Solusi Dua Negara: Ilusi Damai yang Menjauhkan Palestina dari Pembebasan
Lainnnya | 2025-10-14 22:32:35
Sudah lebih dari setahun sejak Thufanul Aqsha meletus pada 7 Oktober 2023, namun darah di Gaza belum berhenti menetes. Dunia terus menyorot tragedi kemanusiaan ini—mengutuk, menyesalkan, lalu kembali diam. Dalam berbagai forum internasional, termasuk KTT PBB di New York September 2025 lalu, mayoritas pemimpin dunia menyuarakan satu gagasan: solusi dua negara sebagai jalan damai bagi Palestina dan Israel.
Sekilas, usulan itu terdengar indah: dua negara hidup berdampingan, bebas dari kekerasan, dan saling mengakui. Namun di balik narasi diplomatis ini, tersembunyi ilusi yang berbahaya. Solusi dua negara sejatinya bukan jalan menuju kemerdekaan, melainkan mekanisme baru untuk melanggengkan penjajahan Zionis atas tanah kaum Muslimin.
Solusi yang lahir dari keputusasaan Barat
Amerika Serikat dan sekutunya menyadari bahwa kekuatan rakyat Gaza tak bisa dipatahkan oleh senjata. Maka strategi pun bergeser: bukan lagi melalui rudal dan bom, tapi lewat diplomasi dan kompromi. “Perdamaian” ditawarkan dalam bentuk pembagian wilayah, padahal hakikatnya hanyalah upaya menundukkan semangat jihad rakyat Palestina dan menghapus cita-cita pembebasan penuh.
Keteguhan rakyat Gaza yang menolak meninggalkan tanah mereka menjadi batu sandungan bagi ambisi penjajahan modern. Karena itu, solusi dua negara muncul sebagai bentuk soft power—cara halus untuk membuat Palestina tunduk tanpa perang.
Normalisasi Penjajahan lewat Abraham Accords
Narasi damai juga didorong melalui Abraham Accords, perjanjian normalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Arab sejak 2020. Ironisnya, setelah genosida Gaza semakin parah, negara-negara tersebut tetap mempertahankan hubungan diplomatik dengan penjajah. Mereka memilih kenyamanan politik dan keuntungan ekonomi ketimbang berdiri bersama saudaranya di Gaza.
Bahkan kini, dengan munculnya propaganda Abraham Accords 2.0, negara-negara Muslim lain seperti Saudi dan Indonesia pun mulai diseret untuk ikut dalam pusaran normalisasi. Padahal, perjanjian semacam itu hanyalah pembungkus baru bagi penjajahan lama.
Ketika Muslim Menukar Aqidah dengan Diplomasi
Lebih menyedihkan lagi, sebagian pemimpin negeri-negeri Islam ikut menggaungkan solusi dua negara seolah itu satu-satunya opsi realistis. Padahal Allah telah memperingatkan bahwa orang-orang kafir tidak akan berhenti menimbulkan mudarat bagi kaum beriman (Ali Imran: 118-119). Mengakui negara Israel sama saja dengan melegitimasi kejahatan yang dilakukannya atas kaum Muslimin.
Di saat rakyat Gaza bertahan dengan iman dan pengorbanan, sebagian umat justru terseret pada narasi palsu Barat yang membungkus penjajahan dengan kata “perdamaian”. Inilah wujud nyata penyakit *wahn*—cinta dunia dan takut mati—yang melemahkan umat.
Umat Islam harus berani menolak jebakan diplomasi ini. Solusi dua negara bukanlah solusi Islami, melainkan produk sistem sekuler yang memisahkan agama dari politik. Padahal, Palestina bukan hanya masalah kemanusiaan; ia adalah masalah aqidah.
Islam menawarkan jalan pembebasan yang hakiki: persatuan kaum Muslimin di bawah kepemimpinan yang satu, dan jihad fi sabilillah untuk membebaskan tanah yang dijajah. Inilah solusi yang bersumber dari wahyu, bukan dari meja perundingan penjajah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
