Anak Desa, Anak Kota: Ketimpangan yang Terbentuk di Ruang Kelas
Edukasi | 2025-10-18 09:47:24
Akses dan kualitas ekosistem pendidikan yang berbeda di desa dan kota menyebabkan ketimpangan. Hal ini disebabkan oleh fasilitas pendidikan yang tidak seimbang, infrastruktur digital yang tidak merata, dan jumlah guru yang lebih banyak di kota daripada di desa. Kemampuan literasi dasar, rata-rata lama sekolah, dan paparan bahasa serta teknologi biasanya lebih tinggi di kota. Sebaliknya, anak-anak di desa sering menghadapi kelas multigrade; sumber belajar yang terbatas dan jarak sekolah yang jauh.
Selain itu, faktor ekonomi keluarga dan dukungan sosial juga memainkan peran. Kemampuan untuk mendapatkan akses ke jaringan informasi, buku, perangkat, dan pelajaran membantu anak kota. Akibatnya, ruang kelas yang terlihat serupa secara formal sebenarnya menghadirkan "start line" yang tidak setara yang mana perbedaan modal awal dengan cepat berubah menjadi perbedaan prestasi dan kepercayaan diri.
Di dalam ruang kelas, anak-anak dari desa dan kota membawa "modal kultural" yang berbeda, mulai dari cara berbicara, kebiasaan belajar, hingga referensi budaya dan tingkat kepercayaan diri mereka. Hal ini berpengaruh pada persepsi guru dan teman-teman sekelas pada mereka. Anak-anak kota biasanya lebih fasih dalam bahasa akademik, lebih akrab dengan perangkat digital, dan memiliki akses ke berbagai sumber belajar. Sementara itu, anak-anak desa sering kali harus berjuang untuk mengeja istilah baru, berbagi perangkat, atau mencari cara untuk mengatasi keterbatasan materi yang ada.
Perbedaan ini bukan hanya soal kemampuan teknis, ia juga membentuk dinamika partisipasi di kelas; siapa yang berani mengajukan pertanyaan, siapa yang memilih untuk diam, siapa yang dianggap "pintar", dan siapa yang terus-menerus diminta untuk mengejar ketertinggalan.
Ketika stereotip yang halus seperti "anak kota lebih siap" atau "anak desa kurang terpapar" masuk ke dalam penilaian informal, dukungan yang diberikan pun menjadi tidak seimbang. Akibatnya, pengalaman belajar berubah dari sebuah ruang untuk tumbuh menjadi arena yang melelahkan untuk membuktikan diri, terutama bagi mereka yang memiliki modal awal yang lebih sedikit.
Kebijakan dan desain sistem terlihat seragam, menunjukkan dimensi struktural, tetapi mengabaikan konteks: kurikulum nasional menuntut capaian yang sama, sementara sumber daya dan keadaan lokal berbeda. Sekolah desa sering bergantung pada guru yang jumlahnya terbatas dan beban ajar tinggi karena guru, pelatihan berkelanjutan, dan insentif penempatan semuanya terkonsentrasi di kota.
Ketika asesmen, tugas, dan referensi beralih ke kanal digital, ketimpangan dalam akses teknologi seperti internet, perangkat, dan platform belajar menciptakan hambatan baru. Di atas semua itu, mekanisme evaluasi yang menstandarkan hasil tanpa mempertimbangkan kondisi, serta tata kelola dan anggaran yang tidak proporsional, memperkuat pola penyebaran ketidaksetaraan dari tingkat kebijakan ke praktik kelas.
Untuk memahami ketimpangan antara anak desa dan anak kota di ruang kelas, teori sosial adalah salah satu dari banyak teori sosial yang dapat digunakan. Menurut Bourdieu, anak kota memiliki modal kultural yang lebih sesuai dengan standar sekolah, sementara anak desa sering dianggap kurang siap karena kebiasaan yang berbeda. Teori ketidaksetaraan struktural menunjukkan bahwa sistem pendidikan sering mereplikasi stratifikasi sosial melalui kebijakan yang tidak sensitif terhadap konteks lokal. Sedangkan, menurut Freire, yang lebih penting adalah pendidikan yang membebaskan dan kontekstual daripada sekadar transfer pengetahuan.
Solusi yang positif dan kontekstual diperlukan untuk mengatasi perbedaan antara anak desa dan anak kota di ruang kelas. Pemerintah dapat memperluas program literasi digital di sekolah desa, mendistribusikan guru yang lebih berkualitas, dan memberikan beasiswa khusus kepada siswa dari daerah tertinggal. Pembelajaran berbasis lokal—seperti memasukkan konteks budaya dan lingkungan sekitar dalam materi ajar—dapat meningkatkan relevansi dan keterlibatan siswa. Sekolah, komunitas, dan pemerintah daerah harus bekerja sama untuk membuat ekosistem belajar yang mendukung. Selain itu, asalkan pelatihan dan akses yang adil tersedia, teknologi dapat digunakan untuk mengatasi perbedaan, seperti mentoring jarak jauh, perpustakaan digital, dan kelas daring.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
