Digital, Hoaks, dan Kita: Merawat Bhinneka Tunggal Ika di Tengah Gejolak Demo Digital
Teknologi | 2025-10-12 15:35:35
Teknologi kini bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah arena tempat opini bertarung dan kebenaran diuji dalam hitungan detik. Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial dipenuhi video yang diklaim menampilkan anggota DPR menemui mahasiswa dalam aksi demo di Jakarta pada Agustus 2025. Video yang beredar tampak meyakinkan, ditambahi dengan narasi emosional dan komentar provokatif. Namun, seperti dikonfirmasi oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), video tersebut adalah rekayasa berbasis kecerdasan buatan (AI) sebuah manipulasi yang menegaskan bahwa dunia digital kini bisa memproduksi “realitas palsu” seolah nyata.
Menangkal hoaks hanyalah langkah awal; yang dibutuhkan saat ini adalah menghidupkan kembali nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika agar tetap berakar kuat di tengah derasnya arus informasi digital.
Hoaks: Luka Baru di Ruang Maya
Hoaks modern tidak lagi datang sebagai pesan berantai sederhana. Ia hadir dalam bentuk deepfake video, narasi “setengah benar”, hingga potongan visual yang dikemas dramatis. Dalam kasus demo DPR kemarin, bukan hanya satu, melainkan beberapa hoaks bermunculan yang dari kabar warga terkena peluru nyasar, hingga klaim bahwa TNI menyetujui pembubaran DPR, yang semuanya telah diklarifikasi bahwa berita yang menyebar tidak benar oleh Komdigi dan TNI.
Namun sayangnya, di dunia digital, kebenaran sering kalah cepat dari emosi. Sebelum klarifikasi resmi tersebar, jutaan pengguna sudah lebih dulu membagikan, mengomentari, bahkan memperdebatkan hoaks tersebut. Di sinilah racun halus itu bekerja, menanamkan rasa curiga, memperlebar jarak sosial, dan perlahan mengikis semangat kebersamaan.
Teknologi: Pisau Bermata Dua bagi Keberagaman
Teknologi tidak bersalah; manusialah yang menentukan bagaimana ia digunakan. Algoritma media sosial sejatinya dirancang untuk memperkuat apa yang kita sukai. Akibatnya, tanpa disadari, kita hidup dalam “gelembung gema” (echo chamber) — hanya mendengar pendapat yang sejalan dan menolak pandangan yang berbeda.
Inilah tantangan baru Bhinneka Tunggal Ika di era digital: bagaimana kita bisa tetap bersatu dalam perbedaan, meski dunia maya terus mempersempit pandangan kita.
Literasi digital menjadi senjata utama. Kita harus sadar bahwa:
- Viral tidak selalu berarti benar.
- Cek sumber adalah bentuk cinta tanah air.
- Perbedaan pendapat tidak harus berujung kebencian.
Langkah Nyata: Merawat Bhinneka di Dunia Digital
Menangani hoaks bukan sekadar urusan pemerintah, tetapi juga tanggung jawab warga digital. Komdigi memang telah melakukan take down konten bohong dan menggencarkan edukasi literasi digital, namun kesadaran masyarakat tetap menjadi kunci.
Kita bisa mulai dari langkah kecil:
- Tidak tergesa membagikan berita sebelum diverifikasi.
- Melakukan fact-check melalui situs resmi seperti Komdigi.go.id atau cekfakta.com, dan situs resmi lainnya.
- Membuat konten positif yang menonjolkan toleransi dan keberagaman.
- Melaporkan unggahan yang mengandung ujaran kebencian atau provokasi.
Jika di masa lalu Bhinneka Tunggal Ika lahir dari semangat menghargai perbedaan suku dan agama, maka hari ini ia harus hidup dalam bentuk toleransi digital — menghargai perbedaan opini dan sudut pandang di dunia maya.
Kita hidup di zaman ketika kebenaran bisa dimanipulasi oleh algoritma dan wajah seseorang bisa direka ulang oleh mesin. Tapi satu hal yang tak bisa digantikan oleh AI adalah nilai kemanusiaan dan persatuan.
Merawat Bhinneka Tunggal Ika berarti merawat nalar, empati, dan tanggung jawab kita sebagai warga digital. Saat kita menahan satu klik “share” terhadap konten yang belum jelas, sebenarnya kita sedang menjaga satu hal paling berharga: keutuhan Indonesia.
Karena di balik layar genggaman ini seperti di antara like, comment, dan share, ada masa depan persatuan bangsa sedang ditentukan oleh pilihan jempol kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
