Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nurohtus Suhartini Ilmi

Ujian Kredibilitas Fiskal Era Purbaya: Menenangkan Kekhawatiran Publik atas Bayang-Bayang Kenaikan PPN 12

Politik | 2025-10-22 13:04:57

Di tengah sorotan tajam atas pergantian kursi Menteri Keuangan, Bapak Purbaya Yudhi Sadewa langsung dihadapkan pada "bom waktu" fiskal: kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang telah ditetapkan berlaku per 1 Januari 2025.

Isu ini, yang melambangkan pertaruhan besar bagi APBN, kini menjadi panggung ujian kredibilitas fiskal yang sesungguhnya di mata publik.

Namun, yang paling reaktif dan kritis terhadap isu ini adalah Gen Z—generasi yang tidak hanya menguasai linimasa media sosial, tetapi juga menuntut akuntabilitas tertinggi dari pemerintah. Mereka tahu persis bahwa PPN, sebagai pajak konsumsi, berpotensi menjadi "hantu" yang diam-diam menggerogoti daya beli mereka.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa punya rencana besar untuk mendorong daya beli masyarakat. Ia berencana menurunkan pajak atas transaksi atau yang biasa dikenal pajak pertambahan nilai (PPN). "Nanti kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan," kata Purbaya saat konferensi pers APBN edisi September 2025, dikutip Kamis (16/10/2025). Sebelum sampai ke situ, Purbaya memastikan akan memperhitungkan secara cermat kondisi perekonomian secara detail, termasuk kesehatan fiskal pemerintah dalam memperkuat penerimaan negara hingga akhir tahun nanti.

Saat ini, ia mengaku belum melihat kapasitas fiskal bisa membuatnya percaya diri memangkas tarif PPN. Setoran pajak per akhir September 2025 saja masih mengalami kontraksi sebesar 4,4% dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 1.295,3 triliun.

Melorotnya penerimaan pajak itu dipicu dua komponen utamanya, yaitu pajak penghasilan (PPh) Badan, serta PPN dan PPnBM, mengalami tekanan. Setoran PPh Badan minus 9,4% secara tahunan menjadi sebesar Rp 215,10 triliun, PPN dan PPNnBM kontraksi lebih besar, 13,2 menjadi Rp 474,44 triliun.

"Jadi saya harus hati-hati, jangan sampai saya turunin atau berantakan semuanya. Nanti defisitnya di atas 3%, jadi kita harus balance timbang-timbang dengan mana yang paling baik," paparnya.

Meski begitu, banyak pihak mendukung Purbaya memangkas tarif PPN itu, karena menganggap tekanan daya beli masyarakat kini memang masih terus terjadi, membuat laju konsumsi masyarakat tak kunjung optimal mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

Namun, bagi Gen Z membayar pajak adalah bagian dari kontrak sosial. Mereka bersedia menyetor PPN asalkan hasilnya diterjemahkan menjadi layanan publik yang unggul. Di sinilah letak tuntutan akuntabilitas yang paling keras.

Opini publik modern, terutama kaum muda, sering mempertanyakan: Mengapa kami harus membayar pajak lebih tinggi jika kami masih menemukan inefisiensi dan kasus korupsi yang masif?

Kenaikan penerimaan PPN yang signifikan harus berkorelasi langsung dengan penguatan belanja yang berkualitas tinggi. Menkeu Purbaya harus secara eksplisit mengaitkan tambahan pendapatan dari PPN ini dengan:

 

  • Peningkatan signifikan pada kualitas pendidikan dan kesehatan.
  • Pembiayaan program prioritas dengan output yang terukur.

Kegagalan untuk menunjukkan akuntabilitas output ini akan membuat Gen Z merasa pajak yang mereka bayarkan hanyalah "dana talangan" untuk menutup lubang birokrasi, bukan investasi bagi masa depan bangsa.

Tugas Berat Menkeu Purbaya: Menjinakkan Sifat Regresif PPN

Secara teori ekonomi, PPN adalah pajak regresif. Walau pemerintah telah mengecualikan kebutuhan pokok, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa dampaknya tetap terasa pada kelas menengah.

Dampak Ekonomi dan Kesejahteraan:

Riset Simon James (2012), yang sering dijadikan rujukan, mengindikasikan bahwa kenaikan PPN berisiko menurunkan pertumbuhan konsumsi. Tentu, skema PPN 12% yang hanya menyasar barang mewah adalah upaya mitigasi, tetapi persepsi pasar dan pelaku usaha seringkali mengabaikan detail ini.

"Pemerintah harus berhati-hati. Apapun narasi teknisnya, jika kenaikan PPN ini bertepatan dengan gejolak harga pangan global, ia akan menjadi 'bensin' bagi tekanan inflasi domestik. Tugas Menkeu adalah meyakinkan pelaku pasar bahwa kebijakan ini tidak akan mengganggu momentum pertumbuhan yang bergantung pada konsumsi rumah tangga." — sebuah pandangan yang sering disampaikan oleh ekonom senior Indonesia.

Oleh karena itu, keberhasilan Menkeu Purbaya bukan terletak pada berhasilnya pemungutan PPN 12% di atas kertas, melainkan pada keahliannya menjaga stabilitas harga dan daya beli riil masyarakat setelah kebijakan ini berlaku.

Kredibilitas Fiskal Adalah Kepercayaan Publik

Ujian sesungguhnya bagi era kepemimpinan fiskal baru ini adalah bagaimana ia mengubah kekhawatiran publik menjadi kepercayaan. Menkeu Purbaya harus menggunakan posisinya sebagai teknokrat untuk:

Berkomunikasi secara Asertif dan Empati: Turun ke lapangan, berbicara langsung dengan konsumen, dan menggunakan bahasa yang dipahami Gen Z, bukan sekadar bahasa Peraturan Menteri Keuangan.

Menjamin Pengawasan Pasar: Memastikan bahwa tidak ada praktik shadow price increase yang merugikan rakyat.

Membuktikan Kualitas Belanja: Menunjukkan transparansi mutlak dalam penggunaan dana PPN yang terkumpul untuk membiayai program yang benar-benar memberikan manfaat nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Jika kepercayaan publik, yang diwakili oleh Gen Z, berhasil diamankan, maka kredibilitas fiskal bukan lagi sekadar slogan, melainkan fondasi kuat bagi ketahanan ekonomi nasional di tengah gejolak global. PPN 12% adalah pertaruhan awal yang harus dimenangkan oleh Menkeu Purbaya demi masa depan fiskal Indonesia yang sehat dan akuntabel.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image