Panas Ekstrem dan Rendahnya Kesiapsiagaan di Jawa Timur
Lainnnya | 2025-10-23 21:10:47Dalam beberapa minggu terakhir, udara di Jawa Timur terasa berbeda. Langit begitu cerah, hampir tanpa awan. Namun, di bawah terik matahari, suhu udara seolah membakar kulit. Di Surabaya, suhu siang hari mencapai 37 derajat Celcius, sedangkan di Mojokerto dan Sidoarjo tidak jauh berbeda. Bagi beberapa orang, hal ini mungkin dianggap normal selama musim kemarau. Namun, menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), panas ekstrem yang melanda Jawa Timur bukanlah cuaca musiman semata, melainkan fenomena yang perlu diwaspadai.
BMKG menjelaskan bahwa peningkatan suhu ini disebabkan oleh posisi semu matahari yang berada di sekitar lintang selatan, sehingga radiasi matahari lebih kuat di Indonesia bagian tengah dan selatan. Selain itu, monsun timuran yang membawa angin kering dari Australia masih dominan, menyebabkan udara menjadi panas dan kering. Akibatnya, awan sulit terbentuk, dan sinar matahari menembus permukaan bumi tanpa halangan. Fenomena ini menyebabkan suhu udara melonjak drastis.
Sekilas, cuaca cerah terlihat menenangkan. Namun, di baliknya tersembunyi ancaman yang tidak bisa diabaikan. Suhu tinggi yang berkepanjangan menimbulkan ancaman besar bagi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekonomi. Gelombang panas tahun ini menunjukkan bahwa perubahan iklim global kini benar-benar memengaruhi cuaca lokal. Apa yang sebelumnya dikenal sebagai “musim kemarau panjang” kini berubah menjadi kondisi ekstrem yang mengancam berbagai aspek kehidupan.
Bagi masyarakat perkotaan, panas terik membuat aktivitas sehari-hari terasa lebih sulit. Di Surabaya, penggunaan listrik meningkat akibat lonjakan penggunaan air conditioner. Beban meningkat, sementara udara kota menjadi lebih panas karena berkurangnya ruang hijau dan melimpahnya permukaan beton yang menyimpan panas. Di malam hari, panas tidak reda karena permukaan kota melepaskan energi yang tersimpan selama siang hari.
Di daerah pedesaan, dampak gelombang panas dirasakan dengan cara lain. Petani menghadapi kekeringan karena air irigasi menguap dengan cepat. Tanaman layu, hasil panen menurun, dan beberapa bahkan gagal. Di daerah seperti Lamongan, Bojonegoro, dan Tuban, keluhan tentang tanah retak dan sumur kering mulai terdengar. Situasi ini bahkan lebih sulit bagi mereka yang bergantung pada pertanian untuk mata pencaharian. Panas ekstrem tidak hanya menyebabkan kelelahan fisik, tetapi juga mengganggu ekonomi keluarga kecil di daerah pedesaan.
Dari sudut pandang kesehatan, ancaman gelombang panas tidak bisa dianggap remeh. Kelelahan panas, dehidrasi, dan bahkan heat stroke dapat terjadi jika tubuh terpapar suhu tinggi dalam waktu lama. Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan pekerja luar ruangan berada pada risiko terbesar. Sayangnya, banyak orang yang belum menyadari bahaya ini. Banyak orang masih melakukan aktivitas di luar ruangan tanpa perlindungan yang memadai, sementara informasi tentang cara mengatasi panas ekstrem belum disebarluaskan dengan baik. Pemerintah daerah seharusnya dapat mengambil langkah sederhana seperti mengeluarkan peringatan dini, mendistribusikan pandun keselamatan, atau menyediakan ruang publik yang berpendingin udara bagi warga.
Sayangnya, kesiapsiagaan menghadapi cuaca panas di tingkat regional masih sangat minim. Hingga saat ini, belum ada mekanisme “peringatan panas ekstrem” seperti di beberapa negara yang telah rutin menerapkannya. Ketika suhu mencapai tingkat berbahaya, pemerintah negara-negara tersebut akan mengeluarkan peringatan dan menyiapkan langkah mitigasi untuk melindungi warga. Di Jawa Timur, peringatan seperti itu hampir tidak pernah terdengar. Cuaca panas dianggap sebagai bagian normal dari musim kemarau, meskipun perubahan pola cuaca akibat pemanasan global jelas memperburuk kondisi tersebut.
Absennya kebijakan untuk beradaptasi dengan suhu ekstrem menunjukkan bahwa isu perubahan iklim belum menjadi prioritas nyata di tingkat lokal. Dalam banyak kebijakan pembangunan regional, perhatian terhadap aspek iklim dan lingkungan masih terbatas pada retorika. Padahal, dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah daerah perlu mulai menempatkan perubahan iklim sebagai faktor utama dalam perencanaan pembangunan, dari perencanaan perkotaan, sistem energi, pertanian, hingga kesehatan masyarakat.
Namun, tanggung jawab ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Masyarakat juga perlu mengembangkan kesadaran baru untuk hidup lebih adaptif dan ramah lingkungan. Langkah sederhana seperti menanam pohon di rumah, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, tidak membakar sampah, dan menghemat energi dapat membantu menurunkan suhu mikroclimate disetiap lingkungan. Sekolah, tempat kerja, dan komunitas juga dapat menjadi ruang edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya panas ekstrem dan cara menghadapinya.
Gelombang panas 2025 harusnya menjadi titik balik bagi Jawa Timur. Masyarakat tidak bisa lagi menunggu gelombang panas berikutnya datang dan mengeluh tanpa mencari solusi. Suhu 37 derajat celcius bukan sekadar angka di layar BMKG, melainkan alarm bahwa bumi sedang kehilangan keseimbangannya. Jika kita tidak beradaptasi segera, gelombang panas bisa menjadi ancaman tahunan yang terus menekan ketahanan manusia dan lingkungan.
Sekaranglah saatnya bagi Jawa Timur untuk bersiap menghadapi realitas baru: musim kemarau yang lebih panjang, suhu yang lebih tinggi, dan cuaca yang semakin tidak dapat diprediksi. Langit cerah yang dulu dianggap sebagai pertanda baik kini telah menjadi simbol peringatan. Manusia harus belajar membaca tanda-tanda alam ini sebagai panggilan untuk berubah, bukan sekadar keluhan tentang panas yang membakar kulit, melainkan panggilan untuk menjaga keseimbangan bumi agar tetap layak huni bagi generasi mendatang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
