Loneliness in The Crowd: Ramai di Dunia Maya, Sepi di Dunia Nyata
Agama | 2025-10-06 13:09:43
Fenomena “loneliness in the crowd” atau merasa kesepian di tengah keramaian banyak dialami generasi muda saat ini. Meski mereka hidup di era serba terhubung lewat media sosial, kenyataannya banyak yang merasa hampa, tidak punya teman yang benar-benar dekat, dan sulit menemukan makna dalam interaksi sosial.
Hal tersebut diperkuat Survei Into The Light (2023) mencatat 67 persen Gen Z Indonesia merasa kesepian meski aktif di media sosial. Laporan Jakpat (2023) juga menyebut 57 persen anak muda usia 18–30 tahun merasa “sendiri di tengah keramaian digital”. Fakta ini menunjukkan interaksi digital tak berbanding lurus dengan kedekatan emosional. Seperti pepatah: ramai di layar, sunyi di hati.
Era digital menjadikan gawai sebagai bagian integral dari kehidupan. Termasuk Generasi Z yang dianggap sebagai kelompok yang paling banyak menggunakan HP, yakni rata-rata 6 jam lebih per hari. Meski wajah mereka menatap gawai dan jari mereka sibuk di sana, namun hati mereka sesama warganet tak terhubung.
Di sisi lain, rasa sepi, bahkan insecure, dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk menangguk materi sebanyak-banyaknya. Konten 'kesepian' ramai diproduksi. Banyak penonton, banyak pengikut (follower), banyak pula cuan yang masuk. Tak melihat lagi apakah si pembuat konten tersebut adalah seseorang yang benar-benar sakit dan membutuhkan bantuan, atau hanya sekadar tayangan untuk mendapat keuntungan materi.
Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY. Mereka melakukan riset berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual".
Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih 'nyata' daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang.
Sekularisme Memalingkan Pandangan
Fenomena sepi di tengah hiruk-pikuk bermedia sosial, bukan hanya karena kurangnya literasi digital dan manajemen pemakaian gawai. Namun arus sosial media yang dihasilkan kapitalis, membuat seseorang tak lagi berpijak di bumi. Mereka berusaha eksis di sana. Tak peduli benar atau salah, algoritma media mencengkeramnya tanpa belas kasihan.
Alhasil ia merasa terasing di dunia nyata, sikapnya menjadi asosial dan sulit bergaul. Tidak lebur dengan keluarga dan kerabat, pun tak mampu membaur dengan masyarakat. Jika dibiarkan, maka umat akan mengalami kerugian, sebab hilang potensi baik yang dimiliki pemuda untuk melahirkan buah karya dan prestasi, sebagai bahan baku peradaban.
Sebaliknya generasi pun akan menjadi lemah tak berdaya, terjebak pada keterasingan yang panjang hingga menyebabkan gangguan kejiwaan (mental illness), gagap menghadapi seluruh permasalahan hidup dan terus berusaha mendapatkan validasi manusia meskipun pemikirannya keliru.
Interaksi dunia maya pun hanya superficial, kamuflase, tidak mengikat hubungan antara satu manusia dengan lainnya. Akibatnya Gen Z mengalami tekanan ekspektasi semu, merasa harus tampil bahagia, produktif, dan sukses di hadapan sejawat online-nya, meski dalam kehidupan nyata yang terjadi justru sebaliknya.
Solusi Islam
Sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Maka dalam keseharian pun ia membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka di tangan Islam, media sosial dapat dijadikan sebagai salah satu jalan untuk interaksi. Bahkan darinya, dakwah dapat tersebar dengan mudahnya, keilmuan pun menyentuh banyak kepala dan hati dalam waktu yang sangat cepat. Media sosial yang tegak di atas syariat, akan melahirkan kebaikan.
Alhasil perasaan pun dapat terhubung di dunia maya, sebagaimana layaknya dunia nyata, dengan konten positif yang membangkitkan pemikiran. Bukan tayangan remah-remah, yang mengeksploitasi perasaannya sendiri, membuatnya egosentris dan mati rasa, tak mampu empati pada permasalahan umat.
Jika sekularisme menghasilkan sikap individualis, maka Islam membentuk kepedulian, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Islam mendorong ukhuwah, dan interaksi yang dibangun dalam kerangka takwa. Islam mengikat satu individu dengan lainnya dengan ikatan akidah, bukan algoritma.
Karenanya seseorang yang tampak sakit batinnya, segera mendapatkan bantuan medis, konseling dan pengobatan, serta tidak akan membiarkannya curhat di dunia maya. Negara berwenang menjaga kesehatan jiwa, melalui tayangan yang bermanfaat dan tidak merusak akal dan keimanan, serta memberikan kehidupan yang penuh dengan ketenangan sebab sejalan dengan petunjuk Allah SWT.
Islam membentuk komunitas (jamaah) yang menjadi wadah bagi pengembangan seluruh potensi baik manusia. Oleh sebab itu, kehidupan dalam Islam akan menghasilkan thyras (corak kehidupan) yang khas, yang lahir dari peradaban gemilang.
Komunitas dakwah atau masjid bisa menjadi keluarga, sebagaimana dahulu Masjid Nabawi menjadi pusat interaksi sosial. Orang yang sendirian akan menemukan keluarga besar di sana. Rasulullah ﷺ memosisikan masjid sebagai tempat menumbuhkan ukhuwah.
Rasulullah ﷺ langsung menyelesaikan ini dengan ta’akhī (mempersaudarakan) Muhajirin dan Anshar. Sebagaimana Abdurrahman bin ‘Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’. Pun Rasulullah tidak akan membiarkan seseorang merasa kesepian, beliau saw. merangkulnya agar tetap menjadi bagian dari umat. Sebagaimana sahabat bernama Abu Dzar al-Ghifari dikenal penyendiri. Ia pun dibimbing oleh Rasulullah ﷺ dan mendoakannya agar ia tidak kesepian di akhir hidupnya.
Dalam Islam, umat memiliki identitas kolektif yaitu sebagai ummatan wahidatan (umat yang satu). Identitas ini memberi rasa kebersamaan, sehingga hampir mustahil ada fenomena “kesepian di tengah keramaian” seperti yang terjadi di masyarakat modern saat ini. Maka Islam harus selalu dijadikan sebagai identitas utama, di manapun ia berada, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Negara mengendalikan informasi dan mendorong dunia digital terlibat aktif di dalam aktivitas perubahan. Konten yang berkelindan pun hanya untuk kemuliaan Islam. Karenanya sudah saatnya generasi bergabung dengan komunitas dakwah untuk mempersembahkan potensi dirinya, mempelajari literasi digital, dan memanfaatkan kerja algoritma, untuk meninggikan kalimatullahu. Allahumma ahyanaa bil Islam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
