Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image hafidz alaziz

AI dan Ancaman Hilangnya Pekerjaan: Mitos atau Realitas?

Teknologi | 2025-10-20 05:03:24


AI dan Ancaman Hilangnya Pekerjaan: Mitos atau Realitas?
Kemajuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini menjadi topik yang tak bisa dihindari. Dari kantor hingga pabrik, dari ruang redaksi hingga rumah tangga, teknologi ini telah menyusup ke berbagai lini kehidupan. Namun di balik kekaguman dan euforia inovasi, muncul ketakutan baru: akankah AI menggantikan manusia dan membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan?

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Laporan *World Economic Forum* (2023) memperkirakan sekitar 85 juta pekerjaan berpotensi digantikan oleh otomasi dan sistem cerdas dalam lima tahun ke depan. Namun, laporan yang sama juga menyebutkan akan muncul 97 juta jenis pekerjaan baru di bidang-bidang yang sebelumnya tak pernah ada — mulai dari analis data, pengembang algoritma etika, hingga spesialis keamanan siber.

Artinya, ancaman kehilangan pekerjaan akibat AI bukanlah akhir dari dunia kerja, melainkan tanda bahwa dunia sedang mengalami pergeseran. Pekerjaan lama mungkin akan hilang, tetapi bentuk-bentuk baru tengah lahir. Pertanyaannya, mampukah manusia beradaptasi?

Kita hidup di tengah revolusi industri keempat, di mana kemampuan beradaptasi lebih berharga daripada sekadar keterampilan teknis. AI tidak hanya menggantikan peran manusia dalam pekerjaan rutin dan berulang, tetapi juga memaksa manusia untuk mengasah sisi yang tak digantikan oleh mesin: kreativitas, empati, etika, dan kemampuan mengambil keputusan yang kompleks.

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang memandang AI sebagai musuh, bukan mitra. Padahal, sejarah membuktikan bahwa setiap kemajuan teknologi selalu membawa perubahan besar di dunia kerja. Ketika mesin cetak ditemukan, pekerjaan penulis naskah tangan menghilang — tetapi industri penerbitan justru meledak. Ketika komputer datang, banyak manual pekerjaan hilang — namun lahirlah profesi baru di bidang teknologi informasi.

AI seharusnya dipandang sebagai katalis, bukan pengganti. Justru inilah momentum bagi pemerintah, dunia pendidikan, dan industri untuk menata ulang strategi pelatihan tenaga kerja. Program *reskilling* dan *upskilling* harus menjadi prioritas agar masyarakat siap menghadapi perubahan. Indonesia telah memulainya melalui *Strategi Nasional Literasi Digital* yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika, namun implementasinya masih perlu melalui perdebatan di daerah-daerah dan sektor informal.

Kita juga perlu menumbuhkan budaya belajar sepanjang hayat (*pembelajaran seumur hidup*). Dalam dunia kerja yang serba cepat, tidak ada lagi jaminan bahwa keahlian hari ini masih relevan esok hari. Sekolah dan universitas tidak cukup hanya mengajarkan teori, tetapi harus melatih adaptasi dan kemampuan berpikir kritis agar lulusan siap bersaing di era AI.
AI tidak akan menghancurkan pekerjaan manusia — yang menghancurkan adalah ketidaksiapan kita beradaptasi. Seperti pisau bermata dua, AI bisa menjadi ancaman atau anugerah, tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Maka, alih-alih takut akan kehilangan pekerjaan, mari bertanya: bagaimana kita menciptakan pekerjaan yang tidak bisa digantikan oleh mesin? Di sanalah masa depan manusia sebenarnya berada.
---
**Tentang Penulis:**Muhammad Hafidz AlazizMahasiswa STMIK Tazkia / Teknik Informatikahafidzalaziz721@gmail.com
---
Terima kasih atas perhatian dan kesempatan yang diberikan.Salam hormat,Muhammad Hafidz Alaziz
---

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image