Sindrom Swipe: Ketika Jempol Lebih Sibuk daripada Otak
Gaya Hidup | 2025-11-07 11:19:14Coba jujur, pernahkah kamu membuka ponsel hanya untuk “cek sebentar” lalu dua jam kemudian menyadari bahwa tugas belum diselesaikan, buku belum dibuka, tapi kalian hafal semua tren TikTok terbaru? Kalau kamu sering mengalami hal itu, tenang kamu nggak sendirian. Tapi hati-hati, bisa jadi kamu sedang terkena Sindrom Swipe atau kondisi di mana jempol terus bekerja, tapi otak mulai kehilangan arah. Selamat datang di era swipe: kebiasaan menggulir layar terus-menerus sampai jempol bekerja lebih keras daripada otak. Peristiwa ini tidak lagi sekadar candaan di media sosial, tetapi juga menjadi cermin dari perubahan perilaku generasi digital, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa.
Bayangkan, menurut DataReportal (2025) menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 3 jam 10 menit per hari dalam bermain media sosial. Kira-kira platform apa yang paling banyak menyita waktu? Tentu saja TikTok dengan waktu penggunaan tertinggi, sekitar 58 menit per pengguna per hari, itu belum termasuk Instagram Reels, Youtube Shorts, dan Twitter.
Brainrot, Pembusukan Otak Akibat Konten Receh di Medsos, Pakar Umsida Beri Penjelasan" />
Masalah utamanya bukan hanya pada durasi saja, tetapi ini juga menandai berapa banyak menit yang kita serahkan pada aliran konten pendek, notifikasi, dan algoritma yang dirancang agar kita tetap menggulir, melainkan pada cara otak kita memproses informasi akibat kebiasaan menggulir cepat tanpa henti. Di Indonesia dampaknya nyata, lho! Waktu yang dibuang sebanyak 2-3 jam untuk menjelajahi media sosial dapat digunakan untuk segala hal, seperti belajar, sekolah atau kuliah, dan hal-hal produktif lainnya. Awalnya, swipe terasa sangat menyenangkan, kan? Tiap geseran memberi kejutan kecil, seperti video lucu, gosip selebriti, resep mie instan viral, atau tips and trick skincare. Tapi di balik kesenangan singkat itu, otak kita sebenarnya sedang “dilatih” untuk mencari stimulus instan. Lama-kelamaan, hal-hal yang butuh fokus panjang, seperti membaca buku, belajar, atau berpikir kritis terasa melelahkan, menjenuhkan, dan membosankan. Inilah asal dari apa yang orang sebut sekarang sebagai “brainrot”.
Istilah populer seperti brainrot merujuk pada pola konsumsi berita atau hiburan yang pasif, berulang, dan seringnya berisi konten negatif atau dangkal, yang juga menggambarkan kondisi di mana seseorang terlalu lama menatap layar hingga otaknya ‘membusuk’ bukan secara harfiah, tetapi secara mental. Istilah ini pernah menjadi candaan hangat di internet lho, “Otakku jadi brainrot gara-gara scroll TikTok terus!” tapi ternyata, fenomena ini nyata.
Kehilangan fokus, sulit berpikir panjang, dan hanya bisa menikmati hal-hal instan, lucu, atau absurd tanpa konteks yang jelas. Menurut penelitian oleh Nakhla (2025) dalam Journal of Posthumanism, brainrot menggambarkan efek psikologis dari konsumsi media bentuk pendek secara berlebihan. Otak menjadi terbiasa dengan informasi dangkal, kehilangan kemampuan berpikir kritis, kesulitan membedakan hal penting dan tidak penting, mengganggu tidur, membuat konsentrasi menurun, bahkan sampai mengikis kemampuan bekerja dalam mode deep work yang membutuhkan waktu fokus panjang. Jadi, ini bukan hanya soal “swipe terus” tetapi juga tentang bagaimana otak kita kehilangan kapasitas berpikir panjang.
Kamu mungkin berpikir “Yaudah, kan cuma buat hiburan?” Masalahnya, hiburan ini lama-lama membentuk pola pikir baru. Peristiwa ini sejalan dengan penemuan neurosains modern, di mana otak manusia dirancang untuk mencari stimulus baru. Setiap kali kita swipe dan menemukan video baru yang menarik, otak akan melepaskan sedikit dopamin atau hormon kebahagiaan yang sama muncul saat kita makan enak atau menerima pujian. Nah, sistem ini menciptakan yang namanya loop adiktif, apa itu? semakin sering kita swipe, semakin besar keinginan untuk swipe. Puncaknya adalah ketika dopamin dilepaskan terlalu sering, otak jadi terbiasa dengan “reward” instan. Akibatnya, aktivitas yang memerlukan fokus panjang, seperti membaca buku, menulis laporan, atau belajar teori terasa membosankan. Ini sebabnya banyak remaja dan mahasiswa kini mengaku sulit fokus lebih dari 15 menit tanpa mengecek ponsel.
Peneliti Meena & Badgujar (2025) bahkan menemukan bahwa peningkatan waktu layar pada anak-anak dan remaja berkorelasi dengan penurunan rentang perhatian. Mereka lebih cepat bosan dan kesulitan fokus pada tugas akademik. Efeknya bukan cuma pada siswa, di kalangan mahasiswa dan pekerja muda, peristiwa ini memunculkan istilah baru, yaitu digital fatique atau kelelahan otak akibat terlalu banyak input visual yang tak berarti. Nah, sekarang bayangkan kamu adalah laptop. Kalau kamu terlalu banyak membuka tab, apa yang terjadi? Lemot. Begitu pula dengan otak manusia. Ketika kita menelan ribuan informasi dalam waktu singkat, kita akan kehilangan kemmapuan untuk memilah mana yang penting atau mana yang tidak. Lalu, apa akibatnya? Kita jadi sering mudah lupa, sulit fokus, dan lelah secara mental.
Coba sekarang kita refleksi bersama, bagaimana kebiasaanmu sehari-hari? Apakah saat makan, kamu swipel? Saat belajar, cek ponsel sebentar untuk membuka TikTok? Atau saat bosan, kamu melihat video-video lucu tanpa alasan? Inilah yang disebut doomscrolling, kebiasaan swipe tanpa tujuan yang jelas. Dan yang paling berbahaya, otak terbiasa dengan hal absurd dan hal tidak produktif. Akibatnya, video lucu selama lima detik terasa sangat menarik daripada diskusi serius dan artikel panjang, kan?
Bisakah kita pulih dari brainrot ini? Kabar baiknya, bisa! Otak manusia itu bersifat neuroplastis, artinya otak dapat membentuk ulang jalur saraf dengan kebiasaan baru. Tapi ini butuh Latihan, bukan cuman niat. Hal kecil apa yang bisa kamu lakukan hari ini akan berdampak besar keesokan harinya.
- Batasi waktu layar: gunakan fitur screen time untuk membatasi aplikasi yang paling “ngabisin waktu”.
- Buat momen tanpa layar: misalnya saat bangun tidur, 30 menit pertama jangan buka ponsel terlebih dahulu. Kemudian saat ingin tidur, coba matikan ponsel satu jam sebelum tidur.
- Tantang otak kamu: kamu bisa memulai dengan hal-hal kecil, seperti membaca artikel berita pendek, dengarkan podcast edukatif, atau tonton film yang sedikit menguras otakmu.
- Pakai Teknik podomoro: ini efektif untuk tetap menjaga fokus kamu, lho! Fokus belajar 25 menit, 5 menit berikutnya diisi istirahat. Ketika sudah melakukan sampai beberapa sesi, beri hadiah pada otak kamu dengan scroll sebentar (dengan kesadaran penuh, ya!).
Dari situ kamu akan sadar, bagaimana kerja teknologi memengaruhi dunia. Seharusnya, dengan adanya teknologi dapat membantu kita berkembang, bukan menyetir kita seperti robot. Sindrom Swipe dan dan brainrot adalah sinyal bahwa kita harus mengembalikan keseimbangan antara hiburan dengan kesadaran diri. Jadi, sebelum jempolmu menggulir layar lagi, coba tanya seperti ini, “Apakah ini yang benar-benar ingin aku lihat, atau cuman sekadar kebiasaan ya?” Jawaban jujurmu, mungkin jadi awal untuk otak lebih sehat dan hidup yang lebih sadar. Yuk, perlahan-lahan ubah kebiasaan burukmu itu!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
