Janji Palsu Revolusi Teknologi dan Ekonomi Digital
Kolom | 2025-09-17 14:16:51Pada akhir 1990-an, banyak ideolog globalisasi mengklaim bahwa revolusi teknologi informasi (TI) akan menciptakan New Economy, sebuah era baru tanpa krisis siklus ekonomi. Sebuah optimisme yang sangat berlebihan dan paradoks. Mereka percaya komputer, internet, dan robotisasi akan membuat pertumbuhan ekonomi terus melaju tanpa hambatan. Namun, kenyataan berbicara lain. Sejak tahun 2000, sektor TI justru menjadi pusat resesi besar, ribuan perusahaan bangkrut, dan nilai kapitalisasi pasar anjlok drastis (Petras, 2003).
Jepang, yang lebih dulu merangkul robotisasi pabrik dan menjadi pelopor adopsi teknologi baru, justru mengalami stagnasi panjang sejak 1990 dengan pertumbuhan rata-rata hanya 1 persen. Amerika Serikat pun tak lebih baik, sektor manufaktur masuk fase negatif sejak pertengahan 2000, disusul resesi ekonomi pada 2001. Alih-alih menjadi mesin penggerak baru, industri TI justru memperlihatkan betapa rapuhnya klaim bahwa siklus bisnis sudah punah.
Fakta berikutnya lebih mengejutkan, industri TI menjadi semakin terkonsentrasi di tangan segelintir raksasa, sementara ribuan dotcom kecil tumbang. Klaim adanya revolusi produktivitas ternyata hanya berlangsung sebentar, antara 1996 hingga 2000, sebelum kembali melorot. Bahkan, jika dibandingkan dengan era 1950–1970-an, produktivitas ekonomi di era digital justru lebih rendah. Artinya, komputer dan internet tak otomatis membuat masyarakat lebih produktif secara keseluruhan.
Tak hanya itu, fenomena gelembung TI (IT bubble) banyak ditopang oleh proyek palsu seperti Y2K, yang sempat menakut-nakuti dunia dengan ancaman sistem komputer lumpuh ketika berganti milenium. Ratusan miliar dolar digelontorkan untuk mengatasi masalah yang nyaris tidak pernah terjadi. Negara seperti Rusia, China, atau Finlandia mengeluarkan biaya jauh lebih sedikit tanpa mengalami gangguan besar. Pertanyaan pun muncul, apakah revolusi TI sesungguhnya hanyalah sebuah kampanye promosi berskala global?
Studi-studi kritis semakin memperlemah mitos New Economy. Penelitian Paul Strassman terhadap 3.000 perusahaan Eropa menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara investasi komputer dengan keuntungan. Artinya, tiga klaim utama revolusi TI, akhir siklus bisnis, lonjakan produktivitas, dan laba besar, ternyata tidak sesuai realitas. Yang ada justru penguatan irasionalitas kapitalisme, siklus bisnis tetap ada, produktivitas stagnan, dan profit cenderung menurun.
Bahkan, sektor lain yang disebut-sebut sebagai pilar revolusi teknologi, seperti bioteknologi dan serat optik, bernasib sama. Setelah puluhan tahun dan miliaran dolar digelontorkan, industri bioteknologi hanya melahirkan sedikit obat baru dan mayoritas perusahaannya tidak menghasilkan keuntungan. Serat optik pun demikian, jutaan kilometer kabel ditanam di seluruh dunia, namun hanya sebagian kecil yang benar-benar digunakan. Banyak perusahaan telekomunikasi akhirnya gulung tikar dengan kerugian miliaran dolar.
Kegagalan tiga sektor utama ini, TI, bioteknologi, dan serat optik, menunjukkan betapa rapuhnya pondasi New Economy yang diagung-agungkan pada 1990-an. Amerika Serikat dan Eropa membangun supremasi global di atas tiga kaki yang rapuh, sektor spekulatif yang mudah runtuh, aliran keuntungan besar dari negara-negara pinggiran, serta kekuatan politik dan militer untuk menjaga sistem tetap berjalan. Namun, ketika salah satu pilar goyah, seluruh bangunan ekonomi global ikut terguncang (Petras, 2003).
Alhasil, tidak ada jalan pintas menuju kemakmuran lewat jargon revolusi teknologi. Komputer, internet, dan bioteknologi memang membawa perubahan, tetapi dampaknya tidak otomatis berarti produktivitas tinggi dan keuntungan besar. Sejarah membuktikan, inovasi paling berdampak justru lahir di paruh awal abad ke-20, saat listrik, transportasi modern, dan manufaktur massal mengubah dunia. Sementara itu, revolusi digital ternyata lebih banyak menghadirkan gelembung spekulasi ketimbang pertumbuhan nyata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
