Ketika AI Mulai Ngoding: Apakah Mahasiswa Masih Butuh Real Coding?
Teknologi | 2025-10-09 16:02:14
Dulu, mahasiswa Informatika sering identik dengan kopi dingin, tab error yang numpuk di Visual Studio Code, dan rasa lega luar biasa saat satu fungsi akhirnya jalan. Sekarang suasananya beda banget. AI seperti GitHub Copilot, ChatGPT, Replit Ghostwriter, sampai Cursor mulai ikut campur dalam proses “berkeringat” itu. Kita nggak lagi harus hafal ribuan sintaks. Tinggal ketik, “buat aplikasi absensi berbasis Python dengan login,” dan boom! kode langsung muncul.
Fenomena ini sering disebut vibe coding, yaitu gaya ngoding yang lebih santai dan berbasis bahasa alami. Beda dengan cara lama yang menekankan algoritma dan logika murni, metode ini lebih banyak menyerahkan detail ke AI. Sedangkan real coding masih berpegang pada pemahaman penuh tentang struktur dan logika. Nah, di titik ini muncul pertanyaan: kalau AI sudah sejago itu, apakah mahasiswa masih perlu belajar real coding?
Vibe Coding: Gaya Baru yang Menggoda
Sejak GitHub Copilot muncul, cara orang ngoding berubah drastis. Banyak mahasiswa yang lebih suka ngobrol sama AI lewat prompt daripada menulis kode dari awal. Jujur aja, rasanya memang lebih ringan. Cukup kasih satu perintah, AI bisa bantu bikin fungsi, kasih saran, bahkan benerin bug yang bikin stres.
Saya sering lihat fenomena ini di sekitar kampus. Beberapa teman bilang, “lebih cepat ngerjain proyek sekarang,” tapi di sisi lain mereka juga bingung kenapa kodenya bisa jalan. Dari sini muncul refleksi penting: apakah kita masih benar-benar belajar memahami logika di balik kode, atau cuma “nebeng pintar” sama AI?
Real Coding: Lebih dari Sekadar Menulis Kode
Menurut saya, real coding itu bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling paham. Saat kita nulis kode dari nol, sebenarnya kita lagi melatih cara berpikir. Kita belajar menganalisis masalah, nyusun algoritma, dan memastikan efisiensi serta keamanan tiap langkah yang kita buat.
Ada hal-hal yang nggak bisa digantikan AI contohnya kayak rasa penasaran waktu debugging, kebiasaan mikir runtut, dan kesadaran bahwa setiap baris kode punya tanggung jawab. Mahasiswa yang terbiasa ngoding manual biasanya lebih sensitif sama detail dan nggak gampang menyerah waktu nemu error. Kalau terlalu bergantung pada AI, bisa-bisa kita cuma jadi operator prompt tanpa ngerti apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
Risiko yang Sering Diabaikan
AI memang mempermudah banyak hal, tapi bukan berarti selalu benar. Banyak kode hasil AI yang kelihatannya rapi, tapi ternyata nggak efisien atau malah rentan bug. Kadang AI juga “ngarang halus,” dan itu bisa bahaya kalau kita nggak ngecek ulang.
Selain itu, kebiasaan bergantung pada AI bisa bikin kemampuan dasar kita tumpul. Kalau semua dikerjakan mesin, kita bisa kehilangan naluri untuk berpikir kritis dan membangun logika sendiri. Padahal di dunia kerja, kemampuan analisis dan tanggung jawab terhadap hasil itu justru yang paling dicari.
Tantangan Baru di Dunia Pendidikan Informatika
Menurut saya, kampus-kampus di Indonesia harus mulai menyesuaikan cara mengajar pemrograman di era AI ini. Melarang penggunaan AI sepenuhnya itu nggak realistis, tapi membiarkan tanpa arah juga bahaya.
Dosen bisa kasih tugas reflektif: mahasiswa boleh pakai AI, tapi harus bisa jelaskan gimana logika kodenya bekerja dan kenapa solusi itu dipilih atau latihan debugging dari kode hasil AI, biar mahasiswa belajar memperbaiki dan memahami alasan di balik perubahan yang mereka buat.
Dengan cara ini, mahasiswa nggak cuma jadi pengguna pasif, tapi juga belajar mengkritisi dan mengarahkan teknologi. Tujuannya bukan menolak AI, tapi biar kita bisa tetap berpikir mandiri meskipun dibantu mesin.
Penutup
Buat saya pribadi, AI bukan ancaman buat mahasiswa Informatika. Justru ini tantangan baru. Memang AI bisa menulis kode lebih cepat dan terlihat lebih rapi, tapi yang lebih penting adalah seberapa dalam kita paham logika di baliknya, dan seberapa tanggung jawab kita terhadap hasilnya.
Teknologi akan terus berkembang, dan AI bakal makin pintar. Tapi arah dan maknanya tetap ditentukan manusia. Karena pada akhirnya, mesin bisa meniru cara kita bekerja, tapi nggak akan pernah bisa meniru rasa ingin tahu dan semangat belajar yang bikin kita jadi engineer sesungguhnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
