Hari Santri: Momen Aktivasi Santri sebagai Agen Perubahan
Kolom | 2025-10-29 00:51:50
Setiap tanggal 22 Oktober, negeri ini merayakan Hari Santri dengan gegap gempita. Dari upacara bendera, kirab budaya, lomba baca kitab, hingga festival sinema, semua digelar dengan semangat memperingati perjuangan kaum santri. Tahun ini, tema yang diusung adalah “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Presiden Prabowo Subianto bahkan menegaskan bahwa santri adalah penjaga moral dan pelopor kemajuan, seraya mengingatkan kembali tentang Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy‘ari pada 22 Oktober 1945.
Namun, di balik gemerlap perayaan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah hakikat Hari Santri benar-benar dipahami dan dihidupkan sebagaimana mestinya? Ataukah sekadar menjadi ajang seremonial tahunan tanpa makna jihad intelektual dan spiritual yang seharusnya melekat pada sosok santri?
Seremonial yang Menyilaukan, Substansi yang Tersisih
Realitasnya, peringatan Hari Santri lebih banyak diisi kegiatan seremonial yang dangkal makna. Upacara dan festival seakan menjadi tolok ukur keberhasilan memperingati peran santri. Padahal, hakikat santri bukan sekadar simbol budaya atau pelaku tradisi, melainkan penjaga kemurnian agama (fakih fiddin) dan agen perubahan menuju tegaknya syariat Islam di tengah masyarakat.
Dalam sejarahnya, para santri adalah ujung tombak perjuangan melawan penjajahan. Santri berjuang bukan hanya dengan bambu runcing, tetapi dengan pemikiran, keberanian, dan keikhlasan menegakkan kalimatullah. Mereka memahami bahwa jihad adalah kewajiban yang tidak hanya terbatas pada medan perang. Ada jihad juga dalam medan dakwah dan perjuangan politik melawan sistem kufur yang menindas umat.
Ironisnya, semangat jihad yang dahulu membakar dada para santri kini diredam oleh narasi “santri moderat” dan “santri toleran”. Santri diarahkan untuk menjadi agen moderasi beragama dan agen pemberdayaan ekonomi. Padahal seharusnya, santri menjadi agen perubahan yang menegakkan Islam secara kaffah. Namun, moderasi beragama kerap menjadi alat untuk melemahkan ghirah perjuangan Islam dan mengebiri potensi dakwah yang sejati.
Jihad Dilenyapkan, Santri yang Dimanfaatkan
Pujian terhadap peran santri di masa lalu seakan menjadi balsem retorika untuk menutupi kenyataan pahit masa kini. Hari ini, pemerintah sebatas mengakui peran santri dalam dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, berbagai kebijakan dan programnya justru menjauhkan pesantren dari peran aslinya.
Santri kini diarahkan agar menjadi aktor ekonomi mikro, kreator digital, atau influencer sosial. Santri tidak lagi menempati perannya sebagai mujahid intelektual yang memahami bahaya penjajahan gaya baru baik penjajahan bidang ekonomi, politik, dan budaya yang dibalut sistem sekuler kapitalisme.
Hingga hari ini penjajahan belum berakhir. Negeri-negeri Muslim masih dikuasai oleh kekuatan global yang menjarah sumber daya dan memaksakan sistem rusak. Sayangnya, santri yang seharusnya menjadi benteng ideologis umat justru dibajak untuk memperhalus wajah sistem itu, bukan untuk menumbangkannya.
Mengembalikan Peran Strategis Santri dan Pesantren
Sudah saatnya Hari Santri menjadi penanda kebangkitan peran sejati santri. Santri harus kembali memahami jati dirinya sebagai sosok yang fakih fiddin sekaligus memahami realitas umat. Para santri juga mampu memberikan solusi syar’i atas persoalan dunia modern.
Idealnya, santri harus menjadi agen perubahan ideologis. Mereka tidak cukup menjadi sekadar agen sosial. Ia harus memiliki pandangan dunia Islam yang utuh, berani menolak sekularisme, kapitalisme, dan liberalisme yang merusak umat. Dengan ilmu dan ketakwaannya, santri sejati akan menjadi penjaga akidah dan syariat, pembimbing umat, serta pejuang yang menegakkan keadilan Islam.
Peran strategis ini tidak mungkin berjalan tanpa dukungan sistem. Negara semestinya menjadi penanggung jawab utama dalam menjaga eksistensi pesantren dengan visi yang benar, yakni mencetak generasi santri yang berdiri di garda terdepan melawan kezaliman, penjajahan, dan kemungkaran. Negara tidak boleh memperalat pesantren demi agenda politik pragmatis atau program ekonomi kapitalistik. Sebaliknya, negara wajib mengembalikan fungsi pesantren sebagai pusat peradaban Islam.
Penutup
Hari Santri seharusnya menjadi momentum menghidupkan kembali ruh jihad dalam makna yang sebenarnya. Bukan jihad versi sekuler yang dikerdilkan menjadi semangat kerja, tapi jihad yang hakiki, yaitu perjuangan menegakkan agama Allah dalam seluruh aspek kehidupan.
Sejarah membuktikan, ketika santri memahami makna jihad yang benar, mereka mampu mengguncang dunia. Kini, tugas besar itu menanti generasi santri masa kini, yakni mengawal Indonesia bukan hanya agar merdeka secara politik, tetapi juga merdeka dari hegemoni sistem kufur global.
Dari pesantrenlah cahaya Islam pernah memancar, dan dari pesantren pula peradaban Islam sejati harus kembali bersinar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
