Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Guru di Negeri Industri Pengetahuan

Kebijakan | 2025-10-20 05:59:56
Gambar:Republikaonline

Pemerintah tampak begitu percaya diri. Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kembali digadang sebagai jalan menuju keadilan bagi guru. Ada janji kesetaraan, tambahan masa wajib belajar, dan harapan kesejahteraan. Tapi seperti banyak janji yang pernah lewat, kebijakan ini terasa lebih administratif daripada solutif. Sebab masalah guru di negeri ini bukan soal aturan, tapi soal cara pandang.

Kita hidup di bawah sistem yang memandang pendidikan sebagai industri, dan guru sebagai tenaga produksi. Nilai mereka diukur dari seberapa banyak output yang bisa dihasilkan, seberapa cepat murid siap memasuki pasar kerja. Dalam logika kapitalistik seperti ini, guru bukan lagi sosok yang membentuk manusia, tapi operator mesin sosial yang harus mencetak pekerja sesuai kebutuhan industri. Mereka dipuji saat efisien, disalahkan saat murid gagal menembus dunia kerja. Lalu di mana tempat kemanusiaan dalam pendidikan yang seperti ini.

Kesejahteraan guru selalu menjadi topik manis setiap kali politik memanas, tapi selalu berujung pada tunjangan yang dikaitkan dengan syarat teknis, administrasi rumit, dan laporan daring yang tak berujung. Para guru menghabiskan lebih banyak waktu mengisi formulir daripada menatap mata muridnya. Negara tampak sibuk mencatat prestasi, tapi abai pada letih yang tak pernah dibayar.

Ironisnya, ketika wacana kesetaraan guru keagamaan dan guru umum diangkat, itu pun kembali ke soal angka dan anggaran. Seolah persoalan guru hanyalah hitung-hitungan fiskal, bukan persoalan martabat profesi yang menyangkut masa depan peradaban. Padahal, tak ada kesejahteraan sejati selama paradigma dasarnya masih sekuler, memisahkan pendidikan dari nilai luhur agama, menjadikan sekolah sekadar pabrik pengetahuan dan tenaga kerja. Sistem seperti ini hanya tahu mengatur, bukan mengasuh. Hanya tahu menilai, bukan mendidik.

Dalam paradigma Islam, pendidikan bukan sekadar urusan teknis, tapi bagian dari ibadah sosial. Negara wajib menjamin akses dan kualitasnya, bukan karena tekanan anggaran, tapi karena itu tanggung jawab moral di hadapan Tuhan. Guru dipandang bukan sebagai alat, melainkan pengemban amanah pendidikan. Ia tidak dituntut sekadar mencetak kompetensi, tapi membentuk akhlak, kepribadian dan pemikiran yang beradab. Karena itu, negara dalam sistem Islam menghitung kebutuhan guru bukan berdasarkan kemampuan anggaran, tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakat. Negara tidak menunggu dana cukup, tetapi memastikan pendidikan berlangsung, karena mencerdaskan manusia adalah kewajiban, bukan pilihan kebijakan.

Guru diakui sebagai sosok mulia karena merekalah yang melanjutkan misi kenabian, mengajarkan ilmu, membangun akal, dan menumbuhkan nurani. Dalam sistem Islam, profesi seperti ini tidak boleh diukur dengan mekanisme pasar, sebab tugas mereka bukan menjual jasa, tetapi menyalakan cahaya. Kesejahteraan mereka dijamin bukan sebagai kompensasi kerja, melainkan bentuk penghormatan terhadap peran suci yang mereka emban.

Kita boleh terus merevisi undang-undang, memperpanjang wajib belajar, atau menambah skema tunjangan. Tapi selama pendidikan masih dikendalikan oleh logika untung rugi, selama guru masih diperlakukan sebagai pegawai alih-alih pembentuk peradaban, maka revisi apa pun hanya akan menjadi dokumen panjang tanpa ruh.

Sebab yang harus direvisi bukan hanya UU Sisdiknas, tetapi cara kita memandang pendidikan itu sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image