Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Nur Cahyasari

Ketika Gen Z Mengalami Krisis Sunyi, Apa Yang Harus Dilakukan?

Eduaksi | 2025-10-16 17:31:29

Gaya Hidup Di Media Sosial

Sebenarnya jaringan di media sosial itu sangat luas. Kita bisa menjelajah ke mana pun yang diinginkan. Bahkan bisa masuk ke dalam privasi seseorang dari unggahan daily vlognya. Artinya, setiap orang punya kesempatan untuk menjadikan hidup lebih berwarna. Tetapi kenapa dalam dunia nyata, justru merasa kesepian tanpa teman. “Pengen main, pengen cerita, pengen ngobrol, tapi nggak tau sama siapa? Ke mana-mana sendirian. Sedih, senang, kecewa, cuma kita sendiri aja yang ngerasa.”

Apalagi Gen-Z, generasi yang lahir di era digital dengan segala fasilitas tehnologi berkembang. Kemudahan akses internet selalu mereka dapatkan. Baik tinggal di kota besar maupun desa terpencil sudah dapat menikmatinya. Namun mereka juga dilanda rasa “lonely” atau krisis sunyi.

Fenomena ini muncul tanpa gejala. Tiba-tiba sering gelisah, lalu merasa hampa, punya kecemasan tersembunyi, insecure saat melihat pencapaian orang, hingga berujung stress dan depresi. Padahal di media sosial aktif bergaya. Seolah eksistensi itu harus terus diupayakan. Berlomba-lomba dipanggung media sosial mencari popularitas.

Mereka mengakui sendiri kalau sebenarnya merasa tertekan sama tuntutan pencapaian atau standart hidup yang berlaku sekarang. Ada citra diri yang mengharuskan tampil sempurna, validasi netizen sebagai standart penilaian. Maka dalam dekade terakhir, banyak survei memperlihatkan peningkatan signifikan kasus gangguan mental di kalangan Gen-Z. Laporan Badan Pusat Statistik dan Kementerian Kesehatan menginformasikan ada lebih dari 20 persen remaja usia 15–24 tahun mengalami gejala gangguan emosional. 

Kenapa Bisa Terjadi?

Secara tidak langsung, perilaku ini dipicu dari nilai eksistensi yang mereka ketahui di dunia maya, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi di dunia nyata. Menimbulkan gangguan emosional secara massal. Selain itu, gangguan ini lahir dari cara pandang hidup yang mengukur nilai diri berdasarkan pencapaian materi dan penilaian sosial. Akibatnya generasi muda kehilangan arah dan makna hidup yang sejati.

Cara pandang itu telah mempengaruhi pola pikir dan pola sikap Gen-Z dalam menghadapi tantangan zaman kekinian. Padahal potensi yang dimiliki oleh Gen-Z saat ini akan sangat berpengaruh pada arah pergaulan sosial bangsa ke depannya, juga pada ekonomi dan politik negri di masa depan.

Gaya bermedia sosial sekarang telah memperkuat tekanan psikologis seseorang melalui budaya pamer, suka membanding-bandingkan, pencitraan semata, bahkan menuntut seseorang harus tampil bahagia walau hatinya sedang rapuh dan kosong. Di sisi lain, hilangnya komunikasi tulus di tengah keluarga dan masyarakat juga memberi dampak hausnya validasi pada Gen-Z. Semakin problematik membuat generasi ini selalu merasa “sendirian di tengah keramaian”.

Jika ada pertanyaan “kenapa bisa terjadi?” Inilah dampak bentuk penerapan sistem hidup sekuler-kapitalisme. Dari sistem ini, lahirlah pemahaman bahwa manusia harus hidup dengan cara pandang materi. Memaknai bahagia dengan standart kesenangan duniawi semata. Dan menghilangkan hubungan mendalam seseorang dengan Rab-Nya (Allah SWT). Krisis spiritual seperti inilah yang menjadi akar dari krisis sunyi. Membuat hati tidak tenang walau dikelilingi kesenangan dunia.

INGATLAH!

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (TQS. Ar-Ra’d: 28)

Dari tadabbur ayat Al-qur’an di atas telah Allah jelaskan bahwa jangan jauhkan manusia dari penciptanya. Tujuan itu tidak lain adalah untuk menguatkan hubungan erat dan nilai kesadaran bahwa ketenangan sejati hanya datang dari kedekatan mahluk dengan Rab-Nya.

Kesadaran seperti ini yang akan melahirkan pemahaman bahwa tujuan hidup tidak hanya terbatas pada kesenangan dunia semata. Tetapi juga untuk menggapai ridha Allah SWT. Sehingga setiap orang akan memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Dia akan paham bahwa semua yang datang dari Allah pasti membawa kebaikan dan keselamatan hidupnya.

Perintah itu seperti menumbuhkan budaya komunikasi dan empati antar manusia. Agar setiap orang terbiasa untuk saling mendengar, saling menyapa, dan berani bercerita tanpa takut dihakimi. Bisa dimulai dari keluarga muslim yang memiliki visi surga, lingkungan sekolah yang mendukung terjaganya keimanan dengan penerapan syariat Islam. Serta circle pertemanan yang saling mengingatkan dalam kebaikan, mengajak untuk berbuat makruf dan meninggalkan yang munkar (kemaksiatan).

Berbeda dengan sekuler-kapitalisme, cara pandang Islam mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar terlihat sukses. Tetapi menjadi hamba Allah yang bermanfaat. Ketika arah hidup ditujukan untuk menggapai ridha Allah, kesepian dapat berubah menjadi kekuatan. Tentu menanamkan makna hidup islami seperti ini butuh upaya bersama tidak bisa seorang diri.

Selayaknya di bidang pendidikan, peran negara sangat diperlukan. Negara akan membuat kurikulum yang dapat mengembalikan fungsi pendidikan sebagai pembentuk kepribadian, bukan sekadar prestasi akademik. Sekolah dan lembaga Islam perlu menyediakan ruang aman (safe space) untuk bimbingan ruhiyah, konseling berbasis iman, dan pembiasaan amal jama’i agar remaja tidak terjebak dalam isolasi batin. Solusi seperti inilah yang bisa dilakukan dalam mengatasi krisis sunyi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image