Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Indonesia Butuh 100 Ribu Doktor Baru: Investasi Strategis Menuju Indonesia Emas 2045

Eduaksi | 2025-10-06 22:15:50

Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi dan daya saing riset nasional. Berdasarkan data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2024, terdapat sekitar 320 ribu dosen di seluruh Indonesia. Namun, dari jumlah tersebut hanya sekitar 48 ribu orang (15 persen) yang telah bergelar doktor (S3).

Padahal, menurut pedoman Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan standar internasional, rasio ideal dosen bergelar doktor minimal 40 persen. Dengan demikian, Indonesia membutuhkan tambahan sekitar 80 ribu hingga 112 ribu doktor baru agar sejajar dengan negara-negara ASEAN yang telah lebih dulu menempatkan riset dan inovasi sebagai motor penggerak pembangunan.

Malaysia, misalnya, sudah menargetkan 40 persen dosen bergelar doktor pada tahun 2030, sementara Thailand mencapai 35 persen sejak 2022. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam jumlah peneliti dan pendidik berkualifikasi tinggi yang berperan penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Investasi SDM: Rp40–56 Triliun untuk 10 Tahun

Pendidikan doktor bukan sekadar peningkatan jenjang akademik, melainkan investasi jangka panjang dalam kualitas sumber daya manusia. Biaya pendidikan doktor, baik di dalam maupun luar negeri, rata-rata berkisar antara Rp400 juta hingga Rp500 juta per orang. Jika Indonesia berkomitmen mencetak 100 ribu doktor baru dalam 10 tahun, total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp40–56 triliun.

Nilai ini tampak besar, tetapi bila dibandingkan dengan anggaran pendidikan nasional 2025 yang mencapai Rp665 triliun, alokasinya hanya sekitar 0,8 persen per tahun—jumlah yang sepenuhnya rasional untuk membangun fondasi keilmuan bangsa.

Pemerintah dapat menjalankan program ini secara bertahap melalui skema nasional seperti Program Nasional Doktor Indonesia (PNDI), memperkuat beasiswa LPDP dan Dikti, serta menggandeng pemerintah daerah dan industri melalui skema kolaboratif pendanaan berbasis kebutuhan wilayah.

Pemerataan dan Penguatan Perguruan Tinggi Daerah

Distribusi dosen doktor yang timpang juga menjadi persoalan mendasar. Sebagian besar dosen bergelar doktor terkonsentrasi di perguruan tinggi besar di Pulau Jawa, sedangkan perguruan tinggi daerah masih kekurangan sumber daya akademik berkualifikasi tinggi.

Misalnya, universitas-universitas di wilayah Kabupaten Bogor seperti Universitas Pakuan, Universitas Djuanda, dan Universitas Nusa Bangsa, masih membutuhkan lebih banyak dosen bergelar doktor agar mampu memperkuat kapasitas riset dan publikasi ilmiah. Hal serupa terjadi di banyak kampus swasta dan negeri di luar Jawa.

Jika satu doktor mampu menghasilkan rata-rata 10 publikasi ilmiah, 3 inovasi riset, dan membina 100 mahasiswa setiap tahun, maka keberadaan 100 ribu doktor baru berpotensi melahirkan lebih dari satu juta karya ilmiah dan inovasi baru dalam satu dekade. Dampak ini tidak hanya meningkatkan reputasi akademik nasional, tetapi juga memperkuat basis pengetahuan lokal dan ekonomi berbasis riset di daerah.

Langkah Strategis dan Kebijakan yang Diperlukan

Untuk merealisasikan visi besar ini, beberapa langkah strategis perlu segera ditempuh:

  1. Membangun Program Nasional Doktor Indonesia (PNDI) sebagai payung utama pengembangan dosen dan peneliti, dengan target pemerataan di semua provinsi.
  2. Menetapkan skema 70:30, di mana 70 persen calon doktor dididik di dalam negeri dan 30 persen di luar negeri untuk memperkuat jejaring riset global.
  3. Mendorong program percepatan (fast track) S2–S3 bagi dosen muda berprestasi agar proses regenerasi akademik berjalan cepat dan efisien.
  4. Mengintegrasikan industri dan pemerintah daerah dalam pembiayaan beasiswa berbasis kebutuhan lokal, misalnya Beasiswa Doktor Jabar atau Program Doktor untuk Desa Inovatif.
  5. Memperkuat infrastruktur riset nasional, terutama laboratorium, pusat data, dan akses publikasi agar hasil penelitian para doktor benar-benar memberi dampak sosial dan ekonomi.

Membangun Peradaban Ilmu

Membangun 100 ribu doktor bukan semata soal angka, tetapi tentang menanam benih peradaban ilmu pengetahuan. Negara yang kuat adalah negara yang menempatkan pengetahuan sebagai fondasi kemajuan. Jepang, Korea Selatan, dan Jerman menunjukkan bahwa kemakmuran tidak lahir dari kekayaan sumber daya alam, melainkan dari investasi jangka panjang dalam pendidikan tinggi dan riset.

Indonesia memiliki modal sosial, ekonomi, dan politik yang cukup untuk melakukan lompatan sejarah ini. Yang dibutuhkan kini adalah komitmen kebijakan dan arah strategis yang berkelanjutan.

Jika 20 tahun ke depan Indonesia mampu melahirkan 100 ribu doktor baru, maka kita tidak lagi hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi produsen gagasan, inovasi, dan kebijakan berbasis riset.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image