomi swasta.
Orang-orang liberal berkeyakinan bahwa ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh kegiatan usaha swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia tanpa tindakan khusus dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Dengan lain perkataan, mereka berkeyakinan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat terdapat hubungan yang langsung. Pihak kaum liberal memperingatkan bahwa campur tangan pihak pemerintah dalam kehidupan ekonomi dengan tujuan memajukan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang justru akan mempunyai efek yang buruk atas kesejahteraan rakyat.24 Satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah memberikan perlindungan dasar kepada orang-orang Indonesia agar kedudukan lemah mereka tidak disalahgunakan sehingga merugikan kepentingan-kepentingan mereka. Perlindungan dasar ini adalah UU Agraria dari tahun 1870 yang menegaskan hak milik dari penduduk pribumi atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik ini kepada orang-orang bukan Indonesia. Jika pengusaha-pengusaha Barat memerlukan tanah, misalnya untuk membuka perkebunan besar, mereka paling banyak hanya dapat menyewa tanah penduduk.
Walaupun zaman liberalisme di Hindia Belanda diawali dengan harapan-harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, pada akhir ke-19 sudah nyata bahwa rakyat Indonesia tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada di masa yang lampau. Meskipun produksi untuk ekspor meningkat dengan pesat antara tahun-tahun 1970 dan 1900, pada akhir abad ke-19 ada pertanda jelas bahwa orang-orang Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, telah mengalami kemerosotan di tingkat hidup mereka, sehingga menimbulkan kritik-kritik yang tajam di negeri Belanda sendiri yang agak mirip dengan kritik setengah abad sebelumnya yang dilontarkan terhadap Sistem Tanam Paksa. Di bawah ini akan dibentangkan sistem ini di Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Sumatra Timur.
3. Jawa Tengah dan Jawa Timur
Harapan kaum liberal adalah pembebasan kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintahan serta penghapusan segala unsur paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Harapan ini tercapai, khususnya dalam hal perkembangan industri-industri ekspor yang berjalan dengan pesat sekali. Di bawah UU Agraria tahun 1870, para pengusaha Belanda lainnya dapat menyewa tanah dari penduduk Jawa atau dari pemerintah Hindia Belanda untuk perkebunan-perkebunan besar. Yang mengalami perkembangan pesat adalah gula, yang termasuk barang dagangan ekspor yang penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah yang besar, perkebunan-perkebunan gula dan perkebunan-perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan perlengkapan lainnya, hal yang telah meningkatkan produktivitas perkebunan-perkebunan ini. Misalnya, dalam hal perkebunan-perkebunan gula perluasan dan kemajuan-
kemajuan teknis yang diintroduksi dalam industri ini mengakibatkan kenaikan produksi yang pesat, seperti ternyata dari angka-angka yang berikut. Dalam tahun 1870 luas tanah di Pulau Jawa yang ditanami gula berjumlah 54.176 bahu, sedangkan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat sampai 128.301 bahu. Di lain pihak, produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari 2.440.000 pikul dalam tahun 1870 hingga 12.050.544 pikul dalam tahun 1900.25 Demikian pula perkebunan-perkebunan teh mengalami perkembangan yang pesat, terutama setelah perkebunan-perkebunan mulai ditanam dengan teh Assam. Tanaman ekspor lain yang mengalami kenaikan pesat dalam produksi adalah tembakau. Jauh sebelumnya, tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Selama zaman liberalisme, pengusaha-pengusaha Belanda mendirikan pula perkebunan-perkebunan tembakau di sekitar Besuki di Jawa Timur yang kemudian mengalami perkembangan yang pesat. Perkebunan-perkebunan di Besuki itu bekerja sama erat dengan penduduk sekitar yang juga menanam tembakau yang kemudian disortir dan diolah selanjutnya di perkebunan-perkebunan besar. Di samping itu, modal dan usaha Belanda mendirikan perkebunan-
perkebunan tembakau yang besar di sekitar Deli di Sumatra Timur.
Tanaman-tanaman dagang lainnya yang dihasilkan perkebunan-perkebunan besar yang telah mengalami perkembangan pesat selama masa ini adalah kopi dan kina. Selama masa ini Indonesia malah menjadi negara penghasil kina yang paling terkemuka di dunia karena hampir 90% kina yang digunakan di dunia pada waktu itu berasal dari perkebunan-perkebunan kina di Jawa.26 Di lain pihak, kopi tidak mengalami perkembangan begitu pesat seperti selama Sistem Tanam Paksa masih berlaku.Setelah tahun 1885 perkembangan dagang mulai berjalan agak seret karena jatuhnya harga-harga kopi dan gula di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau di pasar dunia juga jatuh dengan pesat sehingga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan-perkebunan tembakau di Deli. Jatuhnya harga gula di pasar dunia terutama disebabkan oleh penanaman gula beet sugar yang mulai ditanam di berbagai negara Eropa selama masa ini sehingga negara-negara ini tidak memerlukan lagi gula dari Indonesia.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi berbagai perkebunan-perkebunan besar sebagai akibat krisis di pasar dunia juga mempunyai implikasi-implikasi atas pembiayaan usaha-usaha kegiatan ini. Pada umumnya kegiatan-kegiatan perkebunan besar ini dibiayai oleh apa yang dinamai bank-bank perkebunan (cultuurbanken) yang merupakan lembaga-lembaga keuangan yang bergerak secara otonom. Sebelum krisis terjadi sekitar tahun 1885, kegiatan perkebunan-perkebunan besar ini penuh dengan risiko. Para pengusaha perkebunan-perkebunan besar ini tidak berusaha mengurangi risiko mereka dengan cara membentuk perseroan-perseroan terbatas, tetapi menjalankan perkebunan-perkebunan ini atas usaha sendiri. Jika mereka memerlukan tambahan pembiayaan, hal ini mudah diperoleh dari bank-bank perkebunan yang disebut di atas. Akan tetapi, bank-bank ini sering bersedia meminjamkan kredit kepada perkebunan-perkebunan ini tanpa jaminan-jaminan yang kuat.Perkembangan-perkembangan baru yang terjadi pada akhir abad ke-19 itu menandakan suatu tahap baru dalam sejarah ekonomi Hindia Belanda di mana asas-asas liberal murni yang menjunjung tinggi usaha swasta dan persaingan bebas lambat laun mulai ditinggalkan dan mulai diganti dengan suatu tata susunan ekonomi yang lebih bersifat terpimpin. Artinya, kehidupan ekonomi Hindia Belanda, khususnya di Jawa, mulai dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan industrial dan finansial di negeri Belanda sendiri dan tidak lagi diserahkan kepada pemimpin-pemimpin perkebunan-perkebunan besar yang berkedudukan di Jawa. Dengan demikian, ekonomi Hindia Belanda makin dikuasai oleh kepentingan-kepentingan kapital-finansial di negeri Belanda, sedangkan para pionir yang telah merintis pembukaan Hindia Belanda bagi usaha-usaha dan modal swasta lebih kurang dua dasawarsa sebelumnya mulai dicaplok oleh kepentingan-kepentingan kapitalis besar di negeri Belanda. Sebagai pengganti pengusaha-pengusaha perseorangan ini, sejak tahun 1885 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan raksasa yang berbentuk perseroan-perseroan terbatas yang sering pula saling berkaitan. 28
Markas besar perusahaan-perusahaan raksasa ini berkedudukan di negeri Belanda, tetapi juga kadang-kadang juga di negara-negara Eropa lainnya. Dengan demikian, ekonomi Hindia Belanda tidak saja bersifat individualis, tetapi juga bersifat kapitalis. Menjelang akhir abad ke-19, proses perombakan-perombakan ekonomi Hindia Belanda di suatu sistem merkantilisme negara ke sistem merkantilisme perusahaan besar dapat dikatakan telah selesai.Pertumbuhan penduduk Pulau Jawa, yang berjalan lebih pesat daripada pertumbuhan produksi bahan makanan, khususnya beras, bermakna bahwa konsumsi bahan makanan per kepala selama zaman liberalisme memperlihatkan trend yang menurun, khususnya setelah tahun 1880. Di samping itu, krisis yang telah dialami perkebunan-perkebunan besar sekitar tahun 1885 juga membawa pengaruh buruk bagi penduduk Jawa karena penyempitan operasi perkebunan-perkebunan ini berarti penyempitan penghasilan bagi penduduk Jawa, yaitu berupa upah bagi pekerjaan baik di perkebunan-perkebunan maupun yang berupa sawah tanah. Jika penduduk Jawa secara rata-rata memperoleh pembayaran untuk sewa tanah sebanyak f42,48 untuk satu bahu selama Sistem Tanam Paksa, pada tahun 1900 angka ini telah menurun sampai f25 untuk satu bahu.31
Demikian pula upah telah menurun dengan pesat setelah tahun 1885, setelah terbukti pula dari hasil suatu penyelidikan yang dilakukan Mindere Welvaarts Commisie (Panitia Kemerosotan Kemakmuran), suatu panitia resmi yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial untuk menyelidiki keadaan kesejahteraan penduduk Jawa.
Kemerosotan kemakmuran penduduk Jawa disebabkan berbagai faktor. Faktor pertama, kita melihat bahwa jumlah penduduk Jawa meningkat dengan pesat dalam abad ke-19. Pertumbuhan yang pesat ini mengakibatkan perbandingan antarjumlah penduduk (faktor produksi tanah) dengan luas tanah yang terbatas. Di lain pihak, tidak lagi seimbang, sehingga sebagai akibat "hukum pertambahan hasil yang makin berkurang" (law of deminishing returns), kenaikan produksi pertanian berkurang. Perkembangan produksi pertanian yang tidak menguntungkan ini juga tidak dapat diubah dengan penggunaan peralatan pertanian yang lebih efisien berhubung para petani rata-rata sangat kekurangan modal sebagai akibat kemiskinan mereka. Faktor kedua, dengan adanya sistem kerja rodi yang sering harus dilakukan untuk pejabat-pejabat pemerintah kolonial maupun untuk para kepala mereka sendiri, para petani tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk bekerja keras karena mereka mengetahui bahwa hasil pekerjaan keras mereka akhirnya tidak dapat mereka nikmati sendiri, tetapi akan diambil oleh pemerintah kolonial atau penguasa mereka sendiri.
Faktor kelima, yang menyebabkan berkurangnya kemakmuran penduduk Jawa adalah krisis yang telah disinggung di atas, yaitu melanda perkebunan-perkebunan besar sekitar tahun 1885. Seperti telah dikemukakan di atas, kejadian ini mendorong perkebunan-perkebunan besar di Jawa untuk mengadakan penghematan-penghematan drastis berupa penekanan upah dan sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin. Hal ini mudah dilaksanakan karena golongan yang terkena tindakan-tindakan penghematan ini, yaitu penduduk Jawa, secara ekonomi dan politik tidak berada dalam kedudukan yang baik untuk mempertahankan hak-hak mereka. Paling banyak mereka hanya dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang sangat merugikan itu.
4. Pembangunan Prasarana
Selama zaman liberal pemerintah Hindia Belanda membangun banyak prasarana untuk menunjang produksi tanaman dagangan ekspor. Salah satu prasarana yang terpenting dalam hal ini adalah waduk-waduk dan saluran-saluran irigasi untuk peningkatan produktivitas. Sebelum krisis tahun 1885, pemerintah Hindia Belanda relatif tidak mengeluarkan banyak uang untuk pembangunan prasarana karena tidak mengurangi saldo surplus (batig slot) yang dapat ditransfer ke negeri Belanda. Akan tetapi, setelah krisis, menjadi jelas sekali bahwa pemerintah kolonial perlu bertindak lebih giat untuk membantu perkebunan-perkebunan besar yang terkena krisis ini. Salah satu tindakan penting dalam hal ini adalah pembangunan sarana-sarana irigasi di Pulau Jawa yang ditangani oleh Departemen Pekerjaan Umum. Walaupun sarana irigasi ini terutama dibangun untuk kepentingan perkebunan-perkebunan besar, penduduk Jawa turut pula menarik manfaat dari pembangunan sarana-sarana irigasi ini, khususnya di daerah-daerah perkebunan gula yang menyewa tanah dari para petani atas dasar rotasi.
Jalan-jalan kereta api pertama dibangun antara Semarang dan daerah kesultan (Vorstenlanden) serta antara Batavia dan Bogor. Pembangunan kedua jalan kereta api yang pertama ini diselesaikan dalam tahun 1873 dan terutama dimaksudkan untuk membuka daerah-daerah Jawa dan menghubungi daerah perkebunan besar yang kebanyakan terletak di daerah pedalaman dengan kota-kota pelabuhan yang terdekat, yaitu Batavia di Jawa Barat dan Semarang di Jawa Tengah. Demikian pula pada tahun 1873 pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalan kereta api antara Surabaya dan kota Malang, yang merupakan pusat penting dari perkebunan-perkebunan besar di daerah Jawa Timur. Jelaslah kiranya bahwa pembangunan jaringan jalan-jalan kereta api di Pulau Jawa terutama terdorong oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi: khususnya kepentingan-kepentingan perkebunan-perkebunan besar. Perkembangan jaringan kereta api ini berjalan dengan pesat sekali, seperti terlihat dari angka-angka berikut. Kedua jalan kereta api yang pertama dibuka dalam tahun 1873 seluruhnya hanya meliputi jarak lebih kurang 250 km, tetapi pada akhir zaman liberal seluruh jaringan jalan kereta api, banyak yang dibangun oleh pemerintah kolonial maupun oleh pihak swasta, yaitu perusahaan-perusahaan Eropa, telah meliputi jarak lebih kurang 3.000 km.36
Sementara jaringan kereta api sedang dibangun di Jawa, pemerintah kolonial juga sibuk membangun jaringan jalan kereta api di beberapa daerah di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaannya atau yang ingin dikuasainya, seperti di Aceh dan di Sumatra Barat. Pembangunan jaringan jalan kereta api ini tidak saja didorong oleh pertimbangan ekonomi, tetapi juga oleh pertimbangan-pertimbangan politik dan militer, khususnya dalam hal Aceh yang secepat mungkin ingin ditaklukkannya. Pembangunan jalan kereta api di Sumatra Barat lebih bersifat ekonomi karena di sana jalan kereta api dibangun untuk menghubungi kota Padang dengan tambang-tambang batu bara di Ombilin. Di daerah perkebunan-perkebunan besar di Sumatra Timur yang telah dibuka sejak tahun 1863, Maskapai Tembakau Deli (Deli Tabak Maatschappij) yang mengusahakan perkebunan-perkebunan tembakau di daerah tersebut juga mengambil prakarsa untuk membangun jalan kereta api pada tahun 1883. Dengan demikian, pada akhir zaman liberal di beberapa daerah Pulau Sumatra telah dibangun jaringan jalan kereta api yang seluruhnya meliputi jarak lebih kurang 400 km." Pembangunan jalan kereta api di Sumatra ini cukup mengesankan walaupun masih jauh terbelakang dibanding dengan pembangunan jalan kereta api di Jawa. Di pulau-pulau lain tidak dilakukan pembangunan jalan kereta api.
Perdagangan ekspor Hindia Belanda yang makin meningkat mendorong pengangkutan laut, dan dengan demikian meningkatkan pula kebutuhan akan suatu armada dagang yang dengan cepat dapat mengangkut barang-barang ekspor Nusantara ke pasar dunia maupun yang dapat mengurus lalu lintas barang yang semakin meningkat antara berbagai daerah di Indonesia. Sungguhpun demikian, pihak Belanda lambat sekali membangun armada dagang yang dapat memelihara perhubungan laut di perairan Indonesia dan lebih suka menggantungkan diri pada kapal-kapal Inggris. Baru dalam tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah perusahaan yang mengurus perhubungan laut antardaerah di Indonesia, yaitu Koningklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), yang kemudian memperoleh monopoli untuk pengangkutan laut di Indonesia.
Selain pembangunan sarana fisik, selama masa liberal pemerintah Hindia Belanda juga lebih giat mengusahakan pembangunan sosial khususnya lembaga-lembaga pendidikan bagi penduduk Indonesia. Sebelum zaman liberal, pemerintah Hindia Belanda secara terbatas telah membuka beberapa sekolah bagi anak-anak bupati dan pejabat-pejabat tinggi lainnya. Di samping usaha pemerintah kolonial, misionaris-misionaris Kristen-Protestan dan Roma Katolik dari negeri Belanda telah membuka sekolah-sekolah bagi penduduk Indonesia, tetapi hanya di daerah-daerah di mana sebagian penduduk tidak menganut agama Islam, seperti daerah kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Pemerintah kolonial tidak mengizinkan misi-misi Protestan dan Katolik membuka sekolah-sekolah bagi penduduk Nusantara di daerah-daerah beragama Islam karena takut menimbulkan kesulitan dan pertentangan agama.
Baru selama zaman liberal sistem pendidikan bagi penduduk Indonesia mengalami perkembangan yang lebih pesat, suatu hal yang memang mencerminkan sikap kaum liberal mengenai pentingnya penyebaran pendidikan bagi kalangan luas di masyarakat. Dengan dibukanya jembatan-jembatan yang lebih tinggi dalam administrasi pemerintah kolonial bagi orang-orang Indonesia pribumi maupun orang-orang Indo-Eropa, kebutuhan akan lembaga-lembaga pendidikan yang dapat memberi latihan-latihan dan pendidikan seperlunya bagi calon-calon pegawai pemerintah, terus meningkat. Salah satu perkembangan penting yang mencerminkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah kolonial terhadap pendidikan bagi golongan pribumi adalah pengangkutan seorang Inspektur Pendidikan Pribumi, yang kemudian diikuti oleh pendirian suatu Departemen Pendidikan Agama dan Industri dalam tahun 1867.
5. Sumatra Timur
Selama dasawarsa-dasawarsa pertama dari abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda pada umumnya tidak melibatkan diri dengan daerah-daerah di luar Jawa, kecuali beberapa daerah yang memang lebih dahulu jatuh di bawah kekuasaan Belanda, seperti kepulauan Maluku, daerah kecil sekitar Makassar, daerah sekitar Banjarmasin, Bengkulu, yang telah diserahkan oleh Inggris kepada Belanda dalam tahun 1824 dalam rangka perjanjian London, dan Sumatra Barat di mana perlawanan terhadap agresi Belanda dapat dipatahkan oleh Belanda dalam tahun 1837. Salah satu faktor penting yang dapat menerangkan keengganan pemerintah Hindia Belanda untuk melibatkan diri terlalu banyak dengan daerah-derah luar Jawa adalah pengalamannya yang buruk selama perjuangan Diponegoro (1825-1830) yang mengajar mereka agar tidak mencoba-coba mengubah tata susunan masyarakat pribumi. Selain pertimbangan ini, Belanda memang tidak begitu berminat untuk mengadakan ekspansi teritorial ke daerah-daerah luar Jawa karena ingin memusatkan segala perhatiannya ke Jawa yang sejak tahun 1830 telah menjelma sebagai suatu daerah koloni yang menghasilkan banyak keuntungan bagi Belanda. Keterlibatan dengan daerah-daerah luar Jawa hanya terjadi secara insidentil, misalnya, jika diadakan ekspedisi militer terhadap beberapa daerah untuk menumpas perampokan di laut.
Keterlibatan Belanda yang lebih intensif dalam urusan-urusan daerah luar Jawa baru terjadi setelah mereka menyadari bahwa suatu politik yang hanya mengutamakan kedaulatan nominal Belanda atas daerah-daerah luar Jawa akhirnya dapat mengancam kedudukan dan hegemoni Belanda di kepulauan Nusantara. Kejadian yang mencetuskan kekhawatiran Belanda adalah kegiatan "Raja Brooke", seorang petualang Inggris di Serawak, mengangkat dirinya menjadi raja di Serawak.
Akan tetapi, faktor terpenting yang akhirnya mendorong Belanda untuk melepaskan "politik tidak campur tangan" dalam urusan-urusan daerah luar Jawa dan mulai mengadakan ekspansi teritorial ke daerah-daerah ini adalah penemuan bahan-bahan mineral yang berharga di daerah-daerah ini, seperti timah di daerah pulau Bangka, Belitung, dan Singkep, batu bara di daerah Ombilin, Sumatra Barat, emas di Kalimantan Barat, dan batu bara di Kalimantan Tenggara." Bahan-bahan mineral ini menjadi penting dalam abad ke-19 bertalian dengan proses industrialisasi yang sedang berjalan di negara-negara Eropa Barat, termasuk negeri Belanda, dan penggunaan bahan-bahan mineral ini sebagai bahan baku bagi produksi berbagai barang jadi.
Kegiatan-kegiatan militer Belanda yang terpenting di daerah-daerah luar Jawa adalah usaha penaklukan Kesultanan Aceh yang dimulai dalam tahun 1873. Selain pertimbangan-pertimbangan politik dan militer, menaklukkan Aceh juga terdorong oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi, khususnya pengamanan kepentingan pengusaha-pengusaha yang telah membuka perkebunan-perkebunan tembakau yang besar di daerah Deli, Sumatra Timur, sejak tahun 1863. Sebagai contoh ekspansi ke luar Jawa di sini akan diuraikan kasus Sumatra Timur.
Pada pertengahan abad ke-19 yang kemudian menjadi tersohor sebagai daerah "Pantai Timur Sumatra" masih merupakan suatu daerah terpencil dan terbelakang yang tidak dikenal sama sekali. Tidak mengherankan bahwa pada waktu itu tidak ada seorang pun yang menduga bahwa daerah ini dalam waktu kurang dari setengah abad akan mengalami perkembangan yang demikian sehingga orang sering menyebut daerah ini sebagai "Amerikanya Hindia" (Indie Amerika).
Kesulitan pertama yang dihadapi Nienhuis dalam menanam tembakau adalah masalah tenaga kerja. Berbeda dengan keadaan di Jawa, perkebunan-perkebunan besar dapat dengan mudah menarik penduduk setempat untuk bekerja pada perkebunan-perkebunan tersebut. Nienhuis mengalami banyak kesulitan dalam menarik tenaga kerja yang bersedia bekerja di perkebunan-perkebunannya. Oleh sebab itu, Nienhuis terpaksa pergi ke Penang untuk memperkerjakan orang-orang Cina. Kunjungan ini berhasil sehingga pada tahun 1865 Nienhuis memperoleh hasil panen sebanyak 189 bal daun tembakau yang dapat dijual dengan mudah di negeri Belanda dengan harga yang tinggi.
Keberhasilan Nienhuis dalam menanam tembakau di Deli atas dasar komersial dengan cepat menarik perhatian kalangan-kalangan pengusaha besar di negeri Belanda sehingga mereka mulai merencanakan untuk menanam modal mereka dalam perkebunan-perkebunan tembakau di Deli.
Badan Usaha Dagang Belanda (Nederlandsche Handels Maatschappij atau
NHM) yang didirikan oleh Raja Willem I menaruh perhatian besar pada usaha Nienhuis, dan dalam tahun 1869 perusahaan ini menanam modalnya dalam suatu perusahaan baru yang diberi nama Badan Usaha Deli (Deli Maatschappij) yang dikepalai oleh Nienhuis sendiri. Perusahaan-perusahaan lain kemudian juga menyusul karena tertarik pada harga tinggi yang dapat diperoleh tembakau Deli di pasar dunia. Karena tanah di daerah Sumatra Timur dapat diperoleh dengan mudah dari para sultan daerah tersebut atas dasar konsesi, harga yang tinggi yang dapat diperoleh tembakau Deli di pasar dunia dapat menjamin keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan yang menanam modal mereka dalam perkebunan-perkebunan tembakau ini. Sultan-sultan Melayu di daerah Sumatra Timur dengan mudah dapat menyediakan tanah atas dasar konsesi kepada perkebunan-perkebunan besar karena daerah Sumatra Timur adalah suatu daerah yang untuk sebagian besar terdiri atas hutan lebat yang hanya didiami oleh sedikit orang. Tidak mengherankan bahwa dengan demikian para sultan bersedia memberikan konsesi-konsesi tanah dengan pembayaran suatu jumlah tertentu sebagai imbalan dari perkebunan-perkebunan besar.
Pengalaman yang diperoleh perkebunan-perkebunan tembakau itu menunjukkan bahwa mutu tinggi dari tembakau Deli yang tersohor di pasar dunia memerlukan kondisi tanah yang baik yang hanya dapat dipertahankan jika tanah yang ditanami itu hanya dipakai selama 1 tahun dalam suatu siklus penanaman tembakau dari 8 tahun atau kadang-kadang lebih lama lagi jika keadaan tanah tidak begitu baik."
Dengan demikian, perkebunan-perkebunan tembakau, seperti juga halnya dengan para petani setempat, melaksanakan pertanian ladang (Shifting Cultivation), di mana perusahaan tembakau tiap tahun berpindah ke suatu bidang tanah yang baru untuk menanam tanaman tembakau yang baru. Hal ini berarti bahwa perkebunan-perkebunan tembakau juga memerlukan luas tanah paling sedikit 8 kali lebih luas daripada bidang tanah yang ditanam dalam suatu tahun tertentu.45 Dengan demikian, penanaman tembakau merupakan suatu sistem pertanian yang sangat ekstensif yang hanya dapat dilakukan di suatu daerah yang relatif kosong dengan jumlah penduduk yang kecil seperti halnya di Sumatra Timur pada abad ke-19.
Sistem pertanian tembakau yang sangat ekstensif itu menyebabkan tanah di Sumatra Timur yang cocok untuk penanaman tembakau lambat laun menjadi langka sehingga prospektor-prospektor tanah mulai menjajaki kemungkinan-kemungkinan penanaman tembakau di daerah-daerah di luar Deli, Serdang, dan Langkat yang merupakan daerah inti perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatra Timur. Di samping daerah-daerah sebelah selatan dan utara daerah pantai Sumatra Utara, para prospektor tanah juga menjajaki kemungkinan penanaman tembakau di Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, bahkan di Sabah. Akan tetapi, keadaan tanah daerah-daerah ini tidak begitu cocok untuk penanaman tembakau Deli dengan sifatnya yang khas itu, dan bahwa hanya daerah pantai timur Sumatra, khususnya Deli, memiliki tanah yang paling cocok untuk tembakau Deli.
Salah satu akibat adanya krisis tahun 1891 adalah ditutupnya berbagai perkebunan tembakau. Antara tahun-tahun 1890 dan 1894 tidak kurang dari 25 perusahaan tembakau yang memiliki banyak perkebunan dibubarkan. Hal ini meningkat dalam tahun 1891 dengan jumlah 236.323 bal jatuh sampai tingkat produksi 144.689 bal dalam tahun 1892.47
Krisis tahun 1891 menandakan berakhirnya tahap pertama dari sejarah ekonomi pantai timur Sumatra, suatu tahap yang ditandai oleh pertumbuhan pesat dari produksi tembakau, demikian tumbuhan yang abnormal, setelah krisis, suatu tahap baru dimulai yang dapat digambarkan sebagai tahap konsolidasi. Para spekulan yang banyak bergiat dalam perusahaan-perusahaan tembakau selama tahap pertama meninggalkan Sumatra Timur dan perkebunan-perkebunan tembakau yang tetap bertambah hanya dipimpin oleh pengusaha-pengusaha yang benar-benar berkepentingan dalam investasi yang sehat dalam perkebunan-perkebunan tembakau. Pengusaha-pengusaha ini kemudian giat berusaha untuk mengadakan rasionalisasi dalam penanaman tembakau, antara lain dengan perbaikan metode-metode produksi dan dengan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah yang ditunjukkan untuk memperbaiki mutu tembakau Deli yang memang sudah tersohor mutunya. Penelitian yang diadakan untuk lebih memperbaiki mutu tembakau Deli dilakukan oleh lembaga penelitian Deli (Deli Proef Station) yang didirikan oleh perhimpunan pengusaha-pengusaha perkebunan Deli (Deli Planter's Vereniging), yaitu perhimpunan para pengusaha perkebunan tembakau di Sumatra Timur. Krisis tahun 1891 juga menyadarkan para pengusaha perkebunan tembakau bahwa tembakau Deli hanya dapat ditanam di beberapa daerah saja di Sumatra Timur khususnya Deli, Langkat, dan Serdang, yang memiliki kombinasi iklim dan tanah yang khas yang tidak terdapat di tempat-tempat lain di Sumatra Timur. Peran tembakau Deli di tempat lain memperlihatkan merosotnya mutu tembakau Deli sehingga tidak memiliki lagi sifat-sifat yang unggul yang tersohor di seluruh dunia. Salah satu akibat penting krisis tahun 1891 adalah dikuranginya luas tanah yang ditanami tembakau. Sementara itu, akibat krisis tembakau tahun 1891 adalah peningkatan usaha penanaman tanaman-tanaman perdagangan baru yang mempunyai prospek ekspor yang baik di pasaran dunia. Krisis tahun 1891 memperlihatkan bahaya ekonomi yang hanya bergantung pada satu tanaman (monoculture economy). Mula-mula diadakan usaha-usaha untuk menanam kopi di daerah Serdang, tetapi saingan dari Brasil mengakibatkan penanaman kopi itu tidak begitu menguntungkan sehingga setelah beberapa tahun dihentikan sama sekali.
Penanaman kopi juga tidak kelihatan menarik karena justru pada waktu itu pengusaha-pengusaha perkebunan besar sedang memulai menanam karet jenis Hevea Brasiliensis di perkebunan-perkebunan mereka yang ternyata mempunyai prospek yang baik sekali. Penanaman karet ternyata menguntungkan sekali sehingga banyak perkebunan kopi kemudian dijadikan perkebunan karet. Daerah yang kemudian menjelma sebagai pusat penanaman karet adalah daerah Serdang, seperti juga Deli merupakan pusat penanaman tembakau, sehingga karet menjadi motor penggerak ekonomi daerah Sumatra Timur. Seperti juga halnya tembakau, Deli juga pernah menjadi motor penggerak daerah ini beberapa dasawarsa yang lalu.
Dalam pada itu usaha pengerahan tenaga kerja dengan sistem perantara ternyata mempunyai kelemahan dan kekurangan, karena menimbulkan penyelewengan pada pihak perantara yang sering menculik atau membujuk calon buruh dengan janji yang muluk-muluk untuk pergi ke Sumatra Timur tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya di sana. Di samping itu, pengerahan tenaga kerja melalui perantara juga mahal sekali, karena perantara-perantara ini menuntut uang komisi yang tinggi sekali untuk jasa mereka.
Berhubung dengan kesulitan-kesulitan ini para pengusaha perkebunan di Sumatra Timur mengambil keputusan untuk mencari sendiri pekerja-pekerja di negeri Cina. Seperti telah dikemukakan di atas pada tahun 1879 para pengusaha perkebunan tembakau di Sumatra Timur telah bergabung dalam perhimpunan pengusaha-pengusaha perkebunan Deli (Deli Planters Vereneging atau DPV) dengan tujuan agar perhimpunan ini dapat menggarap berbagai masalah yang dihadapi pengusaha-pengusaha perkebunan ini, antara lain mengenai kerja. Untuk ini, dalam tahun 1888 DPV mendirikan suatu biro imigrasi (Immigratie Bureau) untuk mengurus secara langsung seleksi calon pekerja negeri Cina dan pula pengangkutan pekerja-pekerja yang diseleksi itu dari negeri Cina ke Sumatra Timur. Di samping itu, biro imigrasi mengurus alokasi (pembagian) pekerja-pekerja yang baru tiba itu di antara berbagai perkebunan, dan pula memberikan pertolongan dalam transfer simpanan dari pekerja-pekerja ini keluarga mereka di negeri Cina. Transfer simpanan ini sangat dianjurkan oleh biro imigrasi karena merupakan faktor insentif yang kuat bagi pekerja-pekerja ini untuk bekerja pada perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur.
Sebagai hasil pekerjaan Biro Imigrasi ini pekerja-pekerja yang direkrut di negeri Cina bertambah dengan pesat, seperti terlihat dari angka-angka yang berikut. Misalnya, dalam tahun 1888, 1.152 pekerja didatangkan dari negeri Cina, tetapi setahun kemudian angka ini sudah meningkat hampir lima kali lipat sampai 5.167, untuk seterusnya meningkat lagi sampai 6,666 dalam tahun 1890.48
Dalam tahun-tahun berikutnya ribuan pekerja menyusul dari negeri Cina, sedangkan dari pekerja-pekerja yang telah menyelesaikan masa kerjanya hanya sebagian kecil saja pulang kembali ke tanah air mereka. Bagian terbesar dari pekerja-pekerja yang telah menghabisi masa kerja kemudian memperpanjang kontrak kerja mereka atau memutuskan untuk terus menetap di Sumatra Timur.
Tenaga kerja untuk perkebunan-perkebunan Sumatra Timur didatangkan dari negeri Cina di bawah sistem kontrak. Hla Myint mendefinisikan sistem kerja kontrak sebagai berikut: "... suatu sistem di mana pihak majikan membayar biaya pengangkutan pekerja-pekerja dari tempat asal mereka ke tempat pekerjaan, sedangkan para pekerja mengikat diri bekerja untuk masa beberapa tahun dengan upah tertentu."49
Mengingat kesulitan besar dan biaya tinggi yang perlu dibayar oleh perkebunan-perkebunan Sumatra Timur untuk mendatangkan pekerja-pekerja ke Sumatra Timur, tampaknya memang cukup beralasan jika perkebunan mengharuskan calon-calon pekerja mendatangi kontrak kerja dahulu yang dapat memberikan jaminan bahwa para pekerja akan tetap bekerja di sana sedikitnya untuk suatu masa tertentu. Perlu diingat bahwa penjualan budak-budak di muka umum telah dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda dalam tahun 1854, sedangkan dalam tahun 1860 telah dikeluarkan peraturan-peraturan untuk menghapus sama sekali sistem perbudakan di Hindia Belanda. 50
Tidak mengherankan bila dalam keadaan demikian sistem kerja kontrak kelihatan sebagai jalan yang paling logis bagi perkebunan-perkebunan Sumatra Timur untuk memperoleh jaminan bahwa mereka dapat memperoleh dan menahan pekerjaan-pekerjaan sedikitnya untuk beberapa tahun. Di lain pihak, para pekerja tentu saja berhak atas perlindungan yang memadai karena mereka pergi ke suatu tempat yang sama sekali asing bagi mereka. Mereka berhak atas keadaan kerja dan keadaan hidup yang layak dan berhak atas jaminan bahwa mereka tidak akan dikeluarkan begitu saja dari pekerjaan sehingga telantar begitu saja di hutan rimba Sumatra Timur. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan pada pekerja-pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan-ketentuan kontrak kerja kemudian terkenal sebagai poenalie sanctie. Poenalie sanctie membuat ketentuan bahwa pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan Sumatra Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa ke perkebunan dengan kekerasan jika mengadakan perlawanan. Hukuman lain dapat berupa kerja paksa pada pekerja-pekerja umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan-ketentuan kontrak kerja.52
Koeli Ordonannantie, yang pertama kemudian diikuti oleh ordonantie-ordonantie dari tahun 1884 dan 1893 yang memberi jaminan hak pengawasan hukum pada para majikan atas kuli-kuli kontrak mereka. Selain poenale sanctie, pengusaha-pengusaha perkebunan mempunyai cara lain untuk menahan pekerjaan-pekerjaan mereka. Salah satu cara adalah memberi kesempatan judi bagi para pekerja pada hari pembayaran gaji. Cara ini ternyata berhasil sekali karena pekerja-pekerja sering terjerat utang yang begitu besar jika kalah judi sehingga menandatangani kontrak kerja baru dengan majikan-majikan mereka untuk memperpanjang masa kerja. 53
Menjelang akhir abad ke-19, di negeri Belanda mulai timbul kontroversi yang hangat mengenai poenalie sanctie. Perdebatan ini berlangsung lama sekali dan baru mulai mereda selama dasawarsa tiga puluhan sehingga poenalie sanctie akhirnya dihapuskan sama sekali. Hal ini menyebabkan timbulnya kontroversi mengenai poenalie sanctie adalah penerbitan suatu pamflet yang berjudul De Millioenen van Deli (Jutaan dari Deli) yang dikarang oleh J. Van den Brand, seorang pengacara Belanda. Dalam tulisannya itu ia mengungkapkan kepada rakyat Belanda keadaan kerja yang buruk sekali di Sumatra Timur, yang disamakan dengan keadaan yang tidak banyak berbeda dengan perbudakan. Van den Brand mengutip banyak contoh yang konkret mengenai perlakuan yang tidak berperikemanusiaan terhadap pekerja-pekerja mereka di perkebunan. Pamflet van den Brand menimbulkan kemarahan yang besar di kalangan masyarakat Belanda sehingga pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengadakan usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan lingkungan kerja pekerja-pekerja perkebunan di Sumatra Timur. Walaupun lambat, dalam abad ke-20 perlakuan terhadap pekerja-pekerja perkebunan mengalami perbaikan berkat usaha ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
