Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Sudewo Vs Sadewa: Perspektif Moral Leadership

Edukasi | 2025-11-01 02:20:56

 

Dalam panggung kepemimpinan publik Indonesia, dua nama ini mencuri perhatian: Sudewo, Bupati Pati, dan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan. Keduanya hadir dengan karakter yang kontras namun sama-sama kuat. Di satu sisi, Sudewo berhadapan dengan gejolak rakyat akibat kebijakan kenaikan pajak daerah. Di sisi lain, Sadewa tampil sebagai teknokrat berani dengan gaya “koboi” dalam menata Kementerian Keuangan. Dua gaya berbeda, dua ujian yang sama: sejauh mana seorang pemimpin mampu menjaga moral leadership di tengah dinamika kekuasaan dan tekanan publik.

Sudewo dan Dilema Keadilan Sosial

Sudewo dikenal sebagai sosok berani mengambil langkah besar. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 % di Kabupaten Pati menjadi contoh nyata keberaniannya dalam mencari sumber pembiayaan pembangunan. Namun, kebijakan tersebut memicu protes keras dari masyarakat dan menimbulkan pertanyaan moral: apakah keputusan itu sudah berpihak pada keadilan rakyat kecil?

Dalam filosofi Jawa, nama Sudewo (atau “Sutewa”) mengandung unsur kata “su” (baik) dan “dewo” (dewa) — secara harfiah berarti “sifat ketuhanan yang baik”. Dalam lakon pewayangan, Sudewo merupakan nama lain dari Nakula, salah satu Pandawa yang dikenal gagah, disiplin, dan berprinsip, namun kadang keras dalam pendirian. Nilai itu tampak tercermin pada sosok Bupati Pati: tegas dan penuh keyakinan, tetapi terkadang kurang lentur dalam memahami psikologi rakyat.

Dari sudut moral leadership, Sudewo menunjukkan niat luhur untuk membangun daerah, tetapi menghadapi kelemahan dalam kepekaan sosial dan komunikasi moral. Keberanian menaikkan pajak tanpa penjelasan yang transparan justru memunculkan resistensi. Dalam moral Jawa, kepemimpinan bukan sekadar “memerintah rakyat” melainkan “ngemong rakyat”—mengasuh, mendengar, dan menuntun dengan welas asih. Ketika kebijakan publik kehilangan sentuhan welas asih, ia kehilangan ruh moralnya.

Sadewa dan Etika Ketegasan

Di tingkat nasional, Purbaya Yudhi Sadewa menampilkan gaya berbeda: lugas, terbuka, dan tanpa basa-basi. Publik menjulukinya sebagai “menteri koboi”, karena gaya komunikasinya yang ceplas-ceplos dan keberaniannya menegur internal birokrasi pajak dan bea cukai. Namun di balik ketegasan itu, tersimpan akar filosofi yang dalam.

Dalam epos Mahabharata, Sadewa adalah bungsu dari Pandawa Lima — saudara kembar Nakula. Ia dikenal sebagai simbol kesucian hati, ketenangan, dan kebijaksanaan moral. Sadewa digambarkan sebagai sosok yang tenang, berpikir jernih, dan memiliki pengetahuan spiritual tinggi. Ia jarang berbicara keras, tetapi kata-katanya membawa kebenaran.

Menariknya, dalam konteks kekinian, Sadewa versi modern ini justru tampil dengan ketegasan yang keras—berbeda dari watak lembut tokoh wayang. Namun esensinya tetap sama: keberanian menegakkan kebenaran di tengah kekacauan moral birokrasi. Ia menolak kompromi terhadap korupsi dan mengedepankan integritas sebagai moral utama dalam tata kelola keuangan negara.

Moral leadership Sadewa terletak pada kejujuran, disiplin, dan komitmen etis. Ia menegaskan bahwa tugas negara tidak bisa dijalankan dengan basa-basi, tetapi dengan keberanian moral untuk membersihkan sistem dari dalam. Walau keras di luar, ada kesadaran moral di dalam: keadilan harus ditegakkan agar kepercayaan publik tumbuh kembali.

Dua Nama, Dua Cermin Kepemimpinan

Jika kita kembali pada akar budaya Jawa, Sudewo dan Sadewa adalah dua sisi dari Pandawa yang sama—kembar yang melengkapi. Sudewo (Nakula) melambangkan kekuatan lahir, ketegasan dan keberanian mengambil risiko; sementara Sadewa melambangkan kebeningan batin, kebijaksanaan dan integritas moral.

Dua figur ini dalam konteks Indonesia hari ini merepresentasikan ketegangan abadi antara keputusan dan kebijaksanaan, antara logika fiskal dan etika sosial, antara keberanian dan empati.

Moral leadership sejati tidak berhenti pada niat atau gaya, melainkan pada harmoni antara akal, nurani, dan tindakan nyata. Pemimpin yang hanya berani tanpa empati akan kehilangan hati rakyat. Sebaliknya, pemimpin yang hanya lembut tanpa ketegasan akan kehilangan arah dan wibawa.

Dalam budaya kepemimpinan Nusantara, pemimpin ideal adalah yang mampu “ngemong lan ngemot”—mengasuh dan menampung. Ia tidak hanya memerintah, tetapi menuntun dengan rasa tanggung jawab moral yang berakar pada nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Penutup

Sudewo dan Sadewa mengajarkan pelajaran penting bagi bangsa ini: bahwa kepemimpinan moral bukan soal keras atau lembut, tetapi tentang kejujuran dalam niat dan kebijaksanaan dalam tindakan. Keberanian tanpa welas asih menjadi keangkuhan, sementara kelembutan tanpa ketegasan menjadi kelemahan.

Dalam masa di mana kepercayaan publik mudah goyah, Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang memadukan dua kutub ini—ketegasan Nakula dan kebijaksanaan Sadewa—sebagai fondasi moral leadership sejati. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling berjiwa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image