Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image mutiara putih

Nyawa yang Kian Murah di Tengah Budaya Bullying

Edukasi | 2025-11-03 03:41:34
Sumber : depositphotos.com

Setiap kali ada remaja kehilangan nyawa karena tekanan sosial, kita terperangah sejenak, lalu melupakannya pelan-pelan. Di tengah hiruk pikuk digital, harga sebuah nyawa seolah kian murah. Satu ejekan di media sosial bisa memicu depresi, satu video viral bisa meruntuhkan kepercayaan diri seseorang yang baru belajar memahami dirinya sendiri. Fenomena perundungan (bullying) bukan lagi sekadar masalah disiplin sekolah, melainkan cermin bahwa empati di masyarakat kita kian menipis.

Di ruang kelas, lorong sekolah, hingga grup pesan instan, kekerasan kini hadir dalam bentuk yang kian halus namun mematikan. Ejekan soal fisik, komentar soal status sosial, hingga pengucilan dari kelompok pertemanan adalah bentuk-bentuk kekerasan yang kerap disamarkan sebagai candaan. Padahal, di balik tawa itu, sering tersembunyi luka yang tak terlihat mata.

Data Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan bahwa 41 persen siswa Indonesia pernah mengalami perundungan. Angka ini menandakan bahwa hampir separuh pelajar di negeri ini tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman secara emosional. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat bahwa dari 2.355 laporan pelanggaran hak anak sepanjang 2024, 41 kasus merupakan korban kejahatan seksual dan cyberbullying. Sebagian besar terjadi di sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh dan belajar, bukan arena saling merendahkan.

Normalisasi Kekerasan, Krisis Empati

Masalah terbesar bukan hanya pada maraknya kasus, tetapi pada bagaimana masyarakat menanggapinya. Bullying kerap dipandang sebagai “bumbu pergaulan” atau “proses pendewasaan”. Istilah seperti cuma bercanda atau biar dia kuat menjadi pembenaran yang menormalisasi kekerasan psikologis. Ketika ejekan dianggap hiburan, batas antara candaan dan kekerasan pun mengabur.

Dalam budaya seperti ini, empati perlahan mati. Kita terbiasa menertawakan kelemahan orang lain, tanpa sadar bahwa di balik tawa itu ada seseorang yang mulai kehilangan makna hidupnya. Beberapa penelitian menunjukkan, korban bullying memiliki risiko tinggi mengalami depresi, gangguan kecemasan, dan pikiran untuk mengakhiri hidup. Di sinilah ironi terbesar kita bahwa nyawa yang seharusnya suci dan berharga, kini bisa hancur hanya oleh kata-kata.

Digitalisasi yang Menggandakan Luka

Perundungan hari ini tak lagi terbatas di pagar sekolah. Media sosial telah memperluas medan kekerasan hingga ke ruang pribadi. Satu komentar jahat bisa berubah menjadi seribu hujatan dalam hitungan jam. Korban kehilangan ruang aman untuk sembunyi, sebab dunia digital tak mengenal jeda.

UNICEF Indonesia (2021) mencatat bahwa satu dari tiga remaja di Indonesia pernah menjadi korban perundungan daring (cyberbullying). Dampaknya lebih kompleks daripada sekadar perundungan fisik karena sifatnya yang viral dan permanen. Unggahan yang menghina bisa terus beredar, bahkan ketika pelaku sudah lupa. Bagi korban, luka itu tinggal dan tumbuh bahkan kadang menjadi trauma yang tak sembuh seumur hidup.

Ironisnya, teknologi yang diciptakan untuk menghubungkan justru menambah jarak antar manusia. Kita menjadi cepat menilai, tapi lambat memahami. Kita begitu gesit mengetik kata “bodoh” atau “lebay” tanpa sempat memikirkan bahwa di balik layar itu, ada seseorang yang sedang berjuang untuk bertahan.

Sekolah dan Keluarga yang Terlalu Sibuk

Sekolah seharusnya menjadi tempat pertama yang peka terhadap sinyal perundungan. Namun kenyataannya, banyak institusi pendidikan lebih fokus pada capaian akademik ketimbang kesehatan mental siswanya. Guru kadang menganggap konflik antar siswa sebagai “urusan anak muda”, sedangkan pihak sekolah menanganinya sebatas permintaan maaf di depan kelas.

Di rumah, kondisi tak jauh berbeda. Banyak orang tua terlalu lelah bekerja, hingga tidak sempat membaca perubahan kecil pada anak. Senyum yang mulai jarang, percakapan yang makin singkat, atau enggan berangkat ke sekolah. Akibatnya, korban hidup di antara dua dunia yang sama-sama tak mendengarkan.

Ketika lingkungan terdekat gagal menjadi tempat berlindung, satu-satunya pelarian yang tersisa hanyalah keheningan dan dalam keheningan itu, banyak anak kehilangan dirinya.

Menumbuhkan Empati, Memulihkan Kemanusiaan

Melawan bullying bukan sekadar kampanye tahunan, tetapi proses panjang mengembalikan makna empati. Sekolah perlu menegakkan prinsip zero tolerance terhadap segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun nonverbal. Setiap guru dan siswa harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda perundungan serta tahu cara menanganinya dengan bijak.

Lebih jauh lagi, literasi komunikasi menjadi kunci. Di era digital, kemampuan menyampaikan dan menerima pesan dengan empatik sama pentingnya dengan kemampuan akademik. Melalui pendidikan literasi media, remaja dapat belajar berpikir kritis sebelum menulis, memahami konsekuensi sosial dari setiap kata, dan menumbuhkan tanggung jawab moral di ruang maya.

Sebagai generasi muda yang hidup di persimpangan teknologi dan sosial, kita punya pilihan menjadi bagian dari masalah atau bagian dari solusi. Melalui ruang-ruang dialog, platform edukasi, atau komunitas literasi dapat memperkuat literasi sosial dan komunikasi di kalangan remaja. Saya percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil.

Menolak Diam

Bullying hanya bisa tumbuh subur di tengah budaya diam. Diam ketika melihat teman dihina, diam ketika kekerasan dibungkus lelucon, diam ketika dunia maya berubah menjadi ladang caci maki. Padahal, setiap diam adalah bentuk persetujuan yang tak terucap.

Kita tidak perlu menunggu tragedi besar untuk peduli. Cukup dengan menegur, mendengarkan, atau sekadar hadir ketika seseorang disakiti adalah sudah bentuk perlawanan. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan korban bukan simpati setelah terlambat, melainkan solidaritas sejak awal. Di era ketika tawa bisa membunuh, mungkin keberanian terbesar manusia hari ini adalah menolak ikut menertawakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image