Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roma Kyo Kae Saniro

Lebih dari Sekadar Bola Daging: Bakso dan Akulturasi Rasa Indonesia

Kuliner | 2025-09-18 10:42:10

oleh Roma Kyo Kae Saniro

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Ilustrasi Bakso (Sumber: https://www.freepik.com/free-photo/top-view-delicious-bakso-bowl-composition_14212311.htm#fromView=search&page=1&position=5&uuid=5feb4eda-52b1-4a5e-8f9d-b0d13c26876d&query=bakso)

Bakso dikenal sebagai salah satu kuliner khas Indonesia yang begitu populer dan digemari oleh berbagai kalangan masyarakat. Makanan berbentuk bulat ini terbuat dari olahan daging hewan ternak yang dicampur dengan pati, bumbu, serta kadang ditambahkan bahan pangan lain sebelum akhirnya dimatangkan. Kehadirannya tak hanya mengenyangkan, tetapi juga menghadirkan cita rasa gurih yang khas, sehingga menjadikannya sebagai sajian favorit dari warung kaki lima hingga restoran besar. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2022), bakso memiliki definisi khusus sebagai pangan olahan daging yang telah diatur standar keamanannya, menegaskan posisinya sebagai makanan tradisional yang juga diakui secara resmi.

Menariknya, sejarah bakso tidak hanya terbatas pada Indonesia. Catatan sejarah menunjukkan bahwa ide olahan daging berbentuk bola sudah ada sejak bangsa Romawi pada abad ke-5, yang tercatat dalam buku resep kuno Apicius. Di Nusantara, bakso hadir melalui pengaruh budaya Tiongkok, khususnya dari bahasa Hokkien yang banyak digunakan oleh masyarakat Provinsi Fujian. Dari situlah muncul istilah “bak” yang berarti daging dan “so” yang berarti kuah, lalu berkembang sesuai lidah dan budaya lokal hingga menjelma menjadi bakso khas Indonesia yang kita kenal sekarang. Perpaduan sejarah global dan adaptasi budaya inilah yang menjadikan bakso bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol akulturasi kuliner yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat.

Lebih jauh, sejarahnya ini bermula pada abad ke-17 saat seorang warga Fuzhou (Daerah di Provinsi Fujian) yang bernama Meng Bo memiliki ide untuk membuat makanan bagi ibunya yang sedang sakit. Makanan tersebut terbuat dari daging cincang halus yang direbus dan disajikan dengan kuah seperti sup. Lebih jauh, makanan ini memiliki rasa yang enak sehingga makanan ini populer ke seantero Tiongkok. Kepopuleran bakso ini akhirnya masuk ke Indonesia melalui imigran Tiongkok yang datang ke Indonesia. dengan berbagai adaptasi baik dari cita rasa atau bumbu maupun cara pengolahan, Indonesia memiliki baksonya `sendiri`.

Bakso di Indonesia pun berasal dari berbagai bahan baku, misalnya daging sapi, ayam, dan ikan. Selain itu, isian dalam bakso di Indonesia pun lebih beragam, seperti telur, urat, cincang, cabai, keju, dan sayur. Bahkan, bentuknya pun sangat beragam, ada yang berbentuk kotak, kerucut seperti gunung, bentuk cinta, atau bentuk lainnya sebagai kreativitas seseorang, khususnya jika bakso dikomersialisasikan. Di Indonesia, masyarakat yang sangat lekat dengan bakso adalah masyarakat Jawa. Kebanyakan orang akan mengira bahwa bakso adalah makanan yang berasal dari budaya Jawa. Namun, seperti yang diungkapkan sebelumnya bakso bukan berasal dari Indonesia walaupun ada beberapa folklore dari masyarakat bahwa bakso dibuat ketika bangsa Indonesia sulit mendapatkan daging dan ketika mendapatkan daging yang sedikit tersebut, masyarakat harus mampu memikirkan cara agar daging tersebut menjadi banyak. Pengolahan daging dengan tepung menjadi sebuah solusi agar semua anggota keluarga dapat menikmati daging. Tentunya, folklore ini dapat ditinjau lebih lanjut.

Bakso dan masyarakat Jawa memiliki ikatan yang erat, terlihat dari banyaknya warung bakso legendaris yang lahir di tanah Jawa. Contohnya, bakso Malang dari Jawa Timur yang terkenal dengan paduan bakso tahu, siomay, dan pangsit, menjadikannya ikon kuliner tersendiri. Di berbagai kota di Jawa, bakso bahkan menjadi makanan jalanan yang paling dicari, hadir di pinggir jalan, pasar malam, hingga restoran modern. Popularitas ini membuat bakso bukan hanya sekadar santapan, melainkan bagian integral dari budaya kuliner Jawa yang mengakar kuat di tengah masyarakat.

Lebih dari itu, ada keyakinan bahwa bakso terenak berasal dari Jawa. Pandangan ini berpengaruh pada strategi pemasaran, di mana banyak pelaku usaha menggunakan label berbau Jawa seperti “Bakso Solo,” “Bakso Sidomulyo Wonogiri,” atau “Bakso Wonogiri” yang mendominasi kota-kota besar seperti Semarang dan Yogyakarta. Meski begitu, daerah lain di Indonesia juga memiliki varian bakso khasnya, misalnya bakso cuanki dan bakso aci dari Jawa Barat atau bakso ikan ekor kuning dari Jepara. Bahkan di luar Jawa, bakso juga meraih popularitas, termasuk di Sumatera, yang menunjukkan betapa luasnya daya tarik makanan berbentuk bulat ini di Nusantara.

Berdasarkan penelusuran melalui Google map, bakso di Sumatera Barat sangat bervariasi, seperti bakso Malang Mas Pepen, bakso Solo Raya, Pondok bakso Mas Maman, bakso Urat Beranak Mas Rudy, Pondok Bakso Solo Mas Man, Bakso Simas Simpang Bukik, bakso Pak De, bakso Pak Ateng, bakso HD Lobstar, Pondok Bakso Mas Tris, Pondok Bakso dan Mie Ayam Mas Eko, bakso Halte, Ba'sobok Khas Malang Kota Bukittinggi, Bakso Rejo 1 Batu Sangkar, Pasar Baso, Bakso Rungkok Asli 100%, Pondok Bakso Barokah, Bakso Enggal Mas Mo, dan Bakso Mas Tono. Nama-nama tersebut rupanya kadang tidak dapat merepresentasikan keaslian bakso dari Pulau Jawa yang diyakini rasanya lebih enak dari bakso yang lainnya.

Berdasarkan diskusi dengan seorang perantau asal Solo yang kini tinggal di Dharmasraya, terungkap fenomena menarik mengenai penamaan merek dagang bakso di ranah Minangkabau. Ia menilai, tidak semua bakso dengan label bernuansa Jawa benar-benar merepresentasikan keaslian rasa khas bakso Jawa. Bahkan, penggunaan sapaan seperti “Mas” atau “Mbak” kerap dijadikan strategi persuasif untuk menarik konsumen, meskipun pemilik maupun peracik baksonya bukanlah orang Jawa. Strategi semacam ini menunjukkan bagaimana identitas kultural bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik bisnis, meski terkadang tidak sesuai dengan realitas asal-usul produk.

Fenomena tersebut mengingatkan pada kasus viral beberapa waktu lalu tentang penjual nasi padang yang mendapat teguran karena menggunakan label “asli Padang,” padahal penjualnya bukan orang Minangkabau. Isu ini menimbulkan perdebatan mengenai keaslian dan otentisitas dalam dunia kuliner, terutama ketika sebuah label dagang tidak hanya menjual rasa, tetapi juga menjual identitas budaya. Dalam konteks bakso, penggunaan nama atau simbol Jawa di Minangkabau mencerminkan bagaimana branding kuliner bisa melintasi batas budaya, sekaligus menimbulkan pertanyaan mengenai nilai kejujuran dan keaslian dalam persaingan usaha makanan tradisional.

Kepemilikan labelisasi kuliner sering kali dianggap sebagai identitas yang melekat dan tidak boleh direbut oleh pihak lain, meskipun masih dalam lingkup satu negara. Pertanyaan tentang apakah ada bakso asli Minangkabau pun muncul, namun faktanya, standar “keaslian” bakso tetap mengacu pada wilayah Jawa yang telah lebih dulu populer dengan kuliner ini. Popularitas itulah yang menjadikan asal daerah dan pembuat bakso dianggap penting dalam membangun citra rasa dan kualitas. Meski begitu, bukan berarti daerah lain, termasuk Minangkabau, tidak mampu menghadirkan bakso dengan cita rasa yang tak kalah lezat. Justru, kreativitas dalam mengolah rasa, menambah variasi isian, maupun memodifikasi bentuk membuat bakso semakin berwarna.

Pada akhirnya, sah-sah saja bila ada pelaku usaha yang menggunakan label bernuansa Jawa, seperti nama daerah atau sapaan khas, sebagai strategi pemasaran untuk menarik konsumen. Namun, esensi bakso sebagai warisan kuliner Indonesia terletak pada kemampuannya untuk terus berkembang dan beradaptasi tanpa kehilangan daya tarik utamanya. Keanekaragaman inovasi ini tidak hanya memperkaya khazanah kuliner nusantara, tetapi juga menegaskan pentingnya menjaga, mempertahankan, dan mewariskan tradisi kuliner kepada generasi berikutnya. Dengan begitu, bakso akan tetap eksis, dicintai, dan dinikmati oleh masyarakat dari berbagai latar belakang budaya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image