Perang Narasi: Bagaimana Media Jadi Senjata Baru Diplomasi
Politik | 2025-10-15 13:32:27Era Baru Diplomasi: Dari Ruang Rapat ke Ruang Digital
Dulu, diplomasi identik dengan negosiasi tertutup, pertemuan antar pejabat tinggi, dan komunikasi yang kaku lewat nota diplomatik. Tapi sekarang, permainan itu udah berubah total. Dunia diplomasi udah pindah ke ruang publik—tepatnya ke layar HP dan trending topic media sosial. Media, terutama platform digital, bukan cuma sarana penyebaran informasi, tapi udah jadi senjata utama dalam membentuk opini global.
Negara-negara kini nggak cuma bersaing dalam kekuatan militer atau ekonomi, tapi juga dalam penguasaan narasi. Siapa yang bisa membentuk persepsi publik dunia, dia yang memegang kendali. Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, bahkan Korea Selatan sadar betul hal ini. Mereka memanfaatkan media, baik konvensional maupun digital, buat memperkuat citra, menggiring opini, dan bahkan memengaruhi kebijakan negara lain secara halus tapi efektif.
Contohnya, saat invasi Rusia ke Ukraina, Kremlin aktif menyebarkan narasi lewat media dalam negeri dan jaringan berita seperti RT (Russia Today), menekankan versi mereka tentang “operasi militer khusus” alih-alih “invasi”. Di sisi lain, media Barat seperti CNN, BBC, dan Reuters membentuk opini sebaliknya: bahwa Rusia adalah agresor. Hasilnya? Dunia terbelah bukan cuma karena kepentingan politik, tapi juga karena perbedaan narasi yang dikonsumsi publik.
Soft Power 2.0: Narasi Jadi Amunisi Diplomasi
Diplomasi di era digital bisa dibilang udah masuk ke level Soft Power 2.0. Kalau dulu soft power berarti budaya, pendidikan, atau pariwisata, sekarang bentuknya bisa berupa content, trending tag, dan media campaign. Media nggak lagi netral, tapi jadi alat bagi negara untuk memoles citra dan menekan lawan secara halus.
Kita bisa lihat contohnya di “Perang Narasi” antara AS dan Tiongkok. Washington sering menggunakan retorika tentang demokrasi dan kebebasan pers sebagai nilai universal, sedangkan Beijing membalas dengan narasi “stabilitas dan pembangunan” sebagai bentuk keberhasilan sistemnya. Kedua narasi ini terus dipertarungkan lewat media, baik dalam bentuk pemberitaan, dokumenter, bahkan film dan influencer.
Selain itu, Tiongkok lewat CGTN dan China Daily berusaha membangun citra positif lewat narasi tentang kemajuan teknologi, proyek Belt and Road Initiative (BRI), serta kerja sama global yang “win-win”. Tapi di balik itu, banyak pengamat melihat adanya upaya narrative framing yang strategis—membangun citra sebagai negara dermawan, sekaligus menantang dominasi wacana Barat.
Nggak cuma negara besar yang bermain. Negara kecil pun ikut nimbrung lewat digital diplomacy. Misalnya, Ukraina di bawah Zelensky menggunakan Twitter dan Telegram buat membentuk simpati global. Zelensky bahkan memposisikan dirinya bukan cuma sebagai pemimpin negara, tapi juga influencer politik global. Strateginya berhasil—dukungan publik internasional terhadap Ukraina naik drastis berkat narasi digital yang kuat dan emosional.
Tantangan Etika dan Masa Depan Diplomasi Naratif
Meski keliatan keren, perang narasi juga punya sisi gelap. Manipulasi informasi, fake news, dan propaganda bisa menghancurkan kredibilitas media dan menciptakan ketidakpercayaan publik. Dalam jangka panjang, hal ini bisa bikin masyarakat bingung membedakan mana fakta, mana framing.
Dari perspektif hubungan internasional, perang narasi juga bisa menimbulkan konflik non-fisik yang dampaknya nggak kalah serius. Ketika satu negara berhasil mendominasi media global, maka ia juga mendominasi persepsi dunia. Akibatnya, diplomasi jadi tidak setara—negara dengan sumber daya media besar punya keunggulan naratif, sementara negara berkembang cenderung jadi objek framing, bukan subjek yang membangun citra sendiri.
Indonesia misalnya, meskipun punya potensi diplomasi publik yang besar, masih sering kalah dalam perang narasi global. Padahal, dengan populasi muda yang aktif di media sosial, Indonesia sebenarnya punya kekuatan digital luar biasa. Tantangannya adalah bagaimana mengarahkan potensi itu jadi strategi diplomasi naratif yang konsisten dan kredibel.
Ke depan, diplomasi bukan cuma soal siapa yang punya senjata atau ekonomi kuat, tapi siapa yang bisa mengendalikan cerita. Dunia akan terus bergerak ke arah di mana “narasi adalah kekuasaan.” Dalam konteks ini, diplomat masa depan bukan cuma harus jago negosiasi, tapi juga paham algoritma, media digital, dan psikologi publik. Karena di era ini, perang nggak lagi dimenangkan di medan tempur—tapi di timeline.
Ditulis Oleh : Dafina Adani
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
