Ketika Data Kita Dijual: Ancaman Kedaulatan Digital Indonesia di Bawah Bayangan Amerika
Teknologi | 2025-10-22 13:20:18
Setiap kali kita membuka Instagram, menonton YouTube, atau sekadar mengecek WhatsApp, kita sedang meninggalkan jejak digital. Jejak itu bukan cuma data anonim itu potongan kecil dari siapa kita, apa yang kita pikirkan, dan bahkan bagaimana kita bereaksi terhadap isu sosial dan politik. Dan yang lebih menakutkan, potongan-potongan itu tidak tinggal di Indonesia. Sebagian besar data masyarakat kita kini berada di bawah kendali perusahaan Amerika Serikat.
Menurut laporan Digital 2024: Indonesia oleh DataReportal, terdapat 185,3 juta pengguna internet di Indonesia, atau sekitar 66,5% dari total populasi. Sebagian besar aktivitas digital itu dilakukan melalui platform asing seperti Google, Meta, dan Apple. Dengan kata lain, data kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia setiap hari “terbang” ke luar negeri menuju server dan perusahaan yang tunduk pada hukum Amerika Serikat.
Sekilas, ini tampak seperti bagian dari globalisasi digital. Tapi dalam kacamata Hubungan Internasional, fenomena ini menunjukkan bentuk baru dari ketergantungan strategis. Robert Keohane dan Joseph Nye pernah menyebut hubungan seperti ini sebagai complex interdependence: ketika negara-negara saling terhubung melalui jaringan ekonomi dan teknologi, namun koneksi itu juga menciptakan kerentanan. Dan di dunia digital saat ini, kerentanan itu berbentuk data dependency ketergantungan atas infrastruktur dan regulasi teknologi asing.
Ketika data warga Indonesia disimpan oleh perusahaan Amerika, sesungguhnya kita sedang memberikan akses terhadap sesuatu yang lebih berharga daripada sumber daya alam: informasi kolektif bangsa. Di tangan Amerika Serikat, data tersebut dapat menjadi alat analisis sosial, ekonomi, bahkan politik. Dengan kecanggihan artificial intelligence dan big data analytics, mereka bisa memprediksi arah kebijakan publik, memantau sentimen politik, atau bahkan mengintervensi wacana sosial melalui algoritma media sosial.
Lebih dari itu, Amerika memiliki CLOUD Act (2018) undang-undang yang mewajibkan perusahaan teknologi asal AS menyerahkan data pengguna mereka kepada pemerintah, meskipun data itu disimpan di luar negeri. Secara teoritis, ini berarti pemerintah AS memiliki dasar hukum untuk mengakses data masyarakat Indonesia yang tersimpan di server milik Google, Meta, atau Microsoft. Dengan kata lain, kedaulatan digital Indonesia menjadi ilusi di hadapan hukum global Amerika.
Fenomena ini bisa disebut sebagai bentuk kolonialisme digital, yaitu ketika kekuasaan negara lain tidak diwujudkan melalui pendudukan wilayah, tetapi melalui penguasaan infrastruktur dan informasi. Dalam kerangka keamanan non-tradisional, ancaman terhadap negara tidak lagi datang dari serangan militer, melainkan dari dominasi data, siber, dan algoritma. Negara yang menguasai data, menguasai narasi; dan negara yang menguasai narasi, menguasai arah dunia.
Indonesia memang telah mencoba memperkuat posisinya melalui pembangunan Pusat Data Nasional (PDN) dan pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Namun, dua langkah itu masih bersifat domestik. Tantangan terbesar justru datang dari luar dari ekosistem digital global yang masih dikuasai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Selama penyimpanan data kita masih bergantung pada layanan cloud asing, kedaulatan digital kita belum benar-benar pulih.
Sebagai perbandingan, Uni Eropa sudah jauh lebih tegas melalui kebijakan General Data Protection Regulation (GDPR) yang menuntut perusahaan global mematuhi hukum privasi Eropa jika ingin beroperasi di wilayahnya. Indonesia perlu belajar dari langkah itu: bahwa kedaulatan di era digital harus dibangun bukan hanya dengan regulasi, tapi juga dengan keberanian politik untuk melawan dominasi teknologi global.
Mungkin sebagian orang menganggap ini sekadar isu teknis. Tapi bagi mahasiswa Hubungan Internasional, ini adalah soal sovereignty kedaulatan sebagai inti eksistensi negara. Saat negara lain dapat mengakses perilaku, preferensi, dan komunikasi masyarakat kita, maka batas kedaulatan itu sudah mulai kabur. Dalam konteks ini, menjual data masyarakat, atau bahkan membiarkan data mereka dikelola asing, bukan sekadar kebijakan ekonomi digital; itu adalah kebijakan politik luar negeri yang menentukan posisi Indonesia di tatanan dunia digital.
Kita hidup di masa di mana perang tidak lagi dimulai dengan peluru, tapi dengan paket data. Mungkin sekarang Amerika belum menekan tombol itu. Tapi selama mereka memegang kunci semua pintu digital Indonesia, pertanyaannya bukan lagi apakah mereka bisa mengetahuinya, melainkan kapan mereka akan menggunakannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
