Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatkhul Stevanie

Ironi Akses Kesehatan di Negeri Sehat: Saat Obat tak Lagi Mudah Didapat

Eduaksi | 2025-11-06 21:33:30
Sumber: idemedia.co.id

Di tengah gencarnya kampanye hidup sehat dan pembangunan fasilitas medis, masyarakat justru menghadapi kenyataan pahit: obat-obatan semakin sulit dijangkau. Dari apotek kecil di pinggir kota hingga rumah sakit besar di ibu kota, keluhan “stok obat kosong” kini bukan hal asing. Padahal, keberhasilan sistem kesehatan tidak hanya diukur dari banyaknya rumah sakit, melainkan juga dari ketersediaan obat yang mudah diakses oleh semua kalangan tanpa harus menunggu lama atau membayar mahal.

Fenomena kelangkaan obat ini mencuat sepanjang tahun 2025. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO, 2025), Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam memastikan ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial. Sekitar 35% fasilitas kesehatan tingkat pertama dilaporkan mengalami kekosongan stok untuk minimal satu jenis obat penting setiap bulan. Masalah ini disebabkan oleh rantai pasok yang tidak efisien, keterlambatan pengadaan, serta ketergantungan pada bahan baku impor.

Data dari Kementerian Kesehatan RI (2025) juga menunjukkan bahwa sekitar 90% bahan baku obat di Indonesia masih bergantung pada impor, terutama dari Tiongkok dan India. Ketika terjadi gangguan global, baik akibat pandemi, perang dagang, atau hambatan logistik, pasokan bahan baku langsung terhenti dan berdampak pada produksi obat dalam negeri. Akibatnya, harga obat meningkat dan stok di lapangan menurun.

Dampak paling nyata terasa di masyarakat umum dan mahasiswa perantau. Banyak mahasiswa yang membutuhkan obat rutin, seperti antihipertensi atau obat maag, mengaku kesulitan mencari di sekitar kampus. Sebuah survei kecil yang dilakukan Kompas Health Forum (2025) menemukan bahwa 4 dari 10 mahasiswa di kota besar seperti Surabaya dan Yogyakarta pernah mengalami kesulitan mendapatkan obat resep selama tiga bulan terakhir. Ini menunjukkan masih ada kesenjangan nyata antara konsep “akses kesehatan universal” dan kenyataan di lapangan.

Masalah ini tidak berdiri sendiri. Menurut Fanda et al. (2024) dalam Journal of Pharmaceutical Policy and Practice, ketersediaan obat di puskesmas Indonesia hanya mencapai 72% dari total daftar obat esensial WHO, dan variasinya sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah dalam melakukan perencanaan dan distribusi. Di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal), angka ini bahkan bisa turun di bawah 50%. Ini artinya, warga di daerah terpencil masih jauh dari kata “merata” dalam menikmati layanan kesehatan dasar.

Selain keterbatasan stok, harga obat di sektor swasta juga tidak menentu. WHO Indonesia (2025) melaporkan bahwa harga beberapa obat kronis di apotek swasta bisa 3–5 kali lipat lebih mahal dibanding harga di fasilitas pemerintah. Di sisi lain, proses pengadaan melalui e-katalog pemerintah sering terkendala administrasi dan keterlambatan pembayaran, membuat produsen enggan memasok cepat.

Lalu, di mana solusinya?

Pemerintah sebenarnya telah mulai memperkuat produksi lokal melalui program Peningkatan Kemandirian Bahan Baku Obat Nasional (Kemenkes RI, 2025). Beberapa perusahaan farmasi mulai memproduksi bahan aktif lokal, seperti parasetamol dan amoksisilin, sebagai langkah awal mengurangi impor. Namun langkah ini perlu diimbangi dengan sistem distribusi digital yang transparan dan efisien. Monitoring stok real-time melalui aplikasi terintegrasi (antara puskesmas, apotek, dan distributor) dapat membantu deteksi dini kelangkaan obat di lapangan.

Selain itu, edukasi penggunaan obat yang rasional juga penting. Studi WHO SEARO (2024) menunjukkan bahwa sekitar 60% masyarakat Asia Tenggara menggunakan antibiotik tanpa resep. Hal ini memperburuk ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan. Dengan pendekatan promosi kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan dan mahasiswa bisa berperan aktif menyebarkan edukasi tentang penggunaan obat yang aman dan tepat guna.

Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Pemerintah, akademisi, industri farmasi, serta masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan sistem kesehatan yang bukan hanya reaktif, tapi juga berkeadilan. Akses obat seharusnya tidak bergantung pada lokasi atau status sosial, melainkan menjadi hak yang dijamin negara.

Negeri sehat bukan diukur dari megahnya rumah sakit, melainkan dari mudahnya rakyat mendapatkan obat ketika mereka membutuhkannya. Jika akses terhadap obat saja masih menjadi kemewahan, maka cita-cita keadilan kesehatan belum benar-benar tercapai.

Daftar Referensi

Fanda, R. B., et al. (2024). The availability of essential medicines in primary health centers across Indonesia. Journal of Pharmaceutical Policy and Practice, 17(2), 112–120.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2025). Program Peningkatan Kemandirian Bahan Baku Obat Nasional. Jakarta: Kemenkes RI.

Kompas Health Forum. (2025, Juni). Survei Akses Obat Mahasiswa di Kota Besar Indonesia.

WHO Indonesia. (2025, Juli 8). Indonesia Reviews Medicine Pricing and Availability to Strengthen Equitable Access.

WHO SEARO. (2024). Rational Use of Medicines in South-East Asia: Situation and Strategy Update.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image