Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dikky Nugraha

Jembatan Antara Nama dan Makna

Alkisah | 2025-10-11 12:54:34
Sumber : Foto Pribadi Di edit Oleh ChatGPT Animasi 3D Chibi

Cinta terkadang datang membawa kehangatan, tapi setelahnya, hidup selalu menuntut arah. Aku pernah berpikir cinta cukup untuk membuat segalanya terasa ringan, namun waktu mengajarkan ada hal lain yang juga menunggu untuk dipilih: tanggung jawab dan nilai.

Dari perasaan yang tumbuh di sela-sela pengabdian, aku mulai dihadapkan pada kenyataan yang lebih sunyi: bahwa setiap cinta pada akhirnya akan diuji, bukan oleh jarak, tapi oleh keputusan yang menuntut kedewasaan.

Rasa yang dulunya menenangkan kini berubah jadi cermin, mencerminkan pertanyaan yang lebih dalam tentang arah, tentang panggilan hati, dan tentang siapa aku sebenarnya.

Mungkin inilah fase di mana cinta tak lagi cukup dijalani, tapi harus diterjemahkan dalam pilihan. Dan dari sanalah langkahku mulai menapaki bab baru: bab di mana nama, makna, dan nilai mulai bersinggungan.

BAB 3 — DI PERSIMPANGAN NILAI

Setiap perjalanan akan sampai pada titik di mana langkah terasa berat, bukan karena medannya menanjak, tapi karena hati harus memilih arah yang tak bisa ditempuh secara bersamaan.

Aku berdiri di antara dua jalan: satu adalah panggilan darah, tempat tanggung jawab dan masa lalu menunggu, yang lain adalah panggilan jiwa, dunia ide, gerakan, dan perubahan. Keduanya sama-sama memanggil, sama-sama berharga, tapi aku tahu, aku hanya bisa menapaki satu dengan sepenuh hati.

Mereka berkata, “Memimpin adalah kehormatan.” Namun aku tahu, kehormatan itu datang bersama badai tanggung jawab. Bukan sekedar posisi di depan barisan, melainkan ujian sejauh mana aku bisa tetap jadi manusia, di tengah sistem yang perlahan melunturkan hati nurani.

Di sisi lain, ada tanah tempat aku pertama kali belajar tentang arti pengabdian, tentang memberi tanpa pamrih, dan berjuang tanpa sorotan. Di sanalah akarku tumbuh, tapi entah kenapa mengomelku kini condong ke arah langit lain.

Kadang aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku harus memilih dunia yang membuatku dikenal, atau dunia yang membuatku tenang? Apakah aku harus mengejar nama, atau menjaga makna? Karena di dunia yang semakin bising, bertahan dengan nilai terasa lebih sulit dari sekedar menjadi hebat.

Lalu aku sadar, mungkin tidak ada pilihan yang benar-benar salah. Karena hidup bukan soal mencakup dua dunia, tapi tentang bagaimana kita bisa membawa cahaya dari satu dunia ke dunia lainnya. Jika aku memilih untuk memimpin, aku akan belajar menjadi jembatan. Jika aku memilih untuk kembali, aku akan menjadi akar yang menumbuhkan. Dua-duanya tetap pengabdian, hanya bentuknya yang berbeda.

Dan malam itu, sambil menatap secangkir kopi yang mulai dingin, aku berbisik pada diriku sendiri:

“Kau tidak harus menang di semua tempat. Cukup bertahan di jalan yang membuatmu tetap menjadi manusia.”

Mungkin keputusan itu tidak akan sempurna, tapi aku percaya.......Tuhan selalu menulis takdir terbaik, bukan untuk mereka yang paling kuat, melainkan untuk mereka yang paling tulus dalam bertahan.

Di mana semua pertempuran akhirnya kembali pada satu hal sederhana, bukan tentang jabatan, cinta, atau pengakuan tapi tentang siapa dirimu ketika semuanya telah usai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image