Pajak Karbon Segera Diterapkan: Indonesia Siap Lawan Perubahan Iklim
Politik | 2025-10-12 13:58:12Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, sedang berhadapan dengan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Banjir bandang di Jakarta, kekeringan di Nusa Tenggara, dan naiknya permukaan air laut yang mengancam puluhan juta jiwa—semua ini bukan lagi cerita fiksi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kerugian akibat bencana alam terkait iklim mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Di tengah krisis ini, pemerintah berencana menerapkan pajak karbon sebagai senjata utama untuk memerangi emisi gas rumah kaca. Tapi, apakah langkah ini siap melindungi rakyat kecil dari beban ekonomi tambahan? Mari kita bedah lebih dalam.
Apa Sebenarnya Pajak Karbon Itu?
Bayangkan pajak karbon seperti "denda" untuk polusi. Secara sederhana, pajak ini dikenakan pada emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari aktivitas industri, transportasi, atau pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batu bara. Setiap ton CO2 yang dilepaskan ke udara akan dikenai tarif tertentu, misalnya Rp30 per kilogram CO2 setara (seperti yang diusulkan dalam draf regulasi).
Konsep ini bukan hal baru secara global. Sejak 1990-an, negara-negara seperti Swedia dan Kanada telah menerapkannya, dan hasilnya? Emisi karbon turun hingga 25% di beberapa sektor tanpa menghentikan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, pajak karbon diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Tujuannya jelas: mendorong perusahaan beralih ke energi terbarukan, seperti panel surya atau biofuel, sambil mengumpulkan dana untuk program lingkungan.
Menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pajak karbon bukan hanya pajak biasa. Pendapatannya akan dialokasikan untuk Just Energy Transition Partnership (JETP), kerjasama dengan negara maju senilai US$20 miliar, yang fokus pada transisi energi hijau. Target nasional? Net Zero Emission (NZE) pada 2060, sesuai komitmen Konferensi Perubahan Iklim COP26.
Timeline Implementasi: Sudah di Depan Mata
Pajak karbon di Indonesia tidak langsung diterapkan secara luas. Mulai 2022, pemerintah meluncurkan Skema Perdagangan Karbon (Carbon Trading) melalui Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon), yang lebih seperti "pasar jual-beli kuota emisi". Perusahaan yang emisinya rendah bisa menjual "izin" ke yang beremisi tinggi.
Namun, pajak karbon murni baru akan bergulir pada 2025, menyasar sektor beremisi tinggi seperti industri semen, baja, dan pembangkit listrik. Tarif awal diperkirakan Rp30/kg CO2, dengan potensi naik menjadi Rp200/kg pada 2030. KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memperkirakan, ini bisa mengurangi emisi hingga 41 juta ton CO2 per tahun pada 2030—setara dengan menanam jutaan pohon.
Tapi, jangan khawatir, bukan semua orang kena pajak ini. Rakyat kecil seperti petani atau pedagang pasar tidak langsung terdampak. Pajak ini lebih ditujukan pada korporasi besar, seperti PT Semen Indonesia atau PLN, yang bergantung pada batu bara.
Manfaat Ganda: Lingkungan dan Ekonomi Hijau
Pajak karbon bukan sekadar "pungutan tambahan". Ia bisa menjadi katalisator perubahan positif. Pertama, dari sisi lingkungan: Indonesia adalah penyumbang emisi CO2 terbesar ke-8 dunia (sekitar 1,4 miliar ton per tahun, data Global Carbon Project 2023). Dengan pajak ini, emisi bisa ditekan, mengurangi risiko bencana seperti yang dialami di Papua atau Sumatra baru-baru ini.
Kedua, manfaat ekonomi. Pendapatan pajak karbon diproyeksikan mencapai Rp100-200 triliun per tahun (estimasi Kemenkeu). Dana ini bisa digunakan untuk:
- Subsidi energi hijau bagi UMKM, seperti bantuan panel surya untuk nelayan.
- Program reboisasi dan konservasi hutan mangrove, yang melindungi 60 juta penduduk pesisir.
- Pelatihan kerja di sektor hijau, menciptakan jutaan lapangan kerja baru. Laporan World Bank menyebut, transisi energi bisa tambah 1-2% PDB Indonesia per tahun.
Contoh sukses dari British Columbia, Kanada: Pajak karbon mereka sejak 2008 justru meningkatkan inovasi, dengan perusahaan beralih ke listrik tenaga air dan mengurangi pajak pendapatan bagi warga berpenghasilan rendah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
