Bisakah Kecerdasan Buatan Menggantikan Cara Berpikir Ilmiah Manusia?
Pendidikan dan Literasi | 2025-11-04 11:01:27
*Oleh: Lina Agustina
Mahasiswa S3 Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret
Kecerdasan buatan (AI) kini bukan lagi sekadar alat bantu. AI sudah mampu menulis, melukis, menganalisis data medis, bahkan menghasilkan teori ilmiah baru. Namun, di tengah kecerdasan yang terus berkembang itu, muncul pertanyaan yang menggugah: Apakah AI benar-benar bisa menggantikan kemampuan berpikir ilmiah manusia?
Teknologi machine learning memungkinkan AI belajar dari data, mengenali pola, dan mengambil keputusan tanpa campur tangan manusia. Di laboratorium modern, AI membantu ilmuwan menemukan obat baru, memprediksi perubahan iklim, hingga memahami struktur gen yang rumit. Apa yang dulu membutuhkan waktu bertahun-tahun, kini bisa diselesaikan dalam hitungan jam. Banyak yang percaya, AI akan menjadi “ilmuwan super” masa depan.
Namun, di balik semua kemampuan itu, ada satu hal yang belum bisa ditiru oleh mesin yaitu kesadaran akan makna.
Berpikir ilmiah bukan hanya tentang mengolah data dan mencari pola. Ia juga soal rasa ingin tahu, imajinasi, dan refleksi moral (hal-hal yang lahir dari kesadaran manusia). AI bisa menemukan korelasi antara dua hal, tetapi belum tentu memahami mengapa hal itu penting. AI bisa menghasilkan teori, tetapi tidak memiliki rasa kagum yang membuat manusia terus bertanya dan mencari.
Sejarah ilmu pengetahuan penuh dengan kisah kebetulan yang lahir dari imajinasi: Newton yang merenung ketika melihat apel jatuh, Einstein yang membayangkan dirinya menunggangi sinar cahaya. Kedua hal itu tak bisa dilakukan mesin, karena AI tidak “merasa ingin tahu”, tetapi ia hanya memproses data.
Daripada melihat AI sebagai ancaman, lebih bijak bila kita memandangnya sebagai mitra berpikir ilmiah. AI unggul dalam hal kecepatan dan ketepatan, sedangkan manusia unggul dalam kebijaksanaan, intuisi, dan empati. Ilmuwan dapat menggunakan AI untuk mempercepat penelitian, lalu menafsirkan maknanya dengan nalar dan nilai kemanusiaan. Dengan begitu, AI tidak menggantikan manusia, ia justru memperluas kemampuan manusia untuk memahami dunia.
Namun ada bahaya yang perlu diwaspadai yaitu ketergantungan intelektual. Jika manusia terlalu percaya pada hasil algoritma tanpa memahami prosesnya, kita bisa kehilangan kemampuan berpikir kritis. Setiap algoritma dibuat oleh manusia, dan membawa bias manusia juga. Jika data yang digunakan tidak beragam, kesimpulan yang dihasilkan pun bisa berat sebelah. Dalam sains, netralitas adalah nilai penting. Karena itu, kita harus tetap menjadi penafsir, bukan sekadar pengguna hasil.
Filsafat ilmu mengingatkan bahwa sains bukan hanya tentang fakta, tetapi juga tentang makna. AI mungkin mampu menghasilkan solusi, tetapi tidak tahu apakah solusi itu benar atau adil. AI bisa menciptakan teknologi baru, tapi hanya manusia yang bisa menimbang apakah teknologi itu seharusnya digunakan. Kecerdasan buatan tidak memiliki empati, nurani, atau tanggung jawab moral. Tanpa manusia yang menjaga nilai-nilai itu, ilmu pengetahuan bisa kehilangan arah dan menjadi mesin tanpa jiwa.
Jadi, apakah kecerdasan buatan bisa menggantikan cara berpikir ilmiah manusia? Jawabannya: tidak sepenuhnya. AI bisa meniru cara berpikir, tetapi tidak bisa menggantikan cara memahami. Mesin bisa menghitung, tetapi tidak bisa merenung. Ia bisa menghasilkan teori, tetapi tidak bisa bertanya “mengapa ini penting bagi kehidupan?”.
Selama sains masih menyentuh ranah nilai, makna, dan kemanusiaan, manusia akan tetap menjadi pusat dari pencarian kebenaran ilmiah. Karena pada akhirnya, kemajuan bukan diukur dari seberapa cerdas mesin berpikir, melainkan seberapa bijak manusia menggunakannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
