Ketika Kampus Jadi Event Organizer
Humaniora | 2025-09-13 09:44:33
Universitas adalah benteng bangsa. Ia bukan gedung kosong yang dihiasi simbol-simbol kebesaran, melainkan rumah ilmu dan tempat ditempanya peradaban. Dari ruang akademik lahir para pemimpin yang menentukan arah negara. Jika ruang itu melemah, maka seluruh bangsa akan merasakan akibatnya.
Hari ini, kita harus jujur pada diri sendiri. Perguruan tinggi kita terlalu sibuk dengan pesta seremoni. Wisuda dijadikan perayaan massal tanpa makna. Konferensi berubah menjadi panggung foto dan ucapan selamat, bukan forum gagasan. Orasi ilmiah tidak lagi tajam, melainkan seremonial. Kerja sama antaruniversitas hanya tercatat dalam dokumen, tanpa manfaat nyata bagi mahasiswa dan masyarakat. Dan perayaan ulang tahun universitas sering lebih dekat dengan hiburan daripada laporan capaian ilmiah.
Tradisi akademik tidak pernah dimaksudkan seperti ini. Di Eropa, pada awalnya, seremoni akademik berfungsi sebagai pengikat moral, forum refleksi, dan ajang penyebaran ilmu. Di Indonesia, ketika universitas pertama berdiri, tradisi itu diadopsi dengan tujuan serupa: membangun pengetahuan untuk rakyat. Kini, yang kita saksikan hanyalah simbol tanpa substansi.
Ini bukan persoalan kecil. Akar masalahnya jelas. Kita terjebak pada mentalitas birokrasi kolonial yang mengagungkan formalitas di atas substansi. Kita membiarkan universitas mengejar reputasi instan, bukan pencapaian jangka panjang. Humas kampus lebih sibuk menampilkan wajah pejabat daripada isi gagasan. Ruang kritik dimatikan, sehingga suara jujur hanya terdengar di warung kopi, bukan di forum resmi.
Akibatnya berbahaya. Kepercayaan rakyat terhadap perguruan tinggi terkikis. Mereka mendengar angka-angka besar, tetapi tidak melihat hasilnya. Banyak lulusan menganggur. Konferensi berhenti pada pembukaan. Kerja sama tidak berbuah karya. Universitas menjadi menara gading, indah dari luar tetapi kosong di dalam.
Lebih buruk lagi, mahasiswa belajar dari teladan keliru. Mereka diajari bahwa penting bukan gagasan, melainkan tampilan. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa prestise lebih utama daripada substansi. Generasi berikutnya akan mengulang kesalahan yang sama, dan bangsa ini akan kehilangan daya pikir kritis.
Inilah pengkhianatan terhadap amanah pendidikan.
Siapa pun yang menutup mata terhadap kenyataan ini sedang mempertaruhkan masa depan bangsa. Lihatlah Jakarta. Demonstrasi besar yang meledak beberapa waktu lalu adalah akibat langsung dari kecemburuan sosial. Apa yang ditampilkan sebagai keberhasilan ternyata kosong di mata rakyat. Ketidakadilan yang dipelihara melahirkan kemarahan kolektif. Lihatlah Nepal. Rakyat yang merasa dikhianati elitnya akhirnya menjerumuskan negeri itu dalam kerusuhan panjang. Semua itu bermula dari kebiasaan membiarkan kepura-puraan, menganggapnya wajar, lalu kehilangan kendali.
Apakah kita mau menyaksikan hal yang sama di negeri ini.
Universitas harus kembali ke jalan yang benar. Konferensi harus menghasilkan prosiding terbuka dan rekomendasi kebijakan nyata. Kerja sama antaruniversitas harus diwujudkan dalam riset bersama dan pertukaran mahasiswa. Wisuda harus menjadi refleksi intelektual, bukan pesta massal. Dies natalis harus menyajikan capaian akademik, bukan sekadar hiburan. Orasi ilmiah harus kembali menjadi forum gagasan yang menantang, bukan sekadar acara protokoler.
Langkah-langkah ini sederhana. Tidak membutuhkan biaya besar. Yang dibutuhkan hanya satu hal, yakni: "keberanian". Berani meninggalkan hal-hal yang tidak perlu, berani menyingkirkan kepura-puraan, berani mengembalikan universitas pada amanah sejatinya.
Bangsa ini tidak bisa menunggu lebih lama. Setiap tahun yang kita habiskan dalam kepura-puraan akan memperdalam luka sosial dan memperlemah daya saing kita. Kita sedang duduk di atas bara. Universitas seharusnya menjadi air yang menyejukkan, bukan bensin yang mempercepat api.
Malu memang harus hadir. Malu karena kita sibuk dengan panggung megah tapi lalai dengan makna. Malu karena kita mewariskan teladan yang salah. Namun rasa malu itu harus diubah menjadi energi. Energi untuk memperbaiki, energi untuk menyelamatkan universitas sebagai rumah ilmu, ruang refleksi, dan penggerak kemajuan bangsa.
Kita tidak sedang berbicara tentang pilihan kecil. Kita sedang berbicara tentang keberlangsungan negeri. Dan hanya dengan keberanian untuk berkata jujur serta mengubah arah, kita bisa memastikan bahwa universitas tetap menjadi benteng bangsa, bukan panggung kepura-puraan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
