Data Pribadi: Aset Bangsa yang Masih Rentan?
Teknologi | 2025-10-05 01:19:41Di era digital seperti sekarang, hampir setiap aspek kehidupan manusia terhubung dengan data. Mulai dari data akademik, catatan kesehatan, hingga aktivitas belanja online, semuanya tersimpan dalam sistem digital yang saling terhubung. Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan ancaman besar, yaitu kebocoran data pribadi.
Kebocoran Data dan Krisis Kepercayaan
Pada 2021 lalu, publik Indonesia digemparkan oleh dugaan kebocoran 279 juta data peserta BPJS Kesehatan. Data itu bukan hanya nama atau nomor telepon, tetapi juga alamat, gaji, hingga rekam medis. Skala kebocoran ini bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia, sehingga sebagian pengamat menduga data tersebut berasal dari berbagai tahun dan batch.
Fenomena itu menjadi titik balik: data pribadi tidak lagi sekadar catatan administratif, melainkan aset berharga yang kini diperebutkan di ruang digital.
Sayangnya, kasus serupa terus berulang. Data KPU diduga bocor menjelang Pemilu 2024 dan beredar di forum daring. Beberapa universitas negeri juga mengalami serangan siber yang mengekspos data mahasiswa. Bahkan, data milik PLN pernah ditawarkan di pasar gelap digital. Semua ini menunjukkan lemahnya sistem perlindungan data di negeri kita.
Data pribadi masyarakat kini telah berubah menjadi komoditas bernilai tinggi, bukan hanya bagi pelaku kriminal, tetapi juga bagi pihak-pihak luar yang bisa memanfaatkannya untuk tujuan politik maupun ekonomi. Ketika data warga bisa diakses dengan mudah, sebenarnya kita sedang membuka celah terhadap bentuk penjajahan baru: penjajahan digital.
Ancaman Siber dan Kedaulatan Digital
Ancaman ini semakin serius ketika Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) merilis laporan bahwa sepanjang 2024 tercatat lebih dari 122 juta anomali atau serangan siber di Indonesia. Sebagian besar berupa phishing, malware, dan pencurian data.
Lebih parah lagi, serangan ransomware pada pertengahan 2024 sempat melumpuhkan salah satu pusat data nasional. BSSN mengakui bahwa sebagian besar data terdampak tidak memiliki cadangan yang memadai. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan menyentuh kedaulatan bangsa.
Jika data warga negara bisa dicuri, diperjualbelikan, bahkan dimanipulasi oleh pihak luar, bukankah itu sama bahayanya dengan pelanggaran wilayah negara? Di era digital, data adalah wilayah baru yang perlu dijaga seperti tanah air.
UU PDP: Tonggak, Bukan Akhir
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan pada 2022 sebenarnya menjadi langkah maju. Regulasi ini menegaskan hak warga untuk melindungi data, serta kewajiban lembaga publik maupun swasta untuk menjaga kerahasiaannya.
Namun, penerapannya masih jauh dari ideal. Banyak institusi, bahkan lembaga pemerintah dan kampus belum menerapkan prinsip privacy by design atau enkripsi menyeluruh. Penegakan hukumnya pun lemah. Akibatnya, pelaku kebocoran data sering lolos tanpa sanksi yang sepadan.
Hukum seharusnya tidak hanya hadir setelah kebocoran terjadi, tetapi juga mendidik dan mencegah agar sistem keamanan menjadi budaya, bukan sekadar formalitas.
Pendidikan Teknik Informatika dan Peran Moral Digital
Pertanyaan penting kemudian muncul: sudahkah kita memandang data pribadi sebagai bagian dari kedaulatan bangsa? Sayangnya, isu keamanan data sering dianggap urusan teknis yang hanya diserahkan pada tim IT. Padahal, persoalan ini jauh lebih luas hingga menyentuh aspek moral, etika profesi, hingga tanggung jawab kebangsaan.
Dalam konteks ini, Pendidikan Teknik Informatika memiliki peran strategis. Mahasiswa tidak cukup hanya memahami cara membuat aplikasi atau sistem informasi, tetapi juga perlu menyadari nilai-nilai kebangsaan dan etika digital di balik setiap baris kode yang mereka tulis.
Sebagai calon pendidik dan teknolog, mahasiswa PTI memegang dua tanggung jawab sekaligus: menguasai teknologi dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan serta Pancasila di dalamnya.
Sebuah sistem informasi akademik, misalnya, bukan sekadar alat administrasi, melainkan gudang data sensitif yang merekam identitas ribuan mahasiswa. Maka dari itu, mahasiswa PTI harus terbiasa berpikir: “Apakah sistem yang saya rancang ini cukup aman? Apakah saya sudah melindungi hak privasi pengguna?” Pertanyaan seperti itu adalah wujud nyata pengamalan sila kedua dan kelima Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Etika Digital: Cerminan Nilai Pancasila
Sebagai generasi digital, mahasiswa pendidikan teknik informatika perlu memahami bahwa teknologi tanpa moral adalah ancaman. Kemampuan coding, desain sistem, atau keamanan jaringan harus diimbangi dengan karakter. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, dan gotong royong digital merupakan bentuk aktualisasi Pancasila dalam dunia teknologi.
Etika digital juga menjadi fondasi untuk mencegah penyalahgunaan teknologi: dari manipulasi data, penyebaran hoaks, hingga pelanggaran hak cipta. Ketika mahasiswa PTI belajar tentang keamanan jaringan atau pengelolaan data, sesungguhnya mereka sedang belajar menjadi warga digital yang beretika dan berjiwa Pancasila.
Literasi Digital: Tanggung Jawab Bersama
Namun, tanggung jawab menjaga keamanan data tidak hanya berada di pundak pemerintah atau dunia pendidikan. Masyarakat pun punya peran penting. Laporan Google dan Katadata (2023) menunjukkan bahwa tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih sedang — terutama dalam aspek keamanan digital. Banyak orang masih mudah membagikan nomor identitas, kartu keluarga, atau dokumen pribadi di media sosial tanpa pikir panjang.
Celah terbesar dalam keamanan justru sering berasal dari kecerobohan individu, bukan dari serangan canggih. Karena itu, literasi digital harus menjadi gerakan nasional, yang terintegrasi ke dalam kurikulum sekolah dan program kampus, termasuk di Pendidikan Teknik Informatika.
Mahasiswa dapat menjadi agen literasi digital, mengajarkan masyarakat untuk mengenali potensi ancaman, menggunakan teknologi dengan bijak, dan melindungi data pribadinya.
Menuju Kedaulatan Data Nasional
Meski tantangannya besar, harapan tetap terbuka. Dengan meningkatnya kesadaran publik, lahirnya UU PDP, dan keterlibatan dunia pendidikan, Indonesia dapat memperkuat kedaulatan digitalnya.
Pemerintah harus mewajibkan audit keamanan berkala di setiap lembaga publik dan swasta yang mengelola data sensitif. Sementara kampus, termasuk program studi Pendidikan Teknik Informatika, harus menanamkan nilai-nilai etika digital dan nasionalisme teknologi dalam setiap mata kuliah dan proyek mahasiswa.
Jawaban atas pertanyaan “apakah kita sudah aman?” memang belum. Namun, jika setiap individu, lembaga, dan institusi berkomitmen menjadikan perlindungan data sebagai tanggung jawab moral dan kebangsaan, maka Indonesia akan melangkah menuju kedaulatan yang lebih utuh — tidak hanya di darat, laut, dan udara, tetapi juga di ruang digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
