Pancasila, Wakaf, dan Distribusi Kesejahteraan
Filantropi | 2025-10-10 10:50:39
Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Founder Wakaf Insani Institute)
Terwujudnya kesejahteraan sosial secara adil dan merata menjadi tujuan kita bersama dalam berbangsa dan bernegara. Kita tidak menghendaki kekayaan negeri ini hanya dinikmati oleh sekelompok elit dan segelintir orang. Adil bukan berarti sama rata ala sosialisme, melainkan merata secara proporsional sesuai dengan hak dan kewajiban.
Pemusatan kekayaan pada individu akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terjadi ketimpangan sosial yang berpotensi melahirkan berbagai macam pelanggaran norma dan kejahatan. Bahkan, bukan tidak mungkin mengarah pada disintegrasi bangsa.
Arab Spring terjadi karena akumulasi kezaliman para pemimpin negara-negara Arab pada masanya. Rakyat tidak merasakan keadilan dan kesejahteraan. Situasi demikian mudah sekali dipantik meski dengan “api kecil” hingga terjadilah perpecahan dan perang saudara. Peristiwa Arab Spring harus menjadi pelajaran berharga bagi Bangsa Indonesia. Perpecahan itu pahit sekali dan mahal harganya.
Oleh karena itu, setelah pengamalan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Cak Nur, kita harus bersungguh-sungguh mengupayakan terwujudnya sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa itu, kita akan banyak menghadapi tantangan dalam menjaga persatuan Indonesia (sila ketiga). Pun akan berat sekali membangun kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua). Maka itu, tugas kenegaraan para pemimpin bangsa ini untuk bermusyawarah atas dasar hikmat dan kebijaksanaan (pengamalan sila keempat) guna merumuskan sistem yang berkeadilan agar terdistribusi kesejahteraan sosial secara adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Koruptor: Pengkhianat Bangsa
Cita-cita mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil dan merata terganjal oleh praktik korupsi yang masih terus merebak di negeri ini. Oknum elit politik dan pejabat negeri ini tanpa malu merampok uang rakyat secara serakah. Mereka menari dan tertawa di atas kondisi rakyat Indonesia yang sebagian masih terperangkap dalam pengapnya kemiskinan. Mereka si raja tega menyaksikan sebagian anak Indonesia harus putus sekolah karena orangtuanya tidak sanggup membayar mahalnya biaya pendidikan.
Karena itu, saya menyebut para koruptor sebagai pengkhianat bangsa. Jika dahulu zaman perang kemerdekaan, para pengkhianat berkomplot dengan penjajah untuk melemahkan perjuangan kemerdekaan dari dalam. Hari ini para koruptor tak beda jauh. Mereka melemahkan ketahanan bangsa dan negara dari dalam dengan merampok uang rakyat.
Kita sulit menalarnya bagaimana bisa oknum pejabat Mahkamah Agung menerima suap dan gratifikasi sampai nyaris satu triliun rupiah. Di mana hati nuraninya? Korupsi timah yang nilainya mencapai ratusan triliunan rupiah. Demikian juga dengan kasus korupsi pertamax oplosan yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Ini hanya contoh kecil perilaku bejat para koruptor yang menyayat dan mengiris hati Bangsa Indonesia.
Jadi, rasanya tidak berlebihan menyebut para koruptor kelas kakap sebagai pengkhianat bangsa dan perjuangan para pahlawan yang dulu merebut kemerdekaan. Dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa, hukuman yang pantas bagi pengkhianat bangsa adalah hukuman mati. Lantas, perlukah para koruptor kelas kakap di Indonesia dihukum mati? Para pakar hukum pidana dan pemimpin bangsa ini mungkin perlu mengkajinya secara mendalam.
Yang jelas selama korupsi masih merajalela, sulit bagi kita membangun bangsa demi mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena, pada satu sisi kita berusaha mengurangi kemiskinan. Namun, pada sisi lain ada yang memproduksi kemiskinan. Kita akan seperti berjalan dalam labirin yang tidak tahu di mana titik ujungnya.
Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial
Ketika para pemimpin bangsa ini masih bergulat memberantas korupsi dan kolusi, apa yang bisa kita lakukan untuk bisa mewujudkan kesejahteraan sosial? Menurut saya, kita bisa menggunakan pendekatan kultural. Bangsa ini sedari dulu sudah memiliki nilai-nilai luhur, seperti kedermawanan sosial. Sudah banyak riset yang menempatkan Bangsa Indonesia dalam posisi tertinggi pada aspek kedermawanan sosial. Inilah modal sosial kita dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.
Sebagai contoh, umat Islam Indonesia telah terbiasa mengamalkan ajaran zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Ziswaf adalah instrumen ekonomi Islam agar harta tidak berputar-putar di kalangan orang-orang kaya saja, melainkan dialirkan kepada orang-orang yang lemah secara ekonomi (QS. 59: 7).
Dalam konteks distribusi kesejahteraan sosial, salah satu instrumen ekonomi Islam yang penting menjadi perhatian adalah wakaf. Ajaran wakaf mengajak para pemilik harta agar melepaskan hak kepemilikan sebagian hartanya untuk kemaslahatan umat demi mencapai kebajikan sempurna (QS. 3: 92).
Sebagai contoh praktik pelaksanaan ajaran wakaf, kita bisa merujuk langsung pada awal mula ajaran ini disyariatkan. Ketika turun QS. 3: 92, Zaid bin Sahl, yang populer dengan sebutan Abu Thalhah, segera menemui Nabi Muhammad SAW untuk mewakafkan aset terbaik yang dimilikinya. Ia mewakafkan kebun Bairuha yang letaknya sangat strategis.
Kebun Bairuha adalah kebun kurma yang paling dicintai dan dibanggakan Abu Thalhah karena menghasilkan panen memuaskan. Namun demikian, begitu mendengar QS. 3: 92, dengan hati yang teguh, Abu Thalhah mewakafkannya untuk kepentingan umat. Nabi Muhammad SAW menerimanya dengan senang hati.
“Inilah harta yang berkah,” demikian kalimat Nabi Muhammad SAW. Kemudian, beliau mengamanahkan pengelolaan kebun itu kepada Abu Thalhah. Dalam hal ini, selain sebagai wakif (orang yang berwakaf), Abu Thalhah juga bertindak sebagai nazhir (pengelola aset wakaf) karena kompetensinya. Namun, secara kepemilikan sudah bukan milik Abu Thalhah lagi, melainkan menjadi milik umat.
Bayangkan betapa berkahnya wakaf. Abu Thalhah, sebagai nazhir, tetap mendapatkan bagian hasil kebunnya sebagai kompensasi profesional (bukan lagi sebagai pemilik), dan dia juga telah tercatat berwakaf di jalan kebaikan. Selama kebun Bairuha menghasilkan panen yang dimanfaatkan hasilnya untuk umat, maka selama itu pula Abu Thalhah mendapat aliran pahalanya.
Pada masa itu, kebun kurma adalah aset yang sangat berharga. Kebun kurma merupakan aset produktif yang mendatangkan keuntungan besar. Jika kita sepadankan dengan masa sekarang, mewakafkan kebun sama dengan mewakafkan perusahaan.
Wakaf perusahaan adalah salah satu model wakaf produktif yang akan mendatangkan manfaat besar bagi umat. Karena, perusahaan itu produktif menghasilkan profit yang berkelanjutan selama dikelola secara amanah dan profesional oleh lembaga wakaf (nazhir).
Profit inilah yang menjadi surplus wakaf untuk disalurkan membiayai layanan kebutuhan mendasar, seperti bantuan sembako, layanan kesehatan, dan pendidikan gratis bagi orang-orang tidak mampu. Bayangkan, jika para pengusaha negeri ini yang memiliki perusahaan lebih dari satu, kemudian mewakafkan salah satunya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia. Maka, masyarakat Indonesia memiliki aset-aset strategis sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
