Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Thoriq Panji Perdana

Krisis Pangan Global: Kenapa Negara Kaya Tak Pernah Lapar?

Politik | 2025-10-15 14:51:04

Oleh : M. Azra Ghiffari Athallah

Dunia Kelaparan di Tengah Kelimpahan

Ironis banget, di abad ke-21 yang katanya serba maju ini, masih ada lebih dari 700 juta orang di dunia yang tidur dalam keadaan lapar setiap malam. Sementara itu, negara-negara kaya justru terus buang-buang makanan dalam jumlah yang bikin geleng kepala. Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2024 menunjukkan sekitar 30% dari total makanan yang diproduksi global terbuang sia-sia, dan sebagian besar limbah itu datang dari negara maju. Dunia sedang menghadapi krisis pangan global, tapi anehnya, kelaparan selalu jadi masalah di Selatan — bukan di Utara.

Kenapa begitu? Jawabannya ada pada ketimpangan sistem pangan global yang udah lama dibangun berdasarkan logika kapitalisme dan kepentingan politik negara maju. Produksi pangan dunia sebenarnya cukup untuk memberi makan semua orang, tapi masalahnya bukan soal jumlah — melainkan soal distribusi, kekuasaan, dan siapa yang mengontrol rantai pasok. Negara kaya nggak pernah lapar bukan karena mereka lebih efisien, tapi karena mereka menguasai sistem yang bikin negara lain terus bergantung.

Ketimpangan yang Disamarkan oleh “Bantuan”

Banyak orang mengira bahwa negara maju punya komitmen tinggi terhadap ketahanan pangan dunia — dengan berbagai program bantuan, hibah, dan proyek “pemberdayaan” di negara berkembang. Tapi kalau dilihat dari dekat, pola itu sering kali justru memperkuat ketergantungan. Bantuan pangan bukan cuma soal kemanusiaan, tapi juga alat politik luar negeri.

Contohnya, Amerika Serikat lewat USAID Food for Peace Program sering mengirim bantuan pangan ke negara-negara Afrika atau Asia Selatan. Tapi sebagian besar bahan pangan yang dikirim itu berasal dari hasil produksi domestik AS sendiri — artinya, uang bantuan itu sebenarnya kembali ke petani dan perusahaan pangan Amerika. Negara penerima hanya jadi pasar tambahan bagi surplus pangan negara donor.

Uni Eropa juga menerapkan kebijakan subsidi pertanian besar-besaran melalui Common Agricultural Policy (CAP), yang bikin produk pangan Eropa bisa dijual murah di pasar internasional. Dampaknya? Petani kecil di negara berkembang kalah bersaing karena harga lokal mereka nggak bisa menandingi produk impor bersubsidi. Jadi, ketika negara-negara miskin kekurangan pangan, negara kaya justru menimbun stok dan membuang kelebihannya.

Lebih parahnya lagi, dalam situasi krisis — seperti saat pandemi COVID-19 atau perang Rusia–Ukraina — negara kaya sering memberlakukan larangan ekspor pangan untuk melindungi pasar domestik. Akibatnya, harga gandum, minyak nabati, dan pupuk melonjak di negara-negara yang bergantung pada impor. Rakyat di Afrika dan Asia Selatan jadi korban domino dari keputusan politik yang dibuat ribuan kilometer jauhnya.

Kedaulatan Pangan, Bukan Sekadar Ketahanan Pangan

Krisis pangan global bukan cuma soal kekurangan bahan makan, tapi soal siapa yang punya kendali atas produksi dan distribusinya. Negara-negara maju menguasai teknologi pertanian, pupuk, benih, hingga logistik global. Perusahaan multinasional seperti Cargill, Bayer, dan Nestlé punya pengaruh luar biasa besar terhadap sistem pangan dunia — bahkan lebih besar dari lembaga-lembaga internasional seperti FAO atau World Food Programme.

Di sinilah pentingnya konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) — yaitu hak setiap negara dan komunitas untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri. Negara berkembang nggak bisa terus bergantung pada “kebaikan” negara kaya yang kadang lebih mirip jebakan halus ketimbang bantuan tulus.

Beberapa negara mulai bergerak ke arah ini. India, misalnya, melindungi sektor pertanian lokalnya lewat kebijakan harga minimum bagi petani. Indonesia juga mencoba memperkuat ketahanan pangan nasional lewat diversifikasi sumber pangan — nggak cuma beras, tapi juga sagu, jagung, dan singkong. Namun, tantangan besar tetap ada: investasi asing dan proyek pangan skala besar sering kali mengorbankan petani kecil dan ekosistem lokal.

Dalam diplomasi global, negara berkembang perlu lebih berani menuntut keadilan pangan, bukan cuma bantuan pangan. Forum seperti G20 atau ASEAN bisa jadi ruang penting untuk menegosiasikan ulang tata kelola pangan dunia agar lebih setara. Karena selama sistem pangan global masih dikendalikan oleh segelintir negara dan korporasi, krisis pangan akan terus berulang — hanya berganti wajah dan wilayah.

Kita hidup di dunia di mana satu sisi berlimpah, sisi lain kelaparan. Negara kaya bisa membeli makanan apa pun, kapan pun, dari mana pun. Tapi di negara miskin, satu gagal panen aja bisa bikin ribuan orang jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem. Ini bukan takdir, tapi hasil dari sistem yang sengaja dibentuk supaya ketimpangan tetap ada.

Akhirnya, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Pertanyaan paling penting bukan lagi “apakah dunia bisa mengatasi kelaparan?”, tapi “apakah dunia mau mengubah sistemnya?”. Karena solusi teknis seperti bantuan pangan, inovasi pertanian, atau investasi hijau nggak akan cukup selama akar masalahnya tetap sama: ketimpangan struktural dan ego nasional.

Negara kaya harus berhenti memperlakukan pangan sebagai komoditas politik. Sementara negara berkembang harus memperkuat kerja sama regional dan menegaskan posisi tawarnya dalam diplomasi pangan global. Dunia nggak butuh belas kasihan — dunia butuh keadilan.

Krisis pangan global bukan karena bumi kekurangan sumber daya, tapi karena manusia kekurangan empati dan kebijakan yang adil. Dan selama negara kaya terus makan kenyang di atas sistem yang membuat negara lain lapar, dunia akan tetap hidup dalam paradoks: kenyang di satu sisi, kelaparan di sisi lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image