Ketika Otak Terjebak dalam Overthinking: Mekanisme Saraf Biopsikologi
Eduaksi | 2025-10-17 10:23:00
Overthinking adalah fenomena psikologis yang menggambarkan kecenderungan seseorang untuk berpikir secara berlebihan terhadap situasi tertentu, bahkan terhadap hal-hal kecil yang seharusnya tidak menimbulkan kecemasan. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan sosial, fenomena ini semakin sering dialami oleh individu, khususnya kalangan remaja dan mahasiswa. Secara umum, overthinking muncul karena otak terus berusaha mencari solusi dan memprediksi kemungkinan yang belum tentu terjadi. Namun, dari sudut pandang biopsikologi, overthinking memiliki penjelasan yang lebih mendalam.
Proses ini melibatkan kerja kompleks antara sistem saraf pusat, hormon stres, dan zat kimia otak (neurotransmiter). Otak, khususnya bagian prefrontal cortex dan amigdala, berperan besar dalam mengatur reaksi terhadap stres dan ancaman. Ketika sistem ini terlalu aktif, pikiran menjadi sulit dikendalikan dan cenderung berputar-putar. Karena itu, memahami overthinking tidak cukup hanya melalui aspek psikologis, tetapi juga harus dilihat dari bagaimana otak memproses, mengatur, dan merespons tekanan yang diterima tubuh.
1. Apa yang Terjadi di Otak Saat Overthinking?
Ketika seseorang terus-menerus berpikir terlalu banyak, otaknya sebenarnya sedang dalam keadaan “siaga tinggi”. Bagian otak yang bernama prefrontal cortex yang berfungsi untuk merencanakan dan mengambil keputusan bekerja terlalu keras. Ia terus mencari jawaban dan solusi untuk hal-hal yang mungkin tidak perlu dibicarakan. Di sisi lain, bagian otak yang disebut amigdala yang bertugas memproses rasa takut dan cemas juga menjadi sangat aktif. Akibatnya, tubuh merasa situasi tersebut sebagai ancaman nyata. Kondisi ini menyebabkan sistem saraf simpatik aktif, sehingga hormon stres seperti adrenalin dan kortisol dilepaskan.
Respons ini berguna ketika seseorang benar-benar dalam bahaya, tapi pada kasus overthinking, sistem ini tetap aktif meskipun tidak ada ancaman nyata. Akibatnya, tubuh dan otak terus dalam keadaan tegang.
Menurut Harvard Medical School (2018), ketidakseimbangan komunikasi antara amigdala dan prefrontal cortex menyebabkan seseorang kesulitan untuk “menghentikan” pikirannya. Dengan kata lain, otak tidak bisa menentukan kapan harus berhenti berpikir. Itulah sebabnya mengapa overthinking terasa sangat melelahkan, meskipun tidak melibatkan kegiatan fisik apa pun.
2. Neurotransmiter dan Sirkuit Pikiran Berulang
Selain berpikir terlalu lama, proses ini juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan zat kimia di otak, khususnya pada neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, dan norepinefrin. Saat kadar serotonin rendah, seseorang cenderung lebih mudah merasa cemas, khawatir, dan berpikir negatif terus-menerus. Jika kadar dopamin tidak seimbang, otak kesulitan membedakan mana hal yang penting dan mana yang tidak, sehingga hampir semua hal terasa perlu dipikirkan berlebihan. Adapun kadar norepinefrin yang tinggi bisa membuat otak terus waspada dan tidak bisa istirahat.
Penelitian oleh Nolen-Hoeksema (2000) menunjukkan bahwa pola berpikir berlebihan berkaitan dengan aktivitas yang meningkat di bagian otak yang mengatur emosi, terutama di amigdala dan hippocampus, dan aktivitas yang menurun di korteks prefrontal.
Artinya, ketika emosi memuncak, kemampuan berpikir logis justru menurun. Hal ini menyebabkan seseorang terus-menerus mengulang pikiran negatif, yang disebut rumination. Jika terjadi dalam jangka panjang, ketidakseimbangan pada neurotransmiter bisa mengganggu kemampuan mengatur emosi dan meningkatkan risiko mengalami gangguan seperti kecemasan dan depresi.
3. Dampak Biologis dari Pikiran yang Tidak Berhenti
Overthinking tidak hanya memengaruhi pikiran, tetapi juga berdampak langsung pada kondisi biologis tubuh. Ketika otak terus berada dalam keadaan stres, hormon kortisol dilepaskan secara terus-menerus, sehingga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan metabolisme. Aktivitas amigdala yang berlebihan juga memengaruhi kerja hippocampus bagian otak yang berperan dalam pembentukan memori sehingga seseorang menjadi mudah lupa dan sulit berkonsentrasi. Selain itu, ketegangan otot, sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga insomnia sering muncul akibat sistem saraf simpatik yang terus aktif. Secara biologis, hal ini memengaruhi tubuh secara langsung, seperti:
· Kelelahan otak karena kinerja area prefrontal cortex yang terus-menerus bekerja berlebihan.
· Kesulitan tidur karena kadar kortisol meningkat dan melatonin berkurang.
· Daya ingat jangka pendek menurun karena bagian otak bernama hippocampus terganggu oleh stres yang terus-menerus.
· Tegangan otot dan masalah pencernaan akibat sistem saraf simpatik yang selalu aktif.
Penelitian dari Yale University (2021) menemukan bahwa individu dengan kecenderungan overthinking kronis memiliki volume materi abu-abu yang lebih kecil pada area korteks prefrontal medial, yaitu bagian otak yang berfungsi menenangkan pikiran dan mengatur respons emosional. Artinya, semakin sering seseorang mengalami overthinking, semakin sulit otaknya beradaptasi terhadap stres. Kondisi ini menunjukkan bahwa overthinking bukan sekadar “banyak berpikir”, melainkan bentuk ketidakseimbangan antara otak emosional dan otak rasional yang berdampak nyata terhadap kesehatan tubuh dan mental.
4. Cara Mengatur Ulang Otak dari Sudut Biopsikologi
Beruntungnya, otak manusia memiliki kemampuan hebat yang disebut neuroplastisitas kemampuan untuk membuat koneksi baru dan beradaptasi. Artinya, berpikir terlalu banyak bisa dikurangi dengan melatih ulang sistem saraf kita. Beberapa cara yang sudah terbukti efektif menurut penelitian bidang biopsikologis adalah:
· Latihan pernapasan dalam: memicu saraf vagus dan mengaktifkan sistem parasimpatik yang membuat tubuh rileks.
· Mindfulness dan meditasi: cara ini terbukti mengurangi aktivitas amigdala dan meningkatkan ketenangan area korteks prefrontal (Davidson & Goleman, 2017).
· Aktivitas fisik ringan: olahraga meningkatkan hormon dopamin dan serotonin, yang membantu menyeimbangkan emosi.
· Tidur cukup dan makanan sehat: menjaga keseimbangan hormon dan neurotransmiter yang mengatur perasaan.
Dengan memahami cara kerja otak secara biologis, kita tidak lagi melihat berpikir berlebihan sebagai kelemahan pribadi, tetapi sebagai respons dari sistem saraf yang bisa dilatih dan diubah.
Overthinking adalah kondisi psikologis yang memiliki hubungan erat dengan cara kerja sistem saraf manusia. Ketika pikiran terus-menerus berputar tanpa henti, hal itu bukan sekadar karena seseorang terlalu banyak berpikir, tetapi karena otak sedang berada dalam keadaan waspada berlebihan yang sulit dihentikan. Dalam kondisi ini, berbagai bagian otak seperti amigdala, hippocampus, dan prefrontal cortex bekerja tidak seimbang, menyebabkan aliran pikiran sulit dikendalikan. Dengan memahami proses ini melalui pendekatan biopsikologi, kita dapat melihat bahwa antara pikiran, emosi, dan tubuh sebenarnya saling terhubung erat. Pikiran yang gelisah dapat memengaruhi detak jantung, pola tidur, hingga sistem kekebalan tubuh; begitu pula, tubuh yang lelah atau stres dapat memperburuk pola berpikir negatif yang berulang.
Keseimbangan mental bukan hanya soal kemauan untuk “berhenti berpikir terlalu banyak”, tetapi juga hasil dari latihan kesadaran diri (self-awareness) dan pengelolaan pikiran secara teratur. Aktivitas seperti meditasi, menulis jurnal, berolahraga, atau sekadar mengambil waktu istirahat sejenak dapat membantu menurunkan aktivitas saraf simpatik dan mengembalikan kestabilan kerja otak. Ketika seseorang mulai memahami bahwa overthinking bukan tanda kelemahan, melainkan reaksi biologis otak yang sedang kelelahan, maka proses penyembuhan mental menjadi lebih manusiawi dan penuh empati terhadap diri sendiri.
Jadi, ketika suatu hari kamu merasa terjebak dalam pusaran pikiran yang tak kunjung berhenti, ingatlah: kamu tidak sepenuhnya salah. Mungkin otakmu hanya sedang meminta waktu untuk beristirahat dan menemukan kembali keseimbangannya. Memberi ruang bagi otak untuk tenang bukan berarti menyerah, melainkan bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri langkah kecil namun penting untuk menjaga kesehatan mental dan biologis kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
