Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Atheisme di Kalangan Gen Z: Tren yang Meningkat

Agama | 2025-09-17 11:02:03

 

Generasi Z (lahir sekitar 1997–2012) tumbuh dalam era digital, keterbukaan informasi, dan interaksi global tanpa batas. Kondisi ini membentuk cara pandang mereka terhadap agama, spiritualitas, maupun identitas. Salah satu fenomena yang mulai banyak diperbincangkan adalah meningkatnya jumlah Gen Z yang mengaku atheis atau tidak berafiliasi dengan agama tertentu.

Data Internasional

Studi dari Barna Group dan Impact 360 Institute di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 13% Gen Z menyebut dirinya atheis, dua kali lipat lebih tinggi dibanding rata-rata orang dewasa di negara tersebut. Angka ini menandai pergeseran besar dalam lanskap keagamaan generasi muda.

Sementara itu, laporan Pew Research Center (2024) menemukan bahwa 46% Gen Z di AS masuk kategori “nones”, yaitu kelompok tanpa afiliasi agama. Dari jumlah tersebut, sebagian adalah atheis, agnostik, dan sebagian lain sekadar “tidak terikat” pada agama formal.

Di Eropa, tren serupa juga terlihat. Data Statista 2022 mencatat bahwa 31% Gen Z di Inggris mengaku sebagai atheis, jauh lebih tinggi dibanding generasi yang lebih tua.

Antara Atheisme dan Spiritualitas

Namun, penting dicatat bahwa “tidak beragama” tidak selalu berarti sepenuhnya atheis. Springtide Research Institute menemukan bahwa hampir 40% Gen Z menyebut diri mereka “religiously unaffiliated,” tetapi banyak dari mereka masih merasa “spiritual.” Beberapa bahkan tetap menghadiri peribadatan meski tidak terikat dengan institusi agama tertentu.

Hal ini menunjukkan adanya nuansa baru: generasi muda tidak serta-merta menolak spiritualitas, melainkan mencari bentuk keberagamaan yang lebih fleksibel, personal, dan sesuai dengan nilai individualisme mereka.

Faktor Pendorong

Ada beberapa faktor yang menjelaskan peningkatan tren atheisme di kalangan Gen Z:

 

  1. Akses Informasi Digital – Internet membuka ruang diskusi kritis mengenai agama, sains, dan filsafat yang sebelumnya sulit diakses.
  2. Kritik terhadap Institusi Agama – Skandal, intoleransi, atau eksklusivitas keagamaan membuat sebagian anak muda skeptis.
  3. Budaya Global – Paparan terhadap nilai-nilai sekuler dari Barat memperkuat pilihan untuk hidup tanpa afiliasi agama.
  4. Individualisme Modern – Gen Z cenderung menempatkan kebebasan memilih identitas di atas tradisi keluarga atau komunitas.

Implikasi Sosial

Meningkatnya atheisme atau ketidakberagamaan pada Gen Z menimbulkan tantangan sekaligus peluang. Dari sisi sosial, ada kekhawatiran terjadinya erosi tradisi, nilai kebersamaan, atau ikatan komunitas berbasis agama. Namun di sisi lain, fenomena ini juga bisa membuka ruang dialog lintas keyakinan, toleransi yang lebih inklusif, serta pencarian bentuk spiritualitas baru yang lebih personal.

Penutup

Atheisme di kalangan Gen Z bukan sekadar penolakan terhadap agama, melainkan cerminan dari perubahan zaman yang ditandai dengan globalisasi, keterbukaan informasi, dan pergeseran nilai. Meski jumlah mereka meningkat, banyak Gen Z yang tetap mencari makna, spiritualitas, dan identitas, hanya saja tidak selalu dalam bentuk agama formal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image