Kedaulatan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Iklim dan Ketergantungan Impor
Riset dan Teknologi | 2025-11-01 09:28:02Dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 20 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan bahwa masalah pangan adalah “hidup dan matinya bangsa Indonesia.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika politik, melainkan refleksi atas urgensi kedaulatan pangan sebagai fondasi kemerdekaan dan stabilitas nasional. Presiden juga mengapresiasi Menteri Pertanian atas capaian swasembada beras, jagung, dan bawang merah dalam satu tahun terakhir—sebuah pencapaian yang patut diapresiasi, namun perlu dikaji secara kritis dalam konteks ketahanan jangka panjang.
Menurut laporan resmi, target swasembada pangan yang semula dirancang untuk dicapai dalam empat tahun berhasil diwujudkan hanya dalam satu tahun. Produksi nasional Januari–Oktober 2025 mencapai 31,338,197 ton, tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia. Capaian ini menunjukkan bahwa sektor pangan telah menjadi prioritas utama pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan dukungan kebijakan seperti penyaluran beras SPHP, penyediaan benih unggul, dan penyerapan gula petani oleh BUMN pangan.
Reformasi Kebijakan
Keberhasilan ini juga tercermin dari indikator-indikator strategis lainnya. Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang tersimpan di gudang BULOG mencapai 4,2 juta ton per Juni 2025—angka tertinggi sepanjang sejarah. Di sisi kesejahteraan petani, Nilai Tukar Petani (NTP) melonjak ke angka 124,36, menandai titik tertinggi sejak Indonesia merdeka. Pemerintah juga menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen menjadi Rp6.500 per kilogram, sekaligus mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang mencoba memainkan harga di tingkat petani. Reformasi kebijakan pupuk pun dilakukan dengan menghapus 145 regulasi yang dinilai tidak efisien, sehingga distribusi pupuk kini langsung dari pabrik ke tangan petani tanpa hambatan birokrasi.
Presiden Prabowo menekankan bahwa capaian ini bukan hasil kebetulan, melainkan buah dari konsistensi kebijakan dan keberanian dalam mengambil langkah-langkah reformasi di sektor pangan. Reformasi tersebut tidak hanya mendorong kemandirian pangan, tetapi juga menjaga stabilitas harga dan meningkatkan kesejahteraan petani di tengah ketidakpastian global. Dengan sistem yang lebih efisien, produktif, dan berkeadilan, sektor pertanian kini menjadi fondasi utama ekonomi nasional. Indonesia membuktikan kemampuannya untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Namun, di balik angka-angka ini, Indonesia masih menghadapi paradoks sebagai negara agraris yang bergantung pada impor komoditas strategis seperti kedelai, gula, bawang putih, dan daging sapi. Ketergantungan ini menjadi titik lemah ketika negara eksportir seperti India dan Vietnam membatasi ekspor akibat krisis global.
Lebih jauh, ancaman perubahan iklim memperumit persoalan. Kompaspedia mencatat bahwa pergeseran musim tanam dan panen akibat anomali cuaca telah meningkatkan risiko gagal panen. Ketidaksesuaian antara kebutuhan tanaman dan kondisi iklim menyebabkan kerugian besar bagi petani. Di Demak, misalnya, banjir merendam ribuan hektare sawah, sementara di Nusa Tenggara, kekeringan berkepanjangan memaksa petani menunda tanam.
Ancaman Perubahan Suhu Global
Laporan dari FAO memperingatkan bahwa jika suhu global meningkat antara 2 hingga 4 derajat Celsius, hasil pertanian dunia bisa menurun hingga 30 persen. Dampak ini diperparah oleh ketidakpastian pola cuaca yang menyulitkan perencanaan tanam dan panen. Sementara itu, IRRI (International Rice Research Institute) mencatat bahwa kenaikan suhu rata-rata sebesar 1 derajat Celsius saja sudah cukup untuk menurunkan hasil panen padi hingga 10 persen. Temuan ini menjadi alarm bagi negara agraris seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada stabilitas iklim untuk menjaga keberlanjutan produksi pangan.
Peningkatan suhu juga mempercepat siklus hidup hama dan penyakit tanaman, sehingga meningkatkan intensitas serangan dan kerugian hasil panen. Petani di berbagai daerah melaporkan lonjakan serangan wereng dan ulat grayak yang sulit dikendalikan dengan metode konvensional. Selain kuantitas, kualitas hasil pertanian pun terdampak. Suhu tinggi dapat menurunkan kadar protein dalam biji-bijian, sementara curah hujan yang tidak menentu menyebabkan pembusukan pada tanaman hortikultura. Dampak ini mengancam ketersediaan pangan yang sehat dan layak konsumsi bagi masyarakat.
Menghadapi kompleksitas ini, strategi ketahanan pangan harus bersifat holistik dan berbasis bukti. Diversifikasi pangan lokal seperti singkong, sagu, dan umbi-umbian perlu digalakkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum. Intensifikasi pertanian melalui teknologi presisi, penggunaan bibit unggul, dan pupuk organik dapat meningkatkan produktivitas tanpa merusak ekosistem. Teknologi digital dan analitik data memungkinkan efisiensi penggunaan sumber daya sekaligus adaptasi terhadap perubahan iklim.
Penutup
Dalam konteks ini, peran akademisi dan peneliti menjadi sangat strategis. Dunia kampus dan lembaga riset harus bersinergi dengan pemerintah dan masyarakat melalui model quadruple helix innovation. Transfer teknologi kepada petani harus dilakukan secara partisipatif, menjembatani pengetahuan empiris dengan inovasi saintifik. Penelitian berkualitas akan menjadi fondasi kebijakan yang evidence-based, bukan sekadar intuisi atau kepentingan politis.
Momentum politik yang kuat harus diikuti dengan kebijakan konkret, alokasi anggaran memadai, dan koordinasi lintas kementerian yang solid. Kedaulatan pangan bukan sekadar statistik produksi, tetapi cerminan kemampuan bangsa untuk menghidupi dirinya sendiri dengan bermartabat. Indonesia memiliki modal dasar yang kuat: lahan subur, iklim tropis, sumber daya manusia yang besar, dan tradisi agraris yang panjang. Yang dibutuhkan adalah kemauan kolektif untuk mengubah ancaman menjadi peluang dan menjadikan pertanian sebagai pilar kejayaan nusantara.
(Doktor Biogeografi Universität des Saarlandes, Saarbrücken, Jerman; Dosen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indonesia; Dosen Tamu Environmental Science and Management, Thai Nguyen University of Agriculture and Forestry, Vietnam; Pemerhati Pertanian Berkelanjutan)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
