Kucing sebagai Sahabat Anti-Stres: Pandangan dari Biopsikologi
Edukasi | 2025-10-21 11:10:51
Di era modern di mana rutinitas harian penuh tekanan seperti tugas yang menumpuk, kerja yang berlebih, tantangan keluarga, atau bahkan tekanan sosial dari media digital, banyak orang mencari cara sederhana dan efektif untuk menjaga kesehatan mental. Stres kronis dapat menyebabkan masalah serius seperti kecemasan, depresi, dan gangguan fisik, sehingga penting untuk menemukan solusi yang mudah diakses.
Salah satu pendekatan yang semakin populer adalah berinteraksi dengan hewan peliharaan, khususnya kucing. Misalnya, saat mengelus bulu kucing kesayangan, dapat membuat tubuh lebih rileks dan fokus. Biopsikologi menjelaskan bahwa tubuh manusia dirancang untuk merespons lingkungan melalui mekanisme biologis, seperti pelepasan hormon, yang kemudian memengaruhi emosi dan perilaku. Saat bermain dengan kucing, tubuh cenderung memproduksi lebih banyak hormon oksitosin, yang dikenal sebagai "hormon cinta" karena perannya dalam membangun ikatan sosial dan rasa percaya. Oksitosin tidak hanya membuat kita merasa lebih hangat dan terhubung, tetapi juga berfungsi sebagai penenang alami dengan menekan respons stres di otak, seperti mengurangi aktivitas di amigdala. Penelitian ilmiah, seperti yang dilakukan oleh . (Beetz et al., 2012) menunjukkan bahwa interaksi dengan hewan peliharaan seperti kucing dapat meningkatkan kadar oksitosin secara signifikan, sehingga mengurangi gejala stres dan meningkatkan rasa bahagia. Ini berarti, aktivitas sederhana seperti memeluk kucing bisa menciptakan efek berantai positif, di mana tubuh menjadi lebih efisien dalam mengelola tekanan harian.
Manfaat biologis ini dapat dilihat dalam bagaimana kucing membantu menurunkan hormon stres kortisol. Kortisol adalah hormon yang tubuh rilis saat menghadapi ancaman, tetapi jika berlebihan, ia dapat menyebabkan kelelahan, insomnia, dan penurunan imunitas. Penelitian dari Washington State University menemukan bahwa hanya 10 menit interaksi langsung dengan kucing dapat menurunkan kadar kortisol secara nyata, disertai peningkatan emosi positif dan penurunan kecemasan. Studi ini menyoroti bahwa kontak fisik, seperti mengelus kucing, merangsang sensor saraf di kulit, yang kemudian mengirim sinyal ke otak untuk mengaktifkan sistem penghilang stres. (Nagasawa et al., 2023) memperkuat temuan ini dengan menunjukkan bahwa pemilik kucing yang berinteraksi rutin mengalami peningkatan suasana hati dan pengurangan kecemasan, karena stimulasi ini memengaruhi jalur saraf yang berhubungan dengan ikatan sosial. Bayangkan skenario sehari-hari: setelah seharian aktivitas di kampus dengan deadline yang menumpuk, pulang dan duduk bersama kucing yang sedang tidur tenang bisa langsung mengurangi beban mental, membuat lebih siap menghadapi hari esok. Efek ini bervariasi tergantung individu, tetapi secara umum, kehadiran kucing dalam rutinitas harian memberikan rasa ketenangan yang alami dan berkelanjutan.
Selain aspek biologis, kucing juga memberikan dukungan sosial dan emosional yang kuat, yang merupakan bagian integral dari biopsikologi karena menghubungkan proses biologis dengan interaksi sosial. Penelitian menunjukkan bahwa memiliki kucing dapat mengurangi rasa kesepian, yang sering kali menjadi pemicu stres kronis. (Beetz et al., 2012) melaporkan bahwa pemilik kucing cenderung memiliki tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak memiliki hewan peliharaan, karena kucing menyediakan rasa ikatan emosional yang mirip dengan hubungan manusia. Ini terjadi melalui mekanisme biopsikologi di mana interaksi dengan kucing merangsang pelepasan dopamin dan serotonin hormon yang berkaitan dengan kebahagiaan sehingga memperdalam kesejahteraan psikologis. Misalnya, jika Anda sedang menghadapi masalah keluarga yang membuat hati gelisah, kucing bisa menjadi pendengar yang setia, kehadirannya yang tenang membantu mengurangi rasa terisolasi dan memberikan dukungan tanpa perlu kata-kata. Survei dari berbagai studi mengonfirmasi bahwa interaksi rutin dengan kucing tidak hanya menurunkan kecemasan tetapi juga memperkuat jaringan sosial, membuat pemilik merasa lebih terhubung dan berdaya tahan terhadap tekanan hidup.
Strategi coping melalui bermain dengan kucing juga patut ditekankan dalam konteks biopsikologi. Coping adalah proses adaptasi terhadap stres, dan berdasarkan teori biopsikologi, kegiatan rekreasi seperti bermain dengan hewan dapat mengalihkan perhatian dari pemicu stres sambil memperkuat kemampuan mental. Walsh (2009) menjelaskan bahwa interaksi fisik dengan kucing berfungsi sebagai bentuk rekreasi yang efektif, di mana stimulasi sensorik membantu mengurangi aktivitas stres di otak dan meningkatkan produksi endorfin, hormon yang memberikan rasa nyaman. Dalam praktiknya, bermain dengan kucing seperti, menggunakan mainan atau sekadar menontonnya berlari bisa menjadi rutinitas harian yang mengalihkan pikiran dari masalah, sekaligus menyediakan dukungan emosional. Bagi sebagian orang, itu bisa menjadi momen relaksasi yang mendalam, sementara bagi yang lain, itu memperkuat rasa percaya diri untuk menghadapi tantangan. Penelitian menekankan bahwa pola ini konsisten dalam biopsikologi, di mana hubungan manusia-hewan membantu membangun ketahanan mental, meskipun variasi tergantung faktor genetik dan lingkungan. (Walsh, 2009).
Di era digital yang penuh tekanan, kesimpulan dari diskusi ini adalah bahwa berinteraksi dengan kucing melalui permainan adalah cara tepat untuk menjaga kesehatan psikologis. Dari perspektif biopsikologi, kontak ini merangsang peningkatan hormon oksitosin dan penurunan kortisol, yang secara langsung memengaruhi otak dan emosi untuk menciptakan rasa tenang. Interaksi singkat selama 10 menit dapat mengurangi kecemasan dan depresi, sementara Branson et al. (2019) dan Walsh (2009) menyoroti peran kucing dalam dukungan sosial. Dengan demikian, bermain dengan kucing tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai dukungan biologis yang efektif untuk mengelola stres harian. Di dunia yang semakin sibuk, mengintegrasikan kucing ke dalam rutinitas sehari-hari bisa menjadi langkah sederhana namun berdampak besar bagi kesejahteraan kita. Oleh karena itu, masyarakat luas harus mempertimbangkan manfaat ini untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara mental.
REFERENSI
Beetz, A., Uvnäs-Moberg, K., Julius, H., & Kotrschal, K. (2012). Psychosocial and psychophysiological effects of human-animal interactions: The possible role of oxytocin. Frontiers in Psychology, 3(JUL), 1–15. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2012.00234
Branson, S. M., Boss, L., Padhye, N. S., Gee, N. R., & Trötscher, T. T. (2019). Biopsychosocial Factors and Cognitive Function in Cat Ownership and Attachment in Community-dwelling Older Adults. Anthrozoos, 32(2), 267–282. https://doi.org/10.1080/08927936.2019.1569908
Nagasawa, T., Kimura, Y., Masuda, K., & Uchiyama, H. (2023). Effects of Interactions with Cats in Domestic Environment on the Psychological and Physiological State of Their Owners: Associations among Cortisol, Oxytocin, Heart Rate Variability, and Emotions. Animals, 13(13), 1–16. https://doi.org/10.3390/ani13132116
Walsh, Froma. (2009). Human-animal bonds I: the relational significance of companion animals. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/j.1545-5300.2009.01296.x
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
