Tabola Bale dan Wajah Indonesia yang Bahagia
Trend | 2025-10-06 08:32:38
Lagu “Tabola Bale” menjadi fenomena menarik dalam lanskap budaya populer Indonesia. Dikenal dengan lirik yang sederhana namun jenaka, lagu ini berhasil menembus batas-batas lokalitas dan menjadi simbol kebersamaan nasional. Dibuka dengan ungkapan dari bahasa daerah Nusa Tenggara Timur:
“Lia ade nona makin gaga bikin kaka jadi suka. Dulu ade rambu kepang dua sekarang rambu mera mera... Kaka tabola bale, lia ade nona e, su makin menyala e, kaka hati susah e...”
Lirik tersebut menampilkan suasana ceria yang penuh kehangatan, menggambarkan keseharian masyarakat dengan gaya yang ringan dan humoris. Seperti yang dijelaskan Drs. Study Rizal L. Kontu dalam artikelnya di Kompasiana, lirik “Tabola Bale” tidak hanya memotret kisah cinta remaja, tetapi juga mencerminkan “rasa gembira yang lahir dari keragaman ekspresi budaya.”
Fenomena ini mencapai puncaknya ketika “Tabola Bale” dinyanyikan di Istana Merdeka pada peringatan HUT RI ke-80. Momen sakral tersebut berubah menjadi ruang publik yang cair—Presiden, pejabat negara, dan tamu undangan tampak ikut berjoget bersama. Kejadian itu, menurut Study Rizal, memperlihatkan bagaimana budaya populer bekerja sebagai bahasa politik. Lagu yang lahir dari ekspresi lokal anak muda Timur “diangkat menjadi simbol kebersamaan nasional,” sekaligus memperlihatkan bagaimana negara menggunakan ekspresi budaya untuk menampilkan wajah Indonesia yang bahagia dan inklusif.
Namun, di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan: Apakah simbol kebersamaan ini sejalan dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia Timur? Di sinilah pendekatan komunikasi kritis menjadi penting. Budaya yang dirayakan secara nasional belum tentu diikuti oleh pemerataan sosial dan ekonomi. Seperti yang dikatakan Study Rizal, “pengakuan simbolik tidak selalu berbanding lurus dengan keadilan struktural.”
Selain sebagai simbol politik, viralnya lagu ini juga menggambarkan logika kapital media digital. Dengan jutaan penayangan di YouTube dan TikTok, “Tabola Bale” menjadi komoditas yang menguntungkan platform digital, sementara pencipta lagunya belum tentu memperoleh keuntungan yang sepadan. Fenomena ini menimbulkan kontradiksi budaya digital: di satu sisi membuka ruang ekspresi, namun di sisi lain tetap menyisakan ketimpangan bagi para kreator dari daerah.
Akhirnya, “Tabola Bale” tidak sekadar lagu hiburan, tetapi ruang negosiasi antara kekuasaan negara, masyarakat lokal, dan industri digital global. Ia menjadi simbol bahwa musik dapat berbicara tentang politik dan identitas tanpa kehilangan keceriaan dan kehangatannya. Sebagaimana ditulis Study Rizal, “Tabola Bale adalah bukti bahwa budaya populer tidak pernah netral... Ia bisa menjadi jembatan kebersamaan, bisa pula alat legitimasi.”
Melalui fenomena ini, kita diingatkan bahwa kebahagiaan nasional seharusnya tidak berhenti pada simbol di istana, melainkan harus dirasakan nyata oleh seluruh rakyat Indonesia—terutama mereka yang selama ini bersuara dari pinggiran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
