Memeluk Warisan dengan Kode: Urgensi Digital Humanities (DH) di Bumi Pertiwi
Teknologi | 2025-10-05 21:00:36
Indonesia adalah permadani budaya yang terajut dari ribuan pulau, bahasa, dan tradisi. Namun, di tengah gemuruh modernisasi, kekayaan tak ternilai ini menghadapi ancaman nyata: kepunahan tanpa jejak. Inilah seruan mendesak yang mengemuka dalam diskusi mengenai Digital Humanities (DH)—sebuah disiplin ilmu baru yang menawarkan harapan dan strategi untuk penyelamatan warisan bangsa.
Diskusi ke-21 yang diinisiasi bersama STIT Sunan Giri Bima, IAI Rawa Aopa Konawe Selatan, dan direktur IUCSRS, Ismail Suardi Wekke, PhD, ini menyoroti posisi DH di Indonesia. Narasumber, Bapak Muhammad RQIB S.S MA Ph.D dari Universitas Negeri Surabaya, menegaskan bahwa DH bukan sekadar tren teknologi, melainkan sebuah kebutuhan krusial untuk memandang dan memelihara budaya Indonesia secara utuh (Sabtu, 4 Oktober 2025).
Digital Humanities: Jembatan Antar Ilmu dan Kode
Mas Rokib mendefinisikan DH sebagai disiplin yang interdisipliner. Ia adalah upaya meleburkan berbagai bidang ilmu humaniora—seperti sastra, sejarah, budaya, filsafat, antropologi, dan sosiologi—dengan alat dan metode digital, terutama yang bersifat komputasional. Tujuan utamanya: memecahkan masalah atau mengeksplorasi suatu topik yang mustahil diurai hanya dengan satu kacamata keilmuan tunggal.
DH lahir dari kesadaran bahwa disiplin ilmu tradisional seringkali "berbicara sendiri-sendiri." DH menawarkan cara pandang baru yang holistik dan mendalam, memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk melihat fenomena budaya dari berbagai perspektif sekaligus.
Mengapa Indonesia Membutuhkan DH Sekarang Juga
Urgensi Digital Humanities di Indonesia didasarkan pada empat pilar utama:
Pertama, Kekayaan Budaya yang Terancam Punah. Indonesia adalah gudangnya nilai dan produk kebudayaan, mulai dari benda material hingga folklor tak benda. Sayangnya, banyak warisan ini lenyap tanpa sempat dikaji serius. DH hadir sebagai benteng pertahanan terakhir untuk mengarsip dan mendokumentasikan kekayaan ini.
Kedua, Keterbatasan Disiplin Tunggal. Fenomena budaya yang kompleks memerlukan pendekatan terpadu. Disiplin ilmu mapan seperti arkeologi atau antropologi seringkali berdiri sendiri. DH memfasilitasi kolaborasi antar-ilmuwan untuk menghasilkan studi yang lebih kaya.
Ketiga, Harta Karun yang Belum Terarsip. Bayangkan, hanya dari Jawa Timur, telah terkumpul lebih dari 1087 cerita rakyat tentang sumber pangan, namun data tersebut belum selesai diolah. Contoh lain adalah kerajinan tangan dari lontar (yang dulunya kertas kuno) dan inskripsi-inskripsi di berbagai daerah yang belum didokumentasi rapi. Bahkan, pengobatan tradisional kita yang kaya di iklim tropis berisiko hilang karena tidak dicatat secara profesional, berkaca pada hilangnya sebagian besar dari 10 jilid buku Herbasium Amboinis dari Maluku.
Keempat, Pergeseran Peradaban dan Pendidikan. Di era banjir informasi, pengetahuan tidak lagi tunggal. Buku mulai tergeser oleh media digital yang lebih praktis. DH memastikan bahwa khazanah lokal kita tidak tenggelam dalam lautan konten global. Bahkan, alat digital seperti Generative AI dapat menjadi "guru" yang sabar menjelaskan materi rumit, menunjukkan potensi besar medium digital jika digunakan secara arif.
Fungsi Nyata DH: Dari Peta hingga Probabilitas AI
Penerapan Digital Humanities telah membuktikan dampaknya di berbagai bidang:
Pertama, Analisis Teks Kuantitatif. Menggunakan komputasi untuk membandingkan teks dalam jumlah besar, misalnya, mencari pola-pola unik dalam sastra Balai Pustaka dengan sastra tahun 2000-an, dan menyajikannya dalam bentuk visualisasi.
Kedua, Pemetaan Geografis (Geomapping). Seperti yang dilakukan dalam proyek Sains Budaya, DH memungkinkan visualisasi sebaran cerita rakyat atau folklor secara geografis.
Ketiga, Verifikasi Teks Kuno. Di Eropa, DH berperan vital dalam menganalisis kertas, teks, dan metadata untuk memverifikasi umur artefak bersejarah (misalnya, klaim Al-Qur'an tertua). Proyek seperti Corpus Quranikum di Berlin menggunakan analisis komputasi untuk membandingkan berbagai versi teks, menyajikan data sebagai fakta.
Keempat, Bantuan AI untuk Warisan Visual. Kini, DH mulai menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat probabilitas, contohnya dalam memotret dan meng-capture relief Borobudur untuk mengidentifikasi cerita historis yang tersembunyi di dalamnya.
Tantangan dan Jalan Ke Depan
Ismail Suardi Wekke menyambut hangat diskussi terkait DH, ia melihatnya sebagai sarana untuk mengungkap dan mengeksplorasi karya-karya abad lampau. Beliau menekankan bahwa perguruan tinggi di Indonesia harus memiliki keunggulan komparatif dengan berfokus pada kekayaan budaya lokal, seperti kesuksesan platform digital dalam membawa musik dari Indonesia Timur ke mata dunia.
Menanggapi tantangan stagnasi intelektual dan minimnya perhatian terhadap budaya lokal:
Pertama, Strategi Jangka Panjang. DH harus didirikan sebagai bidang konsentrasi keilmuan yang spesifik berfokus pada khazanah kebudayaan Indonesia.
Kedua, Strategi Jangka Pendek. Memperbanyak diskusi dan publikasi kontinu di media sosial dan kanal lainnya. Tujuannya adalah mendokumentasikan dan menyampaikan pesan budaya, bahkan jika respons publik tidak langsung masif.
Ketiga, Pentingnya Repositori Nasional. Prof. Wekke mengingatkan agar dokumentasi digital tidak hanya mengandalkan platform asing, tetapi disimpan di repositori nasional atau website dengan domain dan hosting berbayar untuk menjamin keberlanjutan. Dosen muda juga disarankan untuk segera memperbaiki dan mengelola etalase karya mereka di platform kredibel seperti ORCID ID dan Research Gate.
Digital Humanities bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan digital bagi Indonesia. Dengan menggandeng teknologi dan komputasi, kita tidak hanya mengarsip masa lalu, tetapi juga memberikan napas baru dan relevansi bagi warisan budaya agar tetap hidup dan bersinar di masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
