Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ratu Maisya

Reaksi Emosional Saat Menonton Film

Pendidikan dan Literasi | 2025-10-25 14:50:49

Pernahkah Anda merasa jantung berdebar saat adegan horor muncul, atau menitikkan air mata saat tokoh utama kehilangan orang yang dicintainya? Reaksi-reaksi ini bukan sekadar perasaan sesaat. Di balik layar, tubuh kita sedang bekerja keras memproses rangsangan emosional yang kompleks. Sebuah esai karya Ratu Maisya Anastalia mengungkap sisi tersembunyi dari pengalaman menonton film melalui pendekatan biopsikologi —ilmu yang menjembatani psikologi dan biologi dalam memahami perilaku manusi

Dalam esai berjudul “Reaksi Emosional Saat Menonton Film dalam Perspektif Biopsikologi”, menjelaskan bahwa film bukan hanya hiburan visual, tetapi juga stimulus biologis yang mampu mengaktifkan berbagai bagian otak. Ketika kita menonton film, sistem limbik, terutama amigdala, berperan sebagai pusat pengolahan emosi. Amigdala mendeteksi rangsangan emosional seperti ketakutan atau kesedihan, dan memicu respons fisiologis seperti peningkatan detak jantung dan pelepasan hormon stres. Ini menjelaskan mengapa kita bisa merasa takut atau sedih, meskipun tahu bahwa cerita di layar hanyalah fiksi.

Lebih dari itu, korteks prefrontal membantu kita menafsirkan motivasi karakter dan memahami konteks sosial dalam cerita. Proses ini memperkuat empati, yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Di sinilah neuron cermin berperan—sel otak yang memungkinkan kita “meniru” emosi karakter secara tidak sadar. Kita tertawa saat tokoh bahagia, dan ikut hancur saat mereka terluka.

Menyoroti peran neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin dalam membentuk suasana hati penonton. Dopamin memberikan rasa senang dan antisipasi saat adegan menegangkan muncul. Serotonin menjaga keseimbangan emosi, sementara oksitosin memperkuat ikatan emosional antara penonton dan karakter. Kombinasi ini menciptakan pengalaman sinematik yang bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga berdampak pada sistem saraf kita.

Menariknya, bidang studi baru bernama neurocinematics telah membuktikan bahwa aktivitas otak penonton bisa tersinkronisasi saat mereka menonton film yang sama. Teknologi seperti fMRI (functional magnetic resonance imaging) digunakan untuk memantau bagaimana bagian-bagian otak aktif selama menonton. Hasilnya menunjukkan bahwa film mampu menciptakan realitas emosional kolektif yang dibangun secara biologis dan psikologis.

Juga menyoroti bagaimana elemen sinematik seperti pencahayaan, musik latar, dan gestur aktor dapat memanipulasi emosi penonton. Misalnya, pencahayaan redup dan suara mencekam dalam adegan horor secara langsung meningkatkan rasa takut secara biologis. Teknik sinematik ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga strategi ilmiah untuk mengarahkan emosi penonton.

Dengan pemahaman ini, film memiliki potensi besar sebagai media terapi emosional. Pendekatan cinematherapy memanfaatkan film untuk membantu individu mengelola perasaan, memperkuat empati, dan merefleksikan pengalaman pribadi. Studi menunjukkan bahwa terapi film dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis secara aman dan terstruktur.

Esai ini menjadi bukti bahwa film bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga alat ilmiah yang mampu menjembatani dunia psikologi, neurologi, dan seni. Dengan pendekatan biopsikologi, kita bisa memahami lebih dalam bagaimana manusia merespons cerita, membentuk empati, dan mengalami emosi secara nyata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image