Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Istiqomah Yasmin Arini

Kecanduan Smartphone: Tinjauan Biopsikologis Terhadap Dampak dan Solusinya

Eduaksi | 2025-10-24 13:10:01
Ilustrasi seseorang sibuk dengan smartphone masing-masing

Di era digital yang kita jalani kini telepon pintar telah seperti teman setia yang tidak pernah lepas dari genggaman, terutama bagi mahasiswa di kampus. Saya sering kali memperhatikan bagaimana mereka asyik menatap layar ponsel saat sedang mengikuti kuliah, waktu jeda istirahat, atau bahkan sedang ngobrol bersama sahabat atau teman. Jika kebiasaan ini berlebihan, tentu saja bukan hanya merusak penekanan serta menurunkan semangat belajar, tapi juga bisa berdampak buruk pada kesehatan tubuh serta pikiran. Dengan melihat dari sudut biopsikologi yang menggabungkan hal-hal biologis mirip reaksi kimia di otak dan aspek psikologis seperti sikap serta perasaan kita bisa lebih dalam memahami masalah ini. Essai ini akan membahas bagaimana kecanduan ponsel bekerja berasal segi biologis, dampaknya terhadap kesehatan mental, peran lingkungan kurang lebih, serta langkah-langkah sederhana untuk mengatasinya. Ini sangat penting agar mahasiswa bisa memanfaatkan teknologi dengan cara yang lebih sehat dan seimbang.

Proses Biologis di Balik Kecanduan Smartphone

Dari sisi biologis, penggunaan smartphone yang berlebihan memicu serangkaian reaksi yang di otak, khususnya melalui sistem yang dihargai yang membuat kita merasa puas. Contohnya, setiap kali terdapat notifikasi, kita buka media sosial, atau permainan, otak melepaskan dopamin sebuah zat kimia yang membuat kita merasa suka dan penuh semangat. Dopamin ini seperti penghibur alami yang mendorong kita untuk terus melakukan aktivitas berulang itu, hampir seperti dengan bagaimana seseorang ketergantungan pada rokok atau obat-obatan mirip kokain. Penelitian menggunakan Pemindaian PET asal Volkow dan timnya (2011) membagikan bahwa paparan terhadap konten digital mampu mengganti bentuk otak, seperti mengurangi volume sel-sel pada korteks prefrontal yang bertugas mengendalikan impuls dan keputusan. Hasilnya, orang menjadi kesulitan menahan diri untuk terus-menerus ngecek ponsel, bahkan di waktu yang seharusnya tidak.

Selain dopamin, hormon lain seperti kortisol serta serotonin juga ikut campur. Cahaya biru berasa layar ponsel, terutama bila digunakan malam hari, mampu mengacaukan produksi melatonin yang mengatur jam tidur kita. Ini mempengaruhi bagian otak seperti hipotalamus dan kelenjar pineal, sehingga kadar kortisol (hormon stres) naik dan serotonin (yang menjaga suasana hati) turun. Berdasarkan National Sleep Foundation (2020), kurang lebih 70% remaja serta pemuda mengalami masalah tidur karena gadget sebelum tidur, yang akhirnya membuat prestasi serta kesehatan mental mereka terganggu. Dari segi fisik, duduk lama sambil memegang ponsel mampu menyebabkan ketegangan pada leher serta punggung, yang sering disebut text neck syndrome serta iritasi saraf di sekitar area itu. Mata yang terus-menerus menatap layar pun rentan lelah dan sakit kepala, yang secara tidak langsung membuat sulit untuk konsentrasi waktu belajar.

Dampak psikologis dan lingkungan sekitar

Secara psikologis, kebiasaan ini sering berakar dari keinginan dasar manusia untuk merasa terhubung dan dihargai, seperti yang digambarkan dalam teori Bowlby. Media sosial memberikan rasa hangat melalui like, komentar, dan membagikan yang memenuhi kebutuhan itu. Akan tetapi kalau terlewat, bisa jadi lingkaran setan mirip FOMO (ketakutan ketinggalan), yang membuat seorang cemas atau depresi jika ekspektasi sosialnya tidak penuh. Di kampus, tekanan dari tugas kuliah serta hubungan sosial malah menguntungkan situasi. Mahasiswa mungkin menggunakan ponsel untuk mencari materi pelajaran atau chat, akan tetapi batas antara yang bermanfaat dan yang berlebihan sering kabur. Survei dari American Psychological Association (2019) menemukan bahwa 59% siswa merasa nilai mereka turun sebab gangguan berasal dari perangkat digital. Secara neurologi, bagian otak seperti amigdala yang mengatur emosi jadi lebih aktif, sementara korteks prefrontal yang membantu penekanan dan pengendalian diri melemahkan. Duange (2017) juga melaporkan bahwa multitasking menggunakan ponsel saat kuliah bisa menurunkan daya ingat hingga 40%.

Faktor luar, seperti budaya “selalu online” yang didorong oleh iklan dan desain perangkat mirip scroll tanpa akhir di Instagram, semakin memperkuat kecanduan ini. Akan tetapi, jika ada dukungan sosial yaang positif misalnya belajar bareng tanpa gadget bisa meningkatkan hormon oksitosin yang memperkuat hubungan sesungguhnya serta mengurangi akibat buruknya.

Langkah-Langkah Penanggulangan dari sudut Biopsikologi

Pendekatan biopsikologi mengajak kita mencari solusi yang menyentuh kedua aspek, biologi serta psikologis. Secara biologis, olahraga sederhana seperti jalan kaki mampu mempertinggi produksi BDNF (faktor pertumbuhan saraf asal otak), yang membantu otak beradaptasi dan mengurangi ketergantungan pada dopamin dari ponsel. Penelitian dari Harvard Medical School (2022) menunjukkan bahwa jalan kaki 30 menit sehari mampu menstabilkan kadar kortisol dan memperbaiki kualitas tidur.

Dari sisi psikologis, terapi perilaku kognitif (CBT) terbukti digdaya untuk membarui pola pikir tentang penggunaan ponsel. Aplikasi mirip Forest atau pengatur waktu layar bisa membantu menciptakan kebiasaan baru dengan menggunakan membatasi akses, sehingga korteks prefrontal kita balik bertenaga. Di kampus, acara seperti “Minggu Detoks Digital” yang mengajak mahasiswa melakukan kegiatan luring mirip ngobrol secara langsung atau olahraga bareng mampu memicu pelepasan endorfin suasana hati alami yang membuat lebih baik.

Selain itu, edukasi wacana bagaimana aplikasi yang dirancang untuk ketagihan, bisa meningkatkan kesadaran kita. Kombinasi dari strategi ini tidak hanya mengurangi tanda-tanda kecanduan, tapi juga menmencegah masalah kesehatan mental yang lebih fokus dimasa depan.

Kesimpulannya, kecanduan ponsel yang berlebihan ialah akibat dari hasil proses biologis mirip pelepasan dopamin serta gangguan tidur menggunakan faktor psikologis mirip kebutuhan akan pengakuan serta emosi yang kancu. Ini tidak hanya bikin produktivitas turun, tapi juga mengancam kesehatan fisik serta mental kita. Dengan memahami biopsikologi, kita mampu terapkan solusi keseluruhan seperti olahraga, terapi, dan lingkungan sosial yang mendukung. Keseimbangan antara teknologi serta kehidupan sehari-hari ialah kunci agar kita mampu menikmati kemajuan digital tanpa kehilangan kesehatan jiwa dan raga. Mahasiswa dan masyarakat perlu segera bertindak agar kecanduan ini tidak berkembang jadi perkara besar nanti.

Referensi

America Psychological Association. (2019). Stres di Amerika: Generasi Z. https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2019/stress-gen-z.pdf

Harvard Medical School. (2022). Olahraga dan otak: Bagaimana aktivitas fisik meningkatkan kesehatan mental . Harvard Health Publishing. https://www.health.harvard.edu/mind-and-mood/exercise-and-the-brain

National Sleep Foundation. (2020). Tidur dan penggunaan teknologi . https://www.sleepfoundation.org/technology-and-sleep

Twenge, JM (2017). iGen: Mengapa anak-anak masa kini yang super terhubung tumbuh dengan sikap yang kurang memberontak, lebih toleran, kurang bahagia—dan sama sekali tidak siap menghadapi masa dewasa . Atria Books.

Volkow, ND, Wang, GJ, Tomasi, D., & Baler, RD (2011). Kecanduan: Melampaui Sirkuit Imbalan Dopamin. Prosiding National Academy of Sciences , 108(37), 15037–15042. https://doi.org/10.1010654108

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image