Diet dan Kesehatan Mental: Saat Keinginan Sehat Justru Jadi Sumber Stress
Gaya Hidup | 2025-11-05 19:43:00
Di tengah gempuran trend hidup sehat, kita sering sekali melihat unggahan penuh semangat tentang makanan salad, infused water, atau tantangan “no sugar for 30 days”. Banyak orang mulai sadar pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan itu sangat bagus. Namun di sisi lain, ada cerita lain yang jarang dibicarakan yaitu bagaimana keinginan untuk hidup sehat justru membuat sebagian orang kelelahan secara mental.
Awalnya, niat sederhana ingin mengubah pola hidup menjadi lebih sehat. Tapi, perlahan aturan makan yang ketat berubah menjadi tekanan batin. “Tidak boleh makan malam lewat jam tujuh”. “Kalau makan gorengan, semua usaha sia-sia”, atau “Hanya boleh makan nasi 3 sendok makan saja”. Seketika kita mulai merasa bersalah setiap kali menyentuh makanan yang “tidak sesuai rencana”. Padahal, tubuh manusia tidak bekerja sesederhana rumus kalori masuk dan keluar. Tubuh manusia juga mempunyai emosi, hormon, dan kebutuhan yang dinamis. Fenomena ini dikenal sebagai orthorexia nervosa yaitu obsesi berlebihan terhadap makanan sehat. Alih-alih menyehatkan, orang dengan kecenderungan ini justru mengalami stres, rasa cemas, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial karena “takut melanggar diet”. Yang lebih ironis, dalam usaha menjadi lebih sehat, mereka justru kehilangan ketenangan yang menjadi bagian dari well-being itu sendiri.
Kesehatan mental dan pola makan ternyata saling berkaitan erat. Nah, jika tubuh mendapatkan keseimbangan nutrisi itu dapat mempengaruhi suasana dan tingkat stres seseorang. Kekurangan zat seperti magnesium, vitamin B, dan asam lemak omega-3, misalnya, terbukti dapat memicu kelelahan dan gangguan kecemasan ringan. Namun, hubungan ini bersifat dua arah. Saat kita stress karena tekanan diet atau rasa bersalah setelah “cheat day”, tubuh memproduksi hormon kortisol berlebih. Kortisol inilah yang kemudian mengacaukan metabolisme, menurunkan energi, dan bahkan meningkatkan nafsu makan secara impulsif. Akhirnya, kita terjebak dalam lingkaran setan diet: diet ketat > stres > makan berlebih > rasa bersalah > diet lebih ketat lagi, dan begitu seterusnya.
Kesehatan bukan hanya tentang apa yang kita makan. Kesehatan juga tentang bagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Kita tidak apa-apa makan es krim sesekali, tidak apa-apa skip olahraga sekali, dan tidak apa-apa kalau kita menikmati makanan favorit tanpa bersalah. Kita tidak harus sempurna untuk bisa sehat. Kesehatan tubuh tanpa kesehatan mental hanya akan menyisakan kelelahan.obalah ubah tujuan diet dari “ingin kurus” menjadi “ingin kuat dan bahagia”. Ubah motivasi dari “takut gemuk” menjadi “ingin tubuhku terasa ringan dan energik”. Berhenti membandingkan diri dengan influencer yang punya waktu, uang, dan genetik berbeda. Tubuhmu unik, dan ia butuh perlakuan yang realistis, bukan hukuman atas kesalahan kecil. Mulailah dari hal sederhana: tidur cukup, minum air putih, bergerak dengan cara yang menyenangkan, dan makan dengan penuh kesadaran (mindful eating). Ingat, yang paling penting bukan berapa cepat kamu menurunkan berat badan, tapi seberapa lama kamu bisa merasa damai dengan tubuhmu sendiri.
Kesehatan mental dan fisik seharusnya berjalan berdampingan, bukan saling menekan. Tidak ada salahnya berusaha tampil bugar, tapi jangan sampai kebahagiaanmu ditentukan oleh angka timbangan atau jumlah kalori di aplikasi. Kadang, yang kita butuhkan bukan diet baru, tapi cara pandang baru terhadap tubuh dan diri sendiri. Jadi, makanlah dengan bijak, cintai tubuhmu apa adanya, dan izinkan dirimu untuk menjadi sehat tanpa harus sempurna.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
