Aplikasi Kencan dan Bot Telegram Picu Seks Bebas Kalangan Remaja
Eduaksi | 2025-09-29 09:58:33Perilaku seksual di luar nikah atau yang dikenal sebagai seks bebas kini telah menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan di kalangan remaja Indonesia. Aktivitas ini merujuk pada hubungan seksual yang dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah dan seringkali terjadi secara sederhana maupun tanpa adanya komitmen dalam jangka panjang. Ini sebuah permasalahan serius yang seringkali dianggap sepele, padahal ini permasalahan harus ditangani dengan serius agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti peningkatan resiko terkena penyakit menular seksual (PMS) atau infeksi menular eksual (IMS), maupun peningkatan angka kehamilan remaja di Indonesia ini.
Mengangkat Laporan terbaru dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2025, menunjukkan bahwa persentase remaja berusia 15–19 tahun yang pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah meningkat dari 8,3 persen pada 2024 menjadi 9,8 persen pada 2025. Tren kenaikan ini menandakan bahwa perilaku seks bebas di kalangan remaja terus mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya sebuah fenomena ini, salah satunya adalah kemudahan akses pada aplikasi kencan online seperti Tinder, Tantan, dan Bumble. Aplikasi-aplikasi tersebut awalnya diciptakan untuk mempertemukan individu dengan individu lain, dengan maksud untuk mencari relasi sosial (teman ngobrol) atau romantis (teman kencan). Namun, dalam kenyataannya, banyak remaja berusia belasan tahun yang memanfaatkannya dan menyalahgunakan sebagai sarana untuk mencari pasangan kencan yang berujung pada hubungan seksual di luar nikah atau seks bebas.
Tak hanya aplikasi kencan, fenomena ini serupa juga terjadi di platform Telegram, melalui bot-bot interaktif seperti Leo (@leomatchbot) dan Anonymous Chat (@chatbot). Bot-bot ini memungkinkan pengguna untuk terhubung secara anonim dengan orang asing, baik untuk sekadar ngobrol maupun mencari teman kencan. Sayangnya, sebagian besar interaksi tersebut berkembang menjadi relasi yang bersifat seksual, baik secara virtual maupun nyata.
“Awalnya cuma cari teman ngobrol, tapi lama-lama jadi ketemuan dan lebih dari itu,” ujar R, remaja berusia 18 tahun yang aktif menggunakan Leo (@leomatchbot) dan Anonymous Chat (@chatbot).
Mengangkat berdasarkan Laporan Indonesian Usage Behavior and Online Security on Dating Apps turut menguatkan temuan ini. Dari 1.165 responden, 63 persen atau sekitar 732 orang mengaku sebagai pengguna aktif aplikasi kencan online. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa interaksi yang terjalin tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga seksual.
Mengutip riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2024, ikut menyoroti fenomena ini. Sebanyak 13,9 persen remaja Indonesia menggunakan aplikasi kencan daring untuk secara eksplisit mencari pasangan seksual. Sementara itu, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JISPO), 14(2), pp. 155–176 (2024), mencatat bahwa sebagian pengguna memanfaatkan fitur “orang terdekat” dan anonimitas dalam aplikasi untuk menjalin hubungan seksual kasual.
Temuan ini memberi gambaran jelas bahwa perilaku seksual remaja tidak lagi bisa dipandang hanya dari sisi moralitas. Para pakar mengingatkan, angka 13,9 persen itu menjadi alarm bahwa yang dipertaruhkan juga menyangkut kesehatan publik. Minimnya pengetahuan tentang risiko infeksi menular seksual (IMS), kehamilan tidak diinginkan, hingga dampak psikologis, membuat persoalan ini kian kompleks dan mendesak untuk direspons. Fakta lain yang tak bisa diabaikan adalah semakin kuatnya peran platform digital dalam membentuk pola interaksi generasi muda. Artinya, kebijakan publik pun perlu lebih adaptif dan peka terhadap dinamika digital yang tengah berkembang pesat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
