Membangun Ekonomi Digital Desa untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial
Teknologi | 2025-09-16 20:30:48
Oleh: Asst. Prof. Memet Slamet,MM, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBIS), Institut Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat
Indonesia tengah berada di persimpangan penting pembangunan sosial ekonomi. Di satu sisi, transformasi digital membawa peluang besar bagi percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. E-commerce, layanan keuangan digital, hingga platform daring untuk pendidikan dan kesehatan, semuanya menjanjikan kemudahan dan efisiensi. Namun di sisi lain, muncul pula kekhawatiran akan semakin lebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara mereka yang mampu mengakses teknologi digital dan mereka yang belum. Fenomena ini sangat terasa ketika kita berbicara tentang perbedaan antara kota dan desa.
Selama satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil, bahkan termasuk salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Akan tetapi, distribusi pertumbuhan tersebut belum merata. Daerah perkotaan masih mendominasi geliat ekonomi, sementara banyak desa tertinggal tetap berjuang dengan keterbatasan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur dasar. Padahal, desa menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar, baik dari sektor pertanian, pariwisata, maupun ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.
Pembangunan desa sebenarnya telah mendapat perhatian melalui berbagai program pemerintah, seperti Dana Desa, program Desa Wisata, hingga upaya digitalisasi layanan desa. Namun, implementasinya kerap menghadapi kendala serius. Masih ada desa yang minim akses internet, jalan yang sulit dilalui, hingga sumber daya manusia yang kurang terlatih dalam memanfaatkan teknologi digital. Akibatnya, desa yang berpotensi menjadi motor pertumbuhan justru masih tertinggal, dan jurang kesenjangan dengan kota semakin lebar.
Bila melihat lebih dalam, ada tiga aspek penting yang menjadi kunci dalam membangun desa agar mampu bersaing di era digital: infrastruktur, literasi digital, dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Pertama, pemerataan infrastruktur. Tidak bisa dipungkiri, internet telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat modern. Tanpa internet yang stabil dan terjangkau, mustahil desa dapat berpartisipasi aktif dalam ekonomi digital. Pemerintah telah meluncurkan program pembangunan jaringan hingga daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar), tetapi masih banyak wilayah yang sinyalnya lemah atau bahkan blank spot. Penyediaan listrik yang stabil juga menjadi syarat utama. Infrastruktur ini bukan sekadar urusan teknis, melainkan fondasi agar desa tidak semakin tertinggal.
Kedua, literasi dan pendidikan digital. Tidak cukup hanya membangun menara BTS (Base Transcever Station) atau menyediakan wifi gratis, masyarakat desa perlu dibekali kemampuan untuk memanfaatkan teknologi. Misalnya, petani dapat dilatih menggunakan aplikasi pertanian untuk memprediksi cuaca, mengakses pasar daring, atau memperoleh informasi pupuk dan harga. Begitu pula pelaku UMKM desa, mereka bisa diarahkan untuk memasarkan produk lewat platform e-commerce atau media sosial. Literasi digital juga penting untuk mencegah maraknya hoaks dan penipuan online yang kerap menyasar masyarakat awam.
Ketiga, pemberdayaan potensi ekonomi lokal. Desa di Indonesia memiliki keunikan masing-masing: ada desa yang kuat di sektor pertanian, ada yang memiliki potensi pariwisata, ada pula yang kaya akan kerajinan tangan dan seni tradisional. Potensi ini dapat menjadi daya tarik besar jika dikemas dalam ekosistem digital. Misalnya, desa wisata dapat dipromosikan lewat platform daring dengan paket yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Produk-produk lokal dapat dijual secara langsung ke konsumen melalui marketplace, tanpa harus bergantung pada tengkulak atau perantara yang seringkali merugikan petani dan pengrajin.
Namun, membangun desa digital bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah daerah, perguruan tinggi, perusahaan swasta, hingga komunitas lokal perlu berkolaborasi. Perguruan tinggi bisa memberikan pendampingan riset dan teknologi, perusahaan dapat membantu lewat program CSR dan pelatihan, sementara pemerintah daerah harus lebih aktif memfasilitasi. Kolaborasi ini sangat penting agar desa tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi subjek yang berdaya dan mandiri.
Meski begitu, kita juga perlu realistis. Masih banyak desa yang menghadapi tantangan berat: keterbatasan anggaran, rendahnya pendidikan, hingga kuatnya budaya ketergantungan. Di sinilah pentingnya peran kepemimpinan lokal, seperti kepala desa dan tokoh masyarakat, yang mampu mendorong partisipasi warganya. Desa yang sukses membangun kemandirian biasanya memiliki pemimpin yang visioner, terbuka terhadap perubahan, dan mampu menggerakkan potensi lokal.
Jika kesenjangan antara kota dan desa tidak segera dijembatani, maka transformasi digital hanya akan memperlebar jurang sosial ekonomi. Kita berisiko menciptakan dua kelas masyarakat: mereka yang terkoneksi dan maju, serta mereka yang terpinggirkan dan tertinggal. Padahal, kekuatan bangsa ini justru terletak pada kemampuannya menggerakkan seluruh rakyat, termasuk 74 ribu lebih desa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Sebagai penutup, saya berpendapat bahwa masa depan Indonesia ada di desa. Desa bukan sekadar “halaman belakang” pembangunan, melainkan fondasi utama yang harus diperkuat. Potensi desa yang luar biasa dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional, asalkan diberi akses, pendidikan, dan kesempatan yang setara. Ekonomi digital tidak boleh menjadi milik segelintir orang di kota, melainkan jembatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk maju bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
