Saatnya Guru Seni Mengajar dengan Cara yang Membebaskan
Pendidikan | 2025-09-16 15:04:57
Pernahkah kita sadar bahwa seni di sekolah dan kampus sering diperlakukan hanya sebagai pelengkap? Padahal seni adalah jalan pengetahuan — ia membebaskan cara berpikir, melatih rasa, bahkan memulihkan cara kita hidup. Ironisnya, banyak guru dan dosen seni justru terjebak pola mengajar yang membuat seni kehilangan daya hidupnya. Akibatnya, anak-anak memandang seni sekadar hiburan, bukan cara menemukan diri.
Seni adalah bahasa paling tua dalam sejarah manusia. Sebelum manusia mengenal angka dan huruf, mereka telah bernyanyi, menari, melukis dinding gua, dan menciptakan irama. Namun dalam sistem pendidikan modern, seni sering diposisikan sebagai pengisi waktu. Akibatnya, ia kehilangan peran pentingnya: membentuk manusia yang peka, imajinatif, dan berani.
Belajar seni sejatinya memiliki kedalaman dan kesungguhan yang sebanding dengan belajar ilmu kedokteran. Seorang dokter tidak pernah hanya membaca buku untuk memutuskan operasi. Ia berlatih tanpa henti, mengasah ketepatan, menghadapi risiko, dan bertanggung jawab atas setiap tindakan. Begitu pula seniman: setiap hari ia melatih keterampilan, mendalami makna, mengasah kepekaan rasa, dan menata diri untuk melahirkan karya yang jujur. Seni, jika ditempuh dengan sepenuh kesungguhan, memiliki daya yang memaksa kita “tidak bisa tidak” untuk berubah — sama seperti pasien yang tak bisa menghindari meja operasi ketika keselamatannya dipertaruhkan.
Di sinilah letak masalah kita: pendidikan seni belum memberi pengalaman yang cukup kuat hingga membuat murid dan masyarakat percaya penuh pada daya ubah seni. Kurikulumnya masih kaku, jam belajar sering dikurangi, dan sebagian guru belum dibekali cara mengajar yang menghidupkan rasa ingin tahu.
Seni yang merdeka adalah seni yang menumbuhkan tiga hal penting. Pertama, rasa ingin tahu yang tidak dibatasi: murid diberi ruang untuk bereksperimen, bukan hanya meniru. Kedua, keterhubungan dengan kehidupan: seni diajarkan bukan di ruang hampa, melainkan disambungkan dengan persoalan sosial, lingkungan, dan budaya setempat. Ketiga, kesungguhan proses: guru dan seniman mencontohkan kedisiplinan, ketekunan, dan keberanian mengambil risiko artistik. Dengan tiga unsur itu, belajar seni menjadi proses yang menumbuhkan kebebasan berpikir sekaligus tanggung jawab berkarya.
Masyarakat yang kehilangan seni bukan hanya kehilangan hiburan, tetapi kehilangan daya cipta dan kemampuan memecahkan masalah dengan cara-cara kreatif. Seni adalah ruang latihan empati, tempat kita memahami yang berbeda, merasakan yang tak terkatakan, dan membayangkan masa depan yang belum ada. Tanpa seni, kita miskin imajinasi sosial.
Bagi siapa pun yang baru memulai, seni adalah perjalanan panjang. Dari kesalahan-kesalahan awal, dari karya yang belum matang, proses itu membentuk ketangguhan batin. Guru seni, betapapun sering merasa kurang dihargai, sesungguhnya adalah pejuang kemanusiaan. Setiap latihan kecil, setiap panggung sederhana, setiap penelitian dan penciptaan, semua itu menumpuk menjadi kedalaman yang tak pernah berhenti. Tidak ada titik akhir dalam belajar seni — yang ada hanyalah perluasan pengalaman, seperti sungai yang terus mengalir, menembus batu dan tanah, memberi kehidupan pada apa saja yang dilewatinya.
Seni harus kembali menjadi jalan pengetahuan yang membebaskan — bukan sekadar ornamen kurikulum. Pertanyaannya, beranikah kita mendesak sekolah, kampus, dan pemerintah untuk mengubah cara kita mengajar seni? Dan apakah para guru serta seniman siap memperbarui cara mereka mendidik dan berkarya agar benar-benar menyalakan api kehidupan pada setiap peserta didik?
Menghidupkan Kembali Pendidikan Seni
Mengajarkan seni bukan hanya soal memindahkan keterampilan teknis dari guru ke murid. Ia adalah proses menghidupkan daya cipta, menyalakan keberanian, dan menanamkan kepekaan pada kehidupan. Namun inilah salah satu persoalan besar kita: banyak guru dan dosen seni yang terjebak rutinitas, sekadar memenuhi target administrasi, sehingga seni kehilangan daya magisnya.
Pendidikan seni yang merdeka membutuhkan pendidik yang tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga memiliki visi. Guru seni idealnya adalah peneliti, pencipta, sekaligus penggerak. Ia harus terus belajar, mengamati dunia seni global, membaca tren, sekaligus mengakar pada kearifan lokal. Hanya dengan begitu ia bisa memberi pengalaman belajar yang relevan, membuat murid percaya bahwa apa yang dipelajari hari ini akan membentuk masa depan mereka.
Sayangnya, di banyak tempat, guru seni bekerja dengan sarana terbatas, materi ajar yang usang, dan dukungan institusional yang minim. Namun keterbatasan ini bukan alasan untuk menyerah. Justru di situlah lahir kreativitas. Guru bisa mulai dengan memperbarui cara mengajar: tidak hanya memberi contoh, tetapi juga membuka ruang diskusi, memberi kebebasan berkreasi, dan membimbing murid menemukan gaya mereka sendiri.
Belajar seni yang membebaskan tidak harus mahal. Yang dibutuhkan adalah cara pandang yang menghargai proses. Misalnya, kelas musik tidak hanya mengajarkan cara memainkan lagu, tetapi juga mengajak murid membedah makna lagu, menganalisis pola irama, mencoba membuat variasi, bahkan menciptakan karya sendiri. Di kelas tarian, murid diajak memahami latar budaya gerak, bukan hanya menghafal pola langkah. Dengan cara ini, seni menjadi sarana berpikir kritis, bukan sekadar keterampilan motorik.
Selain metode, kita juga perlu mengubah cara menilai. Sistem evaluasi seni sebaiknya tidak hanya mengukur ketepatan teknik, tetapi juga keberanian bereksperimen, kemajuan pribadi, dan kedalaman pemahaman. Penilaian yang adil dan inspiratif akan membuat murid berani mengambil risiko artistik, tidak takut gagal, dan terus mencoba.
Guru seni harus didukung dengan pelatihan berkelanjutan. Tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman lama; dunia seni berubah cepat. Teknologi, media digital, dan pertukaran budaya membuka peluang baru. Pelatihan ini sebaiknya tidak sekadar teknis, tetapi juga memantik cara berpikir lintas disiplin: bagaimana seni bisa berkolaborasi dengan ilmu sains, teknologi, atau ekologi, sehingga tetap relevan di zaman yang bergerak cepat.
Pada akhirnya, seni akan kembali menjadi jalan pengetahuan hanya jika guru, sekolah, dan masyarakat memandangnya sebagai kebutuhan, bukan hiburan. Ini bukan pekerjaan semalam, tetapi langkah yang harus dimulai sekarang. Setiap guru yang berani mengubah cara mengajarnya, setiap murid yang menemukan keberanian mengekspresikan dirinya, setiap sekolah yang memberi ruang bagi karya seni, semuanya adalah bagian dari kebangkitan ini.
Bagi para guru dan dosen seni, ini adalah panggilan kehormatan. Tugas mereka bukan hanya mengajarkan tarian, musik, rupa, atau teater, melainkan menempa manusia menjadi peka, berani, dan utuh. Setiap murid yang belajar dengan tekun, setiap karya yang lahir dari kesungguhan, adalah tanda bahwa perjuangan itu tidak sia-sia. Seni tidak memiliki akhir; ia adalah aliran yang terus-menerus memperbarui manusia.
Kita tidak boleh lagi melihat seni sebagai “opsional”. Ia adalah kebutuhan mendasar, sama seperti kesehatan jasmani. Bila seorang dokter menjaga tubuh, maka guru dan seniman menjaga jiwa masyarakat. Jika kita membiarkan seni mati di ruang kelas, kita kehilangan masa depan yang lebih manusiawi. Karena itu, mari jadikan pendidikan seni sebagai pusat pembentukan manusia merdeka — bukan sekadar formalitas kurikulum.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
